Ketidakpastian merupakan frasa tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang tengah berada dalam situasi pandemi Covid-19. Masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian finansial, tempat tinggal, hingga pekerjaan. Ketidakpastian ini terjadi secara mendadak, sehingga masyarakat belum siap menghadapi situasi yang belum pasti ini atau dapat disebut juga dengan anomi. Meskipun tidak siap, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi ketidakpastian. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang mendorong terjadinya fenomena ketidakpastian selama masa pandemi Covid-19 dan seperti apa akibat yang ditimbulkan oleh ketidakpastian tersebut?
Ketidakpastian Sebagai Sebuah Fenomena
“Nowadays everything seems to conspire against… lifelong projects, permanent bonds, eternal alliances, immutable identities. I cannot build for the long term on my job, my profession or even my abilities. I can bet on my job being cut, my profession changing out of all recognition, my skills being no longer in demand. Nor can a partnership or family provide a basis in the future. In the age of what Anthony Giddens has called ‘confluent love’, togetherness lasts no longer than the gratification of one of the partners, ties are from the outset only ‘until further notice’, today’s intense attachment makes tomorrow’s frustration only the more violent”. (Zygmunt Bauman, 2002)
Kutipan dari tulisan Baumant di atas menandakan sebuah fenomena ketidakpastian. Realitas tersebut, seperti yang dikatakan oleh Bauman di atas, membuat masyarakat tidak bisa lagi memprediksi apa yang akan terjadi ke depan. Seluruh aspek kehidupan seperti ikatan sosial, pekerjaan, dan identitas menjadi begitu cair. Bauman, beserta sosiolog lain seperti Anthony Giddens, Scott Lash, dan Ulrich Beck, mencoba menyampaikan bahwa manusia memasuki era ketidakpastian, yaitu fase dimana kondisi kehidupan dan relasi sosial antar manusia berubah menjadi semakin tidak pasti.
Tujuh tahun sebelum Bauman menyampaikan pandangannya mengenai ketidakpastian pada tahun 1993, Ulrich Beck menyampaikan tentang individualisasi dalam bukunya yang berjudul Risk Society: Toward a New Modernity. Menurut Beck, kehidupan umat manusia sudah bergeser dari masyarakat industri atau modernisasi sederhana menuju masyarakat risiko. Maksud dari masyarakat risiko adalah masyarakat yang dihadapkan dengan kehidupan baru, salah satunya adalah ketidakpastian kehidupan dan relasi sosial manusia. Ketidakpastian ini disebabkan oleh semakin besarnya produksi risiko yang dihasilkan oleh manusia dan transformasi kehidupan di era neoliberal. Berbagai tindakan manusia seperti aktivitas industri, hingga penggunaan kendaraan, telah menciptakan polusi serta pemanasan global yang berisiko mengancam eksistensi manusia. Di sisi lain, perubahan lanskap kehidupan di era neoliberal juga ikut berkontribusi dalam fenomena ketidakpastian. Hadirnya masyarakat post-industri, hegemoni fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta transisi konsep keluarga berhasil mengubah beberapa hal pasti seperti konsistensi tempat bekerja dan pemisahan peran dalam keluarga. Sekarang, dengan semakin hebatnya dominasi pasar tenaga kerja fleksibel, seorang pekerja tidak bisa lagi bertahan lama di satu perusahaan atau mendapat perlindungan sosial.
Menurut Beck, kondisi ketidakpastian ini mendorong individu untuk mengambil keputusan secara cepat dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Kemampuan refleksif ini lebih banyak dilakukan daripada menggantungkan nasib pada negara dan kelas sosial yang tidak tanggap dalam menangani permasalahan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Menurut Scott Lash, ada perbedaan antara konsep refleksif dan reflektif. Refleksif mengandaikan bergabungnya objek dan subjek pengetahuan sedangkan reflektif berhubungan dengan ide soal filsafat kesadaran. Meningkatnya inisiatif individu serta melemahnya pengaruh institusi besar membuat Beck berargumen bahwa modernisasi refleksif dan detradisionalisasi[3] telah mengizinkan individu tampil ke pertunjukkan dan menjadi aktor utama. Inilah yang dinamakan sebagai fenomena individualisasi. (Beck, 1992)
Sependapat dengan Beck, Anthony Giddens menganggap bahwa detradisionalisasi dan life-politics (mikropolitik) menjadi lebih penting daripada perdebatan ideologi dalam era ketidakpastian ini (Giddens, 2007). Mereka berdua berpendapat bahwa (a) ketidakpastian merupakan karakteristik inheren manusia kontemporer, (b) kehidupan yang semakin tidak pasti telah mengantarkan manusia pada fenomena detradisionalisasi dan individualisasi, serta (c) dominannya politik keseharian berhasil membunuh perdebatan ideologi.
Globalisasi Ketidakpastian
Ketidakpastian ini dapat terjadi di berbagai tempat maupun kondisi, tetapi penyebab maupun efek yang terjadi dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait kondisi ketidakpastian ini. Pertama, konteks individualisasi yang dijelaskan oleh Beck merupakan situasi khas Eropa Barat pada paruh kedua abad dua puluh. Kedua, munculnya fenomena individualisasi didorong oleh berkembangnya refleksifitas individu yang disebabkan oleh runtuhnya dominasi lembaga politik dan hegemoni ilmu pengetahuan. Ketiga, puncak individualisasi berada di dua aspek; kerja dan keluarga. Semua aspek tersebut sebetulnya ditujukan Beck untuk menganalisis konstelasi kehidupan masyarakat Barat yang pada saat itu memang sedang mengalami perubahan besar. Kemunculan neoliberal yang mendistorsi aspek kerja dan faktor risiko yang sudah mulai bermain sebagai tokoh utama adalah dua landasan penting bagi penghancuran dominasi lembaga politik dan ilmu pengetahuan (Beck, 1992). Bila disusun satu per satu, bangunan teoritis Beck memang tidak inklusif terhadap kasus di luar Eropa Barat.
Globalisasi dan perkembangan teknologi-informasi telah memungkinkan terciptanya sebuah dunia baru; “Dunia”, yang kata Manuel Castells, “telah menjadi kapitalisme sepenuhnya (kecuali Korea Utara)” (Castells, 2010). Globalisasi telah mempersingkat jarak dengan waktu tempuh yang lebih cepat, sehingga mendorong banyak orang untuk turut mempercepat produktivitas mereka dan memperebutkan modal yang ada. [8] Singkatnya, globalisasi dan perkembangan teknologi-informasi adalah kendaraan kapitalisme-neoliberal yang menyebabkan adanya ketidakpastian. Contoh nyata ketidakpastian dapat dilihat pada RUU Cipta Kerja (RUU Ciker), terutama pada bagian penghapusan pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Secara tekstual, pasal tersebut mengatur tentang syarat perjanjian kerja dalam durasi tertentu (kontrak), kondisi yang membuat seseorang bisa bekerja dalam sistem kontrak, hingga lama waktu sampai perpanjangan kontrak. Apabila pasal tersebut dihapus, maka terjadi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang menyerahkan urusan tenaga kerja pada “pemberi” dan “penerima” kerja, sehingga tingkat upah lebih fluktuatif dan perlindungan dari pemerintah jadi terbatas (Rajagukguk, 2010). Bentuk ketidakpastian terhadap tenaga kerja ini bukanlah fenomena baru karena kapitalisme industri di Eropa Barat dan Amerika Serikat sudah terlebih dulu mempraktikannya.
Kontekstualisasi Covid-19
Kondisi ketidakpastian ini sesuai dengan situasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Negara memiliki peran besar dalam ketidakpastian. Hal ini dapat dilihat pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daripada Karantina Wilayah yang sebenarnya menandai runtuhnya keyakinan tradisional tentang negara. Dahulu negara dipahami sebagai tempat mencari keamanan dan kepastian, sekarang anggapan itu perlu direvisi. Hal itu utamanya disebabkan oleh pemilihan PSBB yang memungkinkan negara tidak menanggung kebutuhan dasar warga negaranya sendiri selama masa pandemi. Ketidakmauan negara untuk memberikan jaminan ekonomi membuat warga negara terjun bebas ke dalam jurang ketidakpastian. Banyak masyarakat yang kemudian menggelandang karena tidak mampu bayar sewa kos, penghasilan pekerja—khususnya pekerja informal—berkurang drastis sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, sampai terkatung-katungnya nasib warga yang tidak mampu membayar biaya pendidikan.
Bukti kedua adalah ketidakmampuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan produk legislasi yang mampu memberi keamanan pada masyarakat sipil. Alih-alih memproduksi kebijakan penanganan Covid-19, DPR justru meloloskan Revisi UU Minerba yang jelas-jelas tidak penting dalam situasi seperti ini. Akibatnya sangat fatal; banyak urusan yang harusnya bisa diatasi malah terbengkalai. Dan masyarakat merupakan entitas utama yang paling terdampak. Dua juta orang sampai sejauh ini telah dipecat atau dirumahkan, jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah setiap harinya, bantuan sosial berantakan, orang dibiarkan bekerja tanpa keamanan, sirkulasi orang diperluas ketika tren belum mengizinkan. Efek ekonomi dan sosial yang semakin besar serta tidak adanya langkah pasti yang diambil oleh DPR membuat masyarakat sipil merasakan situasi ketidakpastian hidup. Mereka yang dipecat tidak tahu lagi mau mencari pekerjaan kemana, pekerja di bawah usia 45 yang “dipaksa” untuk bekerja merasakan ketidakpastian kesehatan, dan pelonggaran PSBB yang dibiarkan oleh DPR ikut mengancam rencana pemulihan dari pandemi Covid-19. Kondisi seperti ini bisa jadi berlangsung lebih lama jika pemerintah serta DPR masih diam saja di tengah lautan tuntutan untuk menangani Covid-19 dengan tegas dan profesional.
Semua itu mengantarkan kita pada satu landasan dasar individualisasi, yaitu detradisionalisasi. Sebuah situasi di mana kehadiran atau pengaruh negara seperti sudah tidak dirasakan lagi. Bertolak dari kondisi tersebut masyarakat kemudian berperan aktif, mengambil peran yang dulu diemban oleh negara. Daripada menunggu mereka bergerak cepat, waspada, dan cekatan; insting refleksif mulai memainkan peran utama. Solidaritas Pangan Jogja, Gugus Tugas Covid-19 NU dan Muhammadiyah, Kawal Covid-19 hanyalah sebagian kecil dari bongkahan besar keaktifan masyarakat sipil.[17] “Warga bantu warga”, itulah slogan utama mereka. Dari slogan tersebut kita tahu bahwa detradisionalisasi sedang berlangsung karena “negara” secara eksplisit tidak diinjeksikan ke dalam kalimat tersebut. Hidup dengan cara saling bantu membantu antar warga, inilah hidup di era ketidakpastian.
Referensi
Arendt, Hannah. 1990. On Revolution. London: Penguin Books.
Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. London: SAGE Publications.
Beck, Ulrich dan Beck-Gernsheim, Elisabeth. 2002. Individualization: Institutionalized Individualism and its Social and Political Consequences. London: SAGE Publications.
Castells, Manuel. 2010. The Rise of the Network Society. UK: Wiley-Blackwell.
Giddens, Anthony. 2007. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press.
De Peuter, Greig; Cohen, Nicole S; dan Saraco, Francesca. 2017. “The Ambivalence of Coworking: On the Politics of an Emerging Work Practice.” European Journal of Cultural Studies 1-20.
Rajagukguk, Zantermans. 2010. “Pasar Kerja Fleksibel Versus Perlindungan Pekerja di Indonesia.” Jurnal Kependudukan Indonesia 1-28.
Standing, Guy. London. The Precariat: The New Dangerous Class. 2011: Bloomsbury Academic.
Kontributor: Rizqyansyah Fitramadhana
Tulisan ini merupakan kontribusi dalam “Berbagi dalam Pandemi”, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.