Membicarakan pendidikan Indonesia seakan tidak ada habisnya. Salah satu diskursus yang laris dibahas ialah kolotnya konsep pendidikan. Sistem belajar klasikal dengan guru sebagai sentral dari proses pembelajaran sudah menjadi pakem bagi sistem pendidikan formal di Indonesia. Belum lagi indikator penilaian yang kaku sehingga membuatnya tidak relevan dengan realitas yang ada. Contohnya Ujian Nasional (UN) yang dianggap tidak representatif atas proses belajar siswa. Rezim silih berganti, wacana penghapusan UN senantiasa bergulir. Namun nyatanya UN tetap eksis karena memang bukan main sulitnya membenahi sistem pendidikan di Indonesia yang sudah sedemikian jumud ini. Butuh sebuah gebrakan radikal dalam merombak kondisi pendidikan Indonesia seperti saat ini.
Guna menyelesaikan permasalahan yang ada, pendidikan alternatif mencoba hadir sebagai angin segar pendidikan Indonesia. Alternatif disini bukan hanya sekadar berbeda bentuk gedung atau seragam sekolah. Toto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Sekolah Biasa Saja mengatakan bahwa ada empat poin yang menjadi nilai dasar pendidikan alternatif. Keempat nilai tersebut antara lain filosofi humanistik, berorientasi pada siswa, pengajaran yang holistik, dan pendidikan yang demokratis. Alangkah menariknya bila mengkaji kondisi pendidikan Indonesia dewasa ini lewat kacamata pendidikan alternatif.
Oleh karena itu, Balairung berkesempatan mewawancarai Toto Rahardjo selaku pengusung konsep pendidikan alternatif. Ia menerapkan konsep tersebut di sekolah garapannya, Sanggar Anak Alam (SALAM), yang terletak di Bantul, DIY. Selain itu, Ia juga seorang budayawan, penulis, sekaligus fasilitator di beberapa lembaga pendidikan kerakyatan. Perbincangan ini dilakukan untuk menggali pandangan Toto Rahardjo tentang permasalahan pendidikan di Indonesia dan solusinya melalui pendidikan alternatif.
Bagaimana pandangan Anda terhadap kondisi pendidikan Indonesia dewasa ini?
Kondisi sekolahnya mungkin sama saja. Hanya kurikulumnya yang berubah namun hasilnya tetap serupa, yaitu murid hanya sebatas dijejali pengetahuan. Hal ini terjadi mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai ke universitas sekelas UGM. Mahasiswa walaupun bebas memilih topik riset tetap saja otoritas pengesahan ada di tangan dosen pembimbing. Contoh tersebut menunjukkan bahwa independensi murid hanyalah angan-angan belaka. Belakangan Nadiem selaku Mendikbud baru menyatakan bahwa akan ada demokrasi dalam belajar. Pertanyaan saya, apa itu sudah cukup prasyaratnya? Saya belum tahu itu, kita lihat saja. Dosen dan gurunya belum tentu sepakat juga dengan konsep demokrasi belajar. Wong mereka menikmati posisinya sebagai pusat pengetahuan.
Apa yang mesti diupayakan terlebih dahulu dalam mencapai tahap demokrasi dalam belajar?
Demokrasi belajar mestinya dijadikan prinsip, bukan program. Prinsip tersebut harus didahului dengan syarat-prasyarat tertentu untuk menegakkannya. Apakah sanggup para pengajar memerdekakan siswa? Mengingat pola interaksi guru dan siswa ialah seperti raja dan hambanya. Jadinya sangat sulit untuk mencapai demokratisasi belajar itu. Saya pikir sulit untuk menentukan mana yang lebih dulu diselesaikan. Bagi saya, masalah pendidikan ini sudah seperti benang kusut sehingga sangat sulit diurai dan dicari ujung serta pangkalnya. Solusinya? Dibakar saja semuanya. Dirombak total.
Bagaimana pendidikan alternatif mampu mewujudkan demokrasi dalam belajar?
Ada dua syarat utama yang mesti dipenuhi demi mewujudkan demokrasi dalam belajar. Pertama, independen dari sektor teknis berarti bahwa pendidikan alternatif mesti melepaskan diri dari rezim administrasi. Pola kerja prosedural seperti ini mengharuskan penyelenggara pendidikan untuk melaporkan ini dan itu. Hal inilah yang membuat banyak penyelenggara pendidikan zaman sekarang tidak independen. Sekarang guru pekerjaannya ialah menyusun laporan belaka. Sehingga waktunya terkuras tanpa sempat memikirkan bagaimana cara mengembangkan metodologi pembelajaran serta kapasitas tenaga pendidiknya sendiri. Pendidikan alternatif harus keluar dari jerat administratif itu.
Kedua, aspek ideologi. Tidak ada pendidikan yang netral dalam artian semua pendidikan mesti punya tujuan tertentu. Sekarang kondisinya adalah dunia ini dikuasai globalisasi di mana manusia hanya dijadikan konsumen belaka. Kelompok masyarakat yang hanya menjadi pengikut juga termasuk produk dari globalisasi. Kalau pendidikan sudah menghamba pada ideologi globalisasi, maka orientasinya mesti seputar mencetak siswa sesuai kebutuhan pasar. Padahal hakikat pendidikan itu ialah membuat orang mampu mengenali potensi diri serta menjadi independen. Kalau tidak bisa lepas dari dua perangkap itu, ya bukan alternatif namanya.
Apa perbedaan pendidikan alternatif dari pendidikan arus utama?
Perbedaan yang cukup mendasar ada pada basis pembelajarannya. Alih-alih mengekang siswa dengan sistem mata pelajaran, pendidikan alternatif justru menggunakan riset sebagai dasar pembelajarannya demi merangsang keingintahuan murid. Risetnya pun tentang hal-hal yang dekat dengan mereka sehingga siswa mampu mengenali kondisi lokalnya. Hal inilah yang mulai hilang dari pendidikan kita. Contohlah pendidikan di desa saat ini yang mana terlalu jauh membahas ke antah berantah sementara melupakan desanya sendiri.
Faktor pembeda lainnya adalah pendidikan alternatif sejak awal digagas dan dikelola secara berdikari oleh komunitas. Cakupannya pun tidak lebih dari 500 orang sehingga memudahkan pengambilan kebijakan serta pemantauan peserta didik. Bila sekolah terlalu banyak menampung orang, maka dibutuhkan regulasi untuk mengontrol agar tidak terjadi berbagai penyimpangan. Kalau sudah begitu sekolah menjadi sulit dibedakan dengan peternakan.
Bagaimana pendapat Anda soal tolok ukur pendidikan yang sifatnya absolut atau numerik?
Tolok ukur absolut yang bersifat mengontrol terkadang malah memaksakan hal yang berseberangan dengan apa yang menjadi tujuan pendidikan bagi manusia. Hal tersebut terjadi ketika pendidikan mesti mengakomodasi orang dalam jumlah ribuan tadi. Oleh karenanya dibutuhkan instrumen seperti ujian ini agar semuanya tetap berjalan pada jalurnya. Pada akhirnya manusia menjelma menjadi hanya sebatas angka-angka statistik yang jauh dari membangun manusia seutuhnya. Maka dari itu, parameter keberhasilan siswa tidak bisa dinilai sebatas hasil ujiannya.
Apa parameter keberhasilan peserta didik dalam konsep pendidikan alternatif?
Tolok ukur dan keberhasilan. Dua istilah itu yang kerap menjebak kita ke dalam cara berpikir dan hidup yang materialistik tanpa menghargai relasi antara manusia dan alam semesta. Kata keberhasilan sendiri seringkali disalahpahami sebagai hasil dari berkompetisi. Barang siapa yang memenangi duel dan kompetisi, ialah orang yang berhasil. Dalam ranah sekolah tentu kita akrab dengan konsep ranking dan juara yang keduanya mengorbankan nilai kolektivitas.
Parameter yang sedang berlaku sekarang ini juga bercorak persaingan. Seperti Programme for International Student Assesment (PISA), yaitu standar pendidikan yang selalu menjadi rujukan dunia internasional. Jadi mesti kejar-kejaran dengan negara lain. Untuk apa? Memangnya pendidikan itu lomba lari? Hal ini justru membuat kita lupa untuk fokus membangun diri sendiri. Lupa pada realitas yang ada di sekeliling kita.
Seseorang yang mampu mengenali, mengolah, dan mengolaborasikan potensi dirinya adalah orang yang berhasil dan berprestasi dalam konsep pendidikan alternatif. Tanpa harus mengorbankan semangat kolektif dan gotong royong bukan?
Bicara tentang keaktifan peserta didik, hal ini sudah diinisiasi oleh pemerintah dalam Kurikulum 13. Lantas, apa yang membedakan pendidikan alternatif dengan kurikulum yang sudah ada?
Konsep seperti itu sebenarnya pada kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di tahun 1984 yang dipengaruhi paradigma partisipatoris. Namun kembali lagi apakah prasyaratnya sudah terpenuhi atau belum. Terutama soal guru yang mana mereka hanya dibekali kemampuan mengajar, bukan mendampingi siswa. Maka dari itu kegiatan mengajarnya hanya seperti menuang gelas kosong.
Secara umum memang banyak kesamaan di antara keduanya, namun tetap ada beberapa poin pembeda. Pertama, bentuk pengajaran pendidikan alternatif berbasis riset dan sangat mengedepankan kreativitas serta inisiatif siswa. Guru hanyalah sebatas fasilitator dan teman diskusi yang membimbing para murid. Dengan model seperti ini maka generalisasi pengajaran yang menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan oleh Kurikulum 13 mampu dituntaskan. Konsep pengajaran semacam ini mampu mengoptimalkan proses aktualisasi minat dan bakat para siswa yang memang beragam. Kedua, berbeda dari Kurikulum 13 yang masih terikat dengan angka-angka, dalam pendidikan alternatif rapor hasil belajar berisi catatan naratif fasilitator atas perkembangan masing-masing anak. Bahkan di tingkat SMA rapor dibuat bersama siswa.
Sistem zonasi menjadi satu solusi dari pemerintah dalam mengurai generalisasi pendidikan. Bagaimana tanggapan Anda terhadap ide dan pelaksanaan sistem ini?
Sistem zonasi diciptakan untuk pemerataan pendidikan. Namun, pemerintah harus merancang sistemnya dengan baik mengingat sejauh ini masih banyak konsep yang saling berkontradiksi di dalamnya. Bagaimana bisa memakai sistem zonasi bila masih ada sisa-sisa status sekolah favorit? Dan juga fasilitas penunjang pendidikan belum merata. Seharusnya diadakan terlebih dahulu pemetaan atas kondisi daerah tersebut. Butuh berapa sekolah, bagaimana kurikulum yang hendak diterapkan, apakah tenaga pendidiknya sudah mencukupi. Sehingga tidak perlu lagi orang jauh-jauh ke, katakanlah, UGM dengan alasan universitas ini lebih bagus ketimbang di daerahnya sendiri.
Paradigma pendidikannya pun masih berbicara soal link and match kepada industri nasional bahkan internasional. Mengapa tidak dibuat khusus pada masing-masing zona saja? Misal pendidikan di Lampung, dibuat saja kurikulum agar lulusannya link and match dengan kondisi Lampung. Namun hal tersebut sulit terwujud karena pendidikan sudah sangat terpengaruh globalisasi yang mana sangat menggerus lokalitas.
Adakah kritik Anda terhadap pendidikan alternatif sendiri?
Banyak. Terutama bagi lembaga-lembaga pendidikan yang mengaku alternatif tapi otaknya tidak alternatif. Kadang-kadang pendidikan alternatif digunakan sebagai komoditas dagangan. Banyaknya orang tua yang sudah frustasi dengan pendidikan konvensional menjadi ceruk bagi mereka untuk mendulang keuntungan.
Apa harapan Anda tentang masa depan pendidikan Indonesia?
Saya tidak punya harapan. Mengingat tadi bahwa masalah ini sudah seperti benang kusut. Saya tidak terlalu yakin rezim ini bisa memperbaiki. Kecuali, ada sebuah bencana besar hingga tersisa katakanlah 10 orang saja. Mungkin itu mampu memancing mereka berpikir agak sehat.
Mungkin satu hal yang saya pikirkan, yaitu perkataan Romo Mangun bahwa pendidikan itu harus menjadi seperti Palang Merah. Menolong tanpa pandang kawan atau lawan. Tugas pendidikan ialah melahirkan daya kritis, percaya diri, dan keberanian pada diri peserta didik. Urusan nanti setelah itu mereka melakukan demonstrasi lantas ditangkap polisi ataupun menumbangkan mereka dari kursi kepemimpinan sekolah bukanlah persoalan. Namun pada realitanya pendidikan di Indonesia masih sibuk mengurusi bagaimana siswa bisa tertib, patuh dan sebagainya. Lupa pada tugas pokoknya dalam mengasah nalar kritis siswa.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Afifah Fauziah S
Ilustrator: Haifa Susan