“Nya, maaf aku sudah egois sama kamu kemarin. Aku harap kita bisa lanjutin persiapan pernikahan kita tanpa berantem lagi. Aku sayang kamu.” Suaranya di ujung sana menghilang, mungkin ini sudah puluhan kalinya aku mendengarkan voice mail-nya. Sekarang sudah larut malam, tidak mungkin aku meneleponnya jam segini. Saat ini ia pasti sedang beristirahat setelah kewalahan menangani para pasien yang terkena covid-19.
Faiz namanya, calon suamiku. Banyak hal indah yang kami rencanakan menuju persiapan pernikahan. Sayangnya, momen berharga yang sudah kami persiapkan jauh hari banyak mengalami perubahan. Faiz adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta. Ketika covid-19 menyerang banyak masyarakat indonesia, Faiz menjadi salah satu tenaga medis yang turun membantu menyelamatkan nyawa. Persiapan pernikahan yang sudah kami rancang pun tak bisa direalisasikan karena anjuran pemerintah untuk tetap di rumah.
“Aku aman kok, Nya. Senin nanti aku sudah ajukan cuti. Semoga aku bisa fokus bantu kamu ngurusin wedding.” Aku tersenyum mendengar suaranya di ujung sana.
“Gak apa, Iz. Lagipula keluarga kamu juga sudah setuju kok pernikahannya secara singkat. Nanti kamu hanya perlu datang ke rumah Mamah.” Faiz mengiakan jawabanku. Kami tidak banyak bercanda sepanjang pembicaraan di telepon, hanya saling bertukar kabar sudah cukup membuatku lega.
Menjelang hari-H pernikahan, keadaan Papah jadi jauh lebih baik. Saat ini Papah sedang menjalani perawatan cuci darah seminggu tiga kali. Kadang aku dan Mamah bergantian menemani Papah untuk datang ke rumah sakit. Semenjak Papah gagal ginjal tahun lalu, Papah meminta pernikahan aku dan Faiz dilangsungkan segera.
“Papah cuma pengin lihat Fanya sama Faiz di kursi pelaminan dan hadir di sana sebagai wali kamu, Nya,” ujarnya waktu akan menjalani perawatan cuci darah. Faiz yang saat itu bersamaku ikut mendengarnya. Tidak lama setelah Papah berkata itu, keluarga Faiz datang kerumah untuk membicarakannya bersama.
Hari ini Papah sudah berada di sampingku. Senyumnya terlihat begitu lebar bersamaan dengan seyuman cantik Mamah. Aku memakai kain songket sebagai bawahan dan kebaya berwarna pink pucat sebagai atasan. Sungguh aku tidak menyangka proses pernikahan sederhana inilah yang akhirnya terjadi. Rencana menyewa fotografer andal pun dibatalkan. Hanya ada keluargaku di sini. Pada akhirnya semua yang sudah kami persiapkan perlahan gugur karena pandemi ini, tapi aku tetap merasa bahagia. Akhirnya, hari yang sudah kutunggu datang juga bersamaan dengan kondisi Papah yang kian membaik.
Faiz datang tepat waktu bersama keluarganya. Kami semua tersenyum menyambutnya. Mata Faiz tampak sembab seperti habis menangis. Setelah bersalaman antarkeluarga, Faiz menjawab rasa penasaranku atas mata sembabnya. “Barusan aku dikabari, Ina, perawat yang positif covid-19; meninggal bersama kandungannya yang berusia 4 bulan,” tangisku ikut pecah pagi itu.
Banyak sekali jiwa yang pergi begitu cepat, momen berharga yang tertunda, jiwa yang tak berdosa pergi sebelum sempat merasakan hiruk-piruk bumi. Petugas kesehatan yang telah gugur, para pencari nafkah yang tetap harus berjuang. Mereka merelakan banyak hal, menantang dirinya kepada maut, bertahan untuk tetap hidup, berjuang untuk menyelamatkan. Momen pernikahan yang sudah dinanti juga bukan lagi hal spesial untuk tamu, kehamilan juga jadi menakutkan bagi para ibu, dan kehilangan terus menghantui tiap jiwa yang masih bernyawa. Aku harap semua ini cepat berakhir, pandemi ini, rasa takut ini. Lekas pulihlah bumi.
Kontributor: Vira Adriani
Tulisan ini merupakan kontribusi dalam “Berbagi dalam Pandemi”, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.