Tak … tak … tak … empat bilah bambu digerakkan secara melintang di permukaan tanah. Bambu digerakkan sedemikian rupa dengan pola ritmis mengiringi lagu “Potong Bebek Angsa”. Terlihat seorang anak melompat-lompat di tengahnya, berusaha menghindari agar kakinya tidak terjepit. Sesekali terdengar gema bahagia dan tawa anak-anak di sela nyanyian ketika bambu mengenai kaki si anak pelompat. Tanpa beralaskan kaki, anak-anak menyingsingkan lengan baju mereka. Kelihatannya, permainan asal Filipina yang disebut tinikling itu dilakukan dengan sekuat tenaga.
Tidak hanya ‘Tinikling’, berbagai permainan tradisional mancanegara lainnya menjadi bagian dari rangkaian kegiatan festival yang diselenggarakan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga. Festival bertajuk “We Care We Play: Ayo Main Keliling Dunia” merupakan sebuah upaya memberikan alternatif hiburan yang edukatif. Tak heran, pada Minggu (15-03), Bumi Perkemahan Babarsari, Sleman, dipenuhi anak-anak yang sedang bermain. Aliyah Sekar Ayu, ketua pelaksana festival, mengatakan mereka berupaya memperkenalkan ragam permainan tradisional yang ada di dunia kepada anak-anak. “Permainan adalah universal dengan nilai-nilai edukatif didalamnya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Echa itu.
Setelah puas bermain, segerombolan anak-anak berlari menuju gedung yang tak berjarak jauh dari mereka. Sebuah ruangan petak 10x10m disulap menjadi sebuah ruangan ekshibisi. Ruangan itu terbagi menjadi dua bagian. Sisi sebelah utara adalah pameran kecil dari koleksi-koleksi yang dimiliki museum. Dinding serta etalase pameran dipenuhi foto dan objek permainan tradisional dari berbagai negara. Terdapat pula beberapa objek permainan tradisional yang dapat dimainkan langsung oleh pengunjung, seperti congklak, bekel, dan gasing.
Sisi sebelah selatan ruangan dipenuhi dengan berbagai kegiatan workshop. Salah duanya adalah membuat Worry Doll, boneka tangan kecil yang dipercaya dapat mengusir kekhawatiran ketika ditaruh di bawah bantal sebelum tidur. Serta membuat berbagai bentuk kerajinan berbahan dasar janur. “Festival ini kami buat dengan konsep yang Museum Kolong Tangga banget,” ujar Echa.
Salah satu relawan yang juga humas museum, Redy Kuswanto, menceritakan awal mula berdirinya Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga. Menempati ruang kosong di bawah tangga Concert Hall Lantai 2 Taman Budaya Yogyakarta, Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga resmi dibuka pada 2 Februari 2008. Namun, jauh sebelum itu, telah terbentuk komunitas yang terdiri dari sekumpulan seniman asal Yogyakarta. “Bahkan pada gempa tahun 2006, kami telah menjadi relawan untuk penyembuhan trauma anak korban bencana,” cerita Redy. Menyambung misi sama yang berfokus pada anak, serta didukung kumpulan koleksi mainan tradisional mancanegara, akhirnya seniman yang bergiat di komunitas ini sepakat mendirikan museum.
Redy kami temui di kediaman inisiator Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga, Rudi Corens. Sejak menginjakkan kaki di Indonesia tahun 1990, pria asal Belgia itu sepenuhnya memilih menetap di Yogyakarta. Tanpa ditemani keluarga, Rudi tinggal seorang diri di rumahnya. Sebuah kamar dengan pintu terbuka memperlihatkan seorang pria bertubuh tambun namun tegap tidur dengan pulas di atas kasur. Dengan tubuh terbuka tanpa kaus, tampak kerutan yang tak lagi sedikit menghiasi kulit putihnya. Sudah dalam setahun terakhir, sakit yang dideritanya menjadikan hari-harinya hanya dihabiskan di atas kasur. Redy bersama beberapa relawan museum lah yang membantunya memenuhi kebutuhan makan dan lainnya.
Di ruang tamu kediaman Rudi, Balairung bersama Redy bercakap-cakap dengan usaha tidak mengganggu istirahat sang inisiator. Dengan kaus merah dan celana selutut santainya, Redy yang sejak awal bergabung sebagai relawan, berbagi cerita tentang museum lebih lanjut. Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga menaungi relawan dalam tiga divisi, yaitu workshop, Majalah Kelereng, dan perpustakaan bernama Burung Biru. “Tetapi pada akhirnya semua relawan berkemampuan dalam semua divisi yang ada,” tuturnya.
“Kami hadir memberikan edukasi di luar kurikulum sekolah dengan mengasah potensi anak,” tambah Redy. Ia mengaku telah melakukan penelitian terkait sistem pendidikan formal di Indonesia. Dari hasil riset tersebut, didapati bahwa konsep pendidikan formal di Indonesia terkadang cenderung memberatkan anak-anak. Makanya, mereka berupaya memberikan pendidikan alternatif bagi anak untuk dapat berpikir kritis, melalui interaksi dua arah antara relawan dengan anak. “Anak-anak tidak hanya dicekoki dengan hal-hal yang hitam dan putih saja,” ujar Redy.
Hal itu kemudian memantik Duhita Anindita Pramastuti, yang berasal dari Jakarta, mengajak anaknya mengunjungi Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga ketika berlibur di Yogyakarta. Bermacam pertanyaan tentang koleksi museum dilontarkan anak berusia 6 tahun itu. Duhita menceritakan betapa antusias anaknya ketika melihat permainan tradisional dan mancanegara yang belum pernah dilihat sebelumnya. “Oh, ternyata alat-alat sederhana bisa menjadi sebuah mainan yang seru,” ungkap Duhita berusaha meniru anaknya yang terpana.
“Anak-anak perlu tahu bahwa bahagia itu sederhana, sebenarnya,” tambahnya. Menurut Duhita, anak-anak tidak memerlukan gawai mahal hanya untuk bermain hal seru. Baginya, proses interaksi dengan orang lain ketika bermain adalah letak keseruan dari Permainan Tradisional. Duhita juga menambahkan, filosofi makna dari cerita pembuatan permainan tradisional menjadi alternatif pemberian pendidikan moral bagi anak.
Kendati demikian, setelah sembilan tahun berdiri, Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga kehilangan tempatnya untuk bermukim. Terhitung sejak Juli 2017, mereka tak lagi bisa menempati ruang kolong tangga Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Dari pengakuan Redy, mulanya mereka diminta pindah dengan alasan renovasi. Namun, hingga detik renovasi selesai pun, mereka tidak diminta kembali. Hal ini berkenaan dengan pergantian pimpinan Taman Budaya. “Kami memaklumi, karena pergantian pemimpin berarti kebijakannya berbeda pula,” ungkap Redy.
Kesempatan menempati ruang kosong di bawah kolong itu diberikan atas dasar kebaikan hati pimpinan Taman Budaya sebelumnya, Dian Anggraini. Kebaikan Dian itu juga karena keikutsertaannya sebagai salah satu pendiri Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga bersama Rudi. “Semenjak Bu Dian tidak lagi menjadi pimpinan, kami merasa sudah tidak punya pelindung di Taman Budaya,” jelas Redy.
Terkait dugaan bahwa relawan tidak mempersiapkan penutupan mereka dari Taman Budaya, Redy dengan tegas membantah. Ia mengatakan relawan museum menyadari bahwa mereka tidak akan selamanya berada di Taman Budaya dan memerlukan tempat baru untuk bermukim. Berbagai pengajuan bantuan dan penyewaan tempat disebarkan oleh relawan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga. “Banyak sponsor dan instansi termasuk Badan Aset Daerah dan kelurahan yang kita hubungi, namun tidak ada yang merespons,” tegasnya.
Senada dengan Redy, Echa menambahkan, kini mereka harus mengeluarkan isi kocek yang besar untuk membeli gedung baru guna memamerkan 20.000 koleksi museum. Hingga kini, permintaan bantuan yang mereka tawarkan pada instansi pemerintah maupun swasta ditolak. Alasannya, adalah pengakuan keberadaan mereka sebagai museum terbentur dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor. 66 Tahun 2015 tentang museum. Pasal 3 dalam aturan tersebut mengatakan bahwa museum harus memiliki aset berupa gedung. “Lah, kita yang tidak punya gedung ini, akhirnya tidak bisa dapat bantuan,” keluh Echa.
Menanggapi hal itu, Asroni, sekretaris umum Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY mengatakan pada dasarnya museum harus memiliki kedudukan tetap sesuai dengan peraturan pemerintah tersebut. Asroni mengaku persoalan kedudukan tetap itu menjadi tanggung jawab penuh pihak museum. “Kami hanya dapat membantu dukungan dan mengadakan kegiatan bersama museum yang ada di DIY,” ungkapnya.
Asroni mengaku, Barahmus sudah memfasilitasi pihak-pihak yang terkait dalam penutupan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga di Taman Budaya. Barahmus berupaya mempertemukan pengurus Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga, Dinas Kebudayaan, dan Pimpinan Taman Budaya untuk menyelesaikan persoalan tempat. Dalam pertemuan itu, permasalahan terkait Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga yang ditutup di Taman Budaya telah jelas dan diterima pihak museum. Namun, persoalan tempat yang akan ditempati Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga selanjutnya di luar kendali Barahmus. “Kami hanya sebatas menjembatani itu, karena persoalannya kembali lagi ke intern pihak museum dan Dinas Kebudayaan,” jelasnya.
Kini, setelah lelah mencari bantuan, relawan museum mengupayakan segala bentuk kegiatan penggalangan dana secara mandiri. Kegiatan bazar, pengadaan kotak donasi di beberapa tempat umum, hingga platform donasi menjadi jalan yang dipilih relawan museum. Di samping itu, Redy mengatakan seluruh kegiatan di divisi Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga tetap masih dilaksanakan secara rutin. “Museum tanpa gedung bukan berarti mati, kami masih ada,” pungkasnya.
Mereka meyakini konsep yang dibawa Museum Pendidikan dan Permainan Kolong Tangga adalah satu-satunya di Yogyakarta. Hal itu menjadi alasan untuk tidak menyerah mempertahankan museum ini. Redy menambahkan, masifnya penggunaan teknologi pada anak turut disertai dengan dampak negatif pada anak pula. Menurutnya, teknologi menjadikan anak-anak tidak bergerak secara fisik, ruang berpikir terbatas, serta kecenderungan mudah marah dan tidak empati. “Di zaman canggih seperti ini, museum kami masih tetap diperlukan, kan?” tanya Redy meyakinkan.
Penulis: Anggriani Mahdianingsih
Penyunting: Harits Naufal Arrazie
Ilustrator: Haifa Sausan