Sudah lebih dari satu bulan, salah satu kantor yang terletak di belakang Terminal Condong Catur berfungsi sebagai dapur umum. Dari beberapa dapur umum lain, dapur ini letaknya paling utara, sehingga banyak dikenal dengan sebutan Dapur Utara. Melalui panggilan telepon, Doni Fajar, pemilik kantor, bercerita mulanya Dapur Utara berada di salah satu tempat milik kawannya. Dapur baru berpindah ke kantor Doni setelah ada ide untuk memasak sendiri. Alhasil, hingga saat ini, Dapur Utara terletak di kantor tempat Doni bekerja.
Tidak semua ruangan di kantor Doni digunakan sebagai dapur. Sejak awal, di depan kantor Doni terdapat dapur untuk memasak. Namun, semenjak kantornya jadi dapur umum, fungsi dapur diperluas hingga mencakup ruang tengah. Para relawan memotong bahan makanan dan mengemasnya hingga menjadi sebanyak 80 lebih nasi bungkus di dapur tersebut. Setiap hari, kurang lebih ada lima relawan yang bertugas memasak, memotong sayuran, membungkus makanan dan mencuci peralatan makan. Aktivitas ini mereka lakukan sejak siang hingga sore.
Selain kantor Doni, salah satu rumah warga di Dusun Cepokojajar, Piyungan, Bantul juga dialihfungsikan menjadi dapur umum. Karena letaknya di daerah Piyungan, dapur umum ini dikenal dengan sebutan Dapur Piyungan. Atik, relawan sekaligus pemilik dapur, mengatakan bahwa inisiatif pembentukan dapur umum sudah dimulai sejak awal April. Ia bersama tiga orang tetangganya lantas menjadi juru masak dapur tersebut.
Dapur Piyungan bisa menghabiskan sekitar 9 kilogram beras untuk dimasak menjadi 70 bungkus nasi dan lauk tiap harinya. Proses memasak di Dapur Piyungan dimulai setiap pukul satu siang dan berakhir pada pukul lima sore selama Bulan Ramadan. Hasil masakan mereka kemudian diambil oleh relawan untuk dibagikan kepada warga sekitar, terutama yang tergolong lansia, difabel, dan kurang mampu.
Dapur Utara dan Dapur Piyungan merupakan dua dari sebelas dapur umum kolektif yang didirikan swadaya oleh masyarakat Yogyakarta di tengah pandemi COVID-19. Tergabung dalam Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), kesebelas dapur umum ini tersebar di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Awalnya ada empat dapur yaitu Dapur Ngadiwinatan, Dapur Pasar Gamping, Dapur Prawirotaman, dan Dapur Seyegan, kemudian berkembang menjadi sebelas dapur hingga saat ini.
Keberadaan SPJ didasari oleh kepedulian para relawan terhadap masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi selama wabah COVID-19. Relawan SPJ, Syafiatudina, menceritakan rumahnya di Ngadiwinatan merupakan satu dari empat dapur pertama yang terbentuk. Mulanya, Dina menggalang dana dari teman-teman terdekat untuk dibelikan nasi bungkus pada tetangga yang memiliki usaha angkringan. Nasi bungkus ini kemudian dibagikan kepada pekerja informal rentan di sekitar rumah. Kegiatan ini berjalan beberapa hari hingga seorang teman Dina mengenalkan dengan tiga dapur umum lain yang juga membuat hal serupa. Kemudian dari sini istilah SPJ digunakan yang merupakan kumpulan dapur umum. “SPJ baru dipakai namanya ketika ada dapur-dapur lain yang bergabung,” tutur Dina.
Dina melanjutkan bahwa setiap dapur mempunyai otonomi untuk mengurus kegiatan operasinya sendiri. “Setiap dapur menentukan cara kerja, menu, mengelola distribusi, dan keuangan yang didapat dari hasil donasi,” jelas Dina. Otonomi tersebut diberikan karena perbedaan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing dapur. Setiap dapur juga memiliki penanggung jawab yang bertugas melapor di grup koordinasi mengenai operasional dapur.
Untuk menyokong kegiatannya, SPJ menerima donasi berupa sembako, uang, obat-obatan, vitamin, masker, dan hand sanitizer. Donasi ini diterima dari masyarakat sekitar Yogyakarta. Donasi berupa uang dapat disalurkan melalui rekening salah satu relawan yang informasinya dapat diperoleh melalui akun Instagram SPJ. Selain melalui rekening, masyarakat dapat pula secara langsung memberi bantuan ke dapur-dapur SPJ.
Selain bantuan dari masyarakat sekitar, beberapa petani dari daerah Temanggung, Sindoro, dan Kulonprogo juga memberikan bantuan berupa hasil tani. Salah satu yang turut berkontribusi adalah petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). PPLP-KP merupakan kelompok petani yang berdiri sejak tahun 2006 sebagai penolakan terhadap pembangunan tambang pasir di Kabupaten Kulon Progo.
Widodo, koordinator PPLP-KP, menyebutkan alasan ikut membantu gerakan ini murni atas kemanusiaan dan ingin membantu teman yang membutuhkan. Pengumpulan bahan makanan pokok, seperti beras dan sayur, dilakukan di masing-masing desa secara sukarela dan diambil oleh relawan SPJ secara berkala. “Petani di sini menyisihkan hasil panen yang dikumpulkan untuk diambil teman-teman SPJ dari Jogja,” ungkap Widodo.
Selain di Yogyakarta, di beberapa daerah lain juga bermunculan gerakan solidaritas serupa. Salah satu gerakan yang muncul adalah Madura Cares COVID-19 (MCC). Berawal dari Kota Bangkalan, kini gerakan solidaritas tersebut telah berkembang sampai ke beberapa kota lain di Pulau Madura.
Kemunculan MCC dilatari oleh berkurangnya pendapatan sebagian warga Bangkalan selama pembatasan sosial berlangsung. Agil Laksamana Putra, salah seorang koordinator MCC, menceritakan hal tersebut kepada Balairung melalui telepon. “Pendapatan pedagang kaki lima yang normalnya bisa sampai seratus hingga dua ratus ribu, sekarang tidak sampai setengahnya,” jelas Agil. Berangkat dari sini Agil berdiskusi dengan beberapa temannya yang kemudian memunculkan ide untuk membuka dapur umum yang kelak menjadi MCC. Selain itu, ia juga terinspirasi dari gerakan SPJ yang diketahuinya dari grup WhatsApp.
Pada awalnya, Agil dan beberapa temannya membentuk tim relawan untuk melakukan publikasi kepada masyarakat dan menggalang pendanaan. Ketika donasi dari masyarakat sudah mulai terkumpul, mereka memilih koordinator di tiap kabupaten untuk menentukan operasional dapur. “Kami menunjuk beberapa koordinator karena menyadari kondisi yang dihadapi di setiap wilayah itu berbeda,” jelas Agil. Akhirnya, setelah semua persiapan dianggap selesai, mereka membuka dapur umum pada tanggal 1 April.
Di samping kebutuhan pangan, relawan di dapur umum MCC turut membantu menyediakan kebutuhan-kebutuhan lain. Salah satunya, mereka mencoba memproduksi hand sanitizer dan membagikannya. Alih-alih menggunakan alkohol, hand sanitizer buatan para relawan MCC ini menggunakan sirih sebagai bahan pembuatannya. “Kami menggunakan bahan dasar sirih agar tenaga medis di garis depan tidak kesulitan membeli hand sanitizer berbahan alkohol,” jelas Agil. Selain hand sanitizer, relawan MCC juga membagikan buah-buahan, jamu, serta multivitamin.
Pendokumentasian hasil kegiatan dilakukan secara berkala. Para relawan SPJ dan MCC selain mendokumentasikan hasil kegiatan, juga melaporkan daftar belanja selama sehari, berapa banyak yang diproduksi, dan lokasi pendistribusian nasi bungkus. Informasi ini kemudian diunggah oleh administrator akun Instagram SPJ dan MCC sebagai bentuk transparansi kepada publik.
Dalam perkembangannya, SPJ dan MCC kerap menghadapi kendala dan membutuhkan bantuan untuk melanjutkan kegiatan operasional. Baik Agil dan Dina sama-sama mengakui bahwa jumlah donasi yang dikirimkan ke dapur mereka semakin menipis, padahal dapur yang disokong cukup banyak. Pendanaan yang semakin berkurang ini diperparah dengan naiknya harga beberapa bahan makanan. Agar donasi dari masyarakat meningkat, mereka kerap menyebarkan pamflet berisi ajakan berdonasi disertai nomor rekening melalui media sosial.
Jumlah relawan yang tidak tentu dan tidak selalu bisa ikut membantu juga menjadi salah satu masalah. Di Yogyakarta, umumnya relawan akan membantu dengan mencari dapur terdekat dari tempat tinggal mereka. Sementara itu, relawan di Bangkalan harus membagi diri dalam beberapa kelompok dan bekerja secara selang-seling untuk mengakali kekurangan personel. Biasanya, kelompok tersebut akan bekerja bergantian setiap satu atau dua hari. “Di Bangkalan sendiri, sampai dengan pertengahan April baru ada sekitar 17 orang relawan dan mereka tidak dapat diterjunkan sekaligus dalam satu waktu,” ujar Agil.
Apa yang dilakukan SPJ, MCC, dan solidaritas pangan lain di berbagai daerah merupakan salah satu bentuk dari jaminan sosial informal. Hal tersebut diungkapkan Mulyadi Sumarto, dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM ketika Balairung menghubungi melalui telepon. Menurutnya, inisiatif-inisiatif dari masyarakat untuk memberikan bantuan sosial umumnya disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu. Dalam hal ini, yakni kebutuhan akan pangan, komunitas menyediakan bantuan sosial berupa makanan seperti yang dilakukan oleh kelompok solidaritas pangan di berbagai daerah.
Mulyadi menambahkan bahwa kemunculan gerakan solidaritas pangan di berbagai daerah ini adalah hal yang positif. Menurutnya, hal itu menunjukkan kesediaan untuk tolong-menolong dalam masyarakat cukup tinggi. Hal tersebut dapat melengkapi berbagai bentuk kekurangan distribusi jaminan sosial yang diberikan pemerintah dalam bentuk jaring pengaman sosial selama pandemi COVID-19. “Jaminan sosial informal bisa menjadi penyelamat dari situasi terburuk ketika negara tidak mampu memenuhi kesejahteraan rakyat,” tutur Mulyadi.
Inisiatif seperti ini muncul karena negara tidak cukup cepat merespons kondisi masyarakat yang mulai terhimpit pandemi. Bagi Mulyadi, negara berkewajiban untuk memberi jaminan sosial, karena jaminan sosial merupakan bentuk penghargaan negara atas hak sosial warga negara. Pandemi dan pembatasan sosial menyebabkan makin banyak masyarakat yang jatuh ke dalam posisi rentan. “Jaminan sosial dari negara penting untuk saat-saat seperti ini karena angka kemiskinan, saya yakin, pasti meningkat,” jelas Mulyadi.
Agil dan Dina juga menyadari bahwa peranan aktif pemerintah dalam menjamin hak sosial masyarakat sangat penting. Menurut Agil, pemerintah seharusnya menjamin terpenuhinya hak masyarakat sebelum pembatasan sosial dilakukan. Senada dengannya, Dina menganggap bila apa yang para relawan lakukan saat ini tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan persoalan yang ada. “Gerakan solidaritas yang ada ini hanya menggaruk permukaan dari masalah yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah,” tegas Dina.
Penulis: Ayu Nurfaizah, Hanif Janitra
Penyunting: Rasya Swarnasta