Sabtu (16-05) telah diselenggarakan diskusi daring bertajuk “Merancang Portal Baru Tata Kelola Kebijakan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia”. Diskusi ini merupakan bagian dari Webinar Series: Diskusi Launching Jurnal Integritas. Artikel jurnal yang dijadikan pokok diskusi berjudul “Kebijakan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam melalui Pendekatan Institusional dan Struktural“. Beberapa institusi yang menjadi penyelenggaranya yaitu Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT UGM), BPPM BALAIRUNG, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Publish What You Pay (PWYP), serta Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM. Terdapat empat pemantik yang mengisi diskusi, antara lain Aryanto Nugraha, anggota PWYP; Dr. Totok Dwi Diantoro, Peneliti PUKAT; Siti Rahma Mery, Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI; dan Dr. Agus Heruanto Hadna, Dosen Kebijakan Publik UGM. Acara ini dipandu oleh Ari Wibowo, mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM. Pada perjalanannya, diskusi mengarah pada masalah dan solusi struktural dalam pengelolaan SDA, termasuk state capture.
Aryanto mendefinisikan state capture sebagai fenomena pemanfaatan institusi negara untuk menyusun kebijakan yang melanggengkan korupsi. Dalam pemaparan mind map masalah pengelolaan SDA, dia mengungkap bahwa state capture ini merupakan inti dari segala persoalan pengelolaan SDA. “Lambatnya identifikasi dan penanganan membuat state capture kian sulit untuk diatasi,” sambungnya.
Sepakat dengan Aryanto mengenai state capture, Agus juga meyakini bahwa persoalan pengelolaan SDA tidak akan selesai. Menurutnya, hal tersebut terjadi jika persoalan terus berkutat pada masalah sampingan seperti pembaruan regulasi. ”Selesaikan dahulu state capture, baru bicara persoalan lainnya seperti regulasi, birokrasi serta layanan publik,” tegasnya.
Salah satu poin pada pemaparan rekomendasi kebijakan dari evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) oleh Aryanto, yaitu menuntut pemberantasan state capture. Evaluasi GNPSDA diselenggarakan tahun 2018 dengan harapan rekomendasinya akan diadopsi oleh presiden dan ketua KPK terpilih kala itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. “Manuver pemerintah setahun belakangan justru berlawanan dengan rekomendasi GNPSDA,” sesal Aryanto. Dia mencontohkan RUU Minerba, RUU Cipta Kerja, hingga RUU Pertanahan sebagai penegasan bahwa state capture pada pengelolaan SDA adalah nyata.
Senada dengan Aryanto, Dr. Totok lalu menjelaskan bahwa state capture terjadi pada formulasi kebijakan. Pada sektor SDA, state capture terbentang mulai dari UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 hingga RUU Minerba tahun 2020. Dia mencontohkan UU No. 19 tahun 2004 sebagai wujud paling nyata dari state capture yang mana tiga belas investor tambang asing difasilitasi oleh UU ini dalam eksploitasi hutan lindung. “Pemerintah selalu berpihak kepada korporasi, tidak pernah kepada masyarakat,” tandasnya.
Tak hanya pada tingkat UU, state capture juga hadir dalam wujud keberpihakan aparat kepada korporasi. Siti Rahma menjadikan Peraturan Kapolri No. 3 tahun 2019 tentang Bantuan Pengamanan pada Objek Vital Negara dan Objek Tertentu sebagai buktinya. Dia menjelaskan bahwa regulasi ini mengakomodasi kerjasama pihak ketiga dalam pengamanan aset vital nasional maupun swasta. “Regulasi ini membuat aparat pada akhirnya berbondong-bondong mengamankan kepentingan perusahaan,” tukasnya.
Pada artikel jurnal tersebut dijelaskan bahwa momen Pemilu dan Pilkada berpotensi menjadi titik awal terjadinya state capture. Menyikapi hal ini, Agus menekankan pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen pada pemberantasan korupsi. “Berkaca pada Botswana dan Estonia, pemberantasan korupsi harus dimulai dari pemimpin negaranya,” ujarnya.
Sementara itu, Aryanto lebih condong ke arah pengawasan regulasi dan penyelenggaraannya agar bebas dari konflik kepentingan. “Perlu ada ruang untuk koreksi partai politik oleh masyarakat”, tambahnya. Menurutnya, koreksi bukan hanya pada hasil, namun juga saat prosesnya.
Perihal solusi atas state capture, Agus mengajukan gagasan soal peran sentral Civil Society Organization (CSO). Konsepnya adalah perimbangan kekuasaan terhadap negara itu sendiri. Namun, tambahnya, CSO harus siap terkait independensi serta konektivitas antar lembaga. Dia juga menggarisbawahi bahwa masyarakat adalah kunci dalam memerangi state capture. “Jangan-jangan Ratu Adil yang dimaksud bukanlah pemimpin, namun rakyat itu sendiri,” pungkasnya seraya menutup diskusi sore itu.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Ilustrator: Estri Mastuti PL