Pada Sabtu, 9 Mei 2020 pukul 09.30 WIB, terdapat kasus COVID-19 sebanyak 4.012.837 orang di dunia (Worldometers 2020). Dari total kasus tersebut, sebanyak 1.385.141 di antaranya dinyatakan sembuh dan 276.216 lainnya dinyatakan meninggal dunia.
Kasus COVID-19 atau yang umum disebut Corona sudah ada sejak Desember 2019 lalu. Bermula dari Wuhan, China, lalu menyebar ke seluruh dunia sampai dengan saat ini. Virus Corona telah membawa dampak yang besar bagi dunia, contohnya dari segi ekonomi. Investor khawatir penyebaran virus Corona akan menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai tanggapan akan hal tersebut, bank sentral di beberapa negara memangkas suku internal. Di Amerika Serikat, jumlah masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan mencapai titik tertingginya, menandakan berakhirnya ekspansi selama satu dekade sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia (Jones 2020).
Per tanggal 9 Mei 2020, AS menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak yaitu 1.321.785 orang (Worldometers 2020), sekitar 25% jumlah kasus total di dunia, dibandingkan dengan Spanyol, dengan jumlah kasus sebanyak 262.738 orang. CNBC Indonesia mengumumkan bahwa AS telah menjadi episentrum Corona sejak akhir Maret (Shalini 2020). Beberapa hari sebelumnya, tepatnya 24 Maret 2020, WHO mengumumkan AS berpotensi menjadi episentrum baru wabah virus Corona (Laoli 2020). Negara yang terkenal dengan Statue of Libertynya tersebut juga menjadi negara dengan jumlah kematian tertinggi per tanggal 8 April 2020, menyalip Italia. Pada tanggal 9 Mei 2020, jumlah kematian di AS sebanyak 78.165 nyawa. Padahal AS merupakan salah satu negara yang paling maju dan berpengaruh di dunia. Negara tersebut membawa pengaruh besar bagi negara-negara lain, mulai dari segi ekonomi, budaya, pendidikan, dan lainnya. Contohnya di negara kita, Indonesia. Betapa banyaknya remaja/orang dewasa yang lebih mengenal dan menyukai budaya Amerika daripada budaya sendiri. Mulai dari lagu, film, fashion, tata laku, dan banyak lagi hal lain yang kita tiru dari budaya mereka. Namun, mengapa negara âterhebatâ di dunia bisa menjadi episentrum virus Corona? Mari kita gali lebih dalam untuk mengetahui alasan-alasannya.
AS adalah negara besar dengan 50 negara bagian. Populasi di AS bahkan melebihi populasi Indonesia. Namun, AS memiliki budaya yang lebih bebas dibandingkan negara-negara di Asia. Seperti slogan âItâs a free countryâ yang sering diucapkan oleh masyarakatnya. Masyarakat AS cenderung melakukan hal-hal tertentu sesuai keinginan mereka, yang jika hal tersebut dilakukan di negara Asia, seperti Indonesia, dianggap tidak sesuai tata krama/sopan santun. Perilaku mereka lebih bebas, seperti memanggil nama orang tua dengan nama asli, mengambil keputusan sendiri sejak umur 18 tahun tanpa ikut campur orang tua dan lebih menyukai bekerja secara sendiri-sendiri daripada gotong royong. Beberapa alasan di atas cukup menjelaskan mengapa AS bisa menjadi episentrum Corona selama hampir 2 bulan. Banyak warga Amerika yang keras kepala dan tidak mau diam di rumah, karena pada awalnya hal ini dianggap terlalu membosankan bagi mereka. Bahkan, sampai ada perkumpulan yang bernama âanti-lockdownâ, sebuah unjuk rasa protes kebijakan lockdown di negara bagian mereka (bbc.com). Padahal, lockdown adalah cara yang terbukti efektif untuk menurunkan kurva pertumbuhan kasus Corona. Seperti di negara Vietnam, yang telah berhasil melawan virus Corona karena gerak pemerintahannya yang cepat dan masyarakat yang menuruti aturan. Vietnam menerapkan lockdown pada awal April, berlaku selama 14 hari. Sampai pada masa lockdown berakhir, tidak ada kasus kematian di Vietnam (Kurnia 2020). Hal ini menjadi pelajaran bagi negara-negara lainnya bahwa setiap negara bisa berhasil memerangi virus Corona, seperti Vietnam.
Tidak hanya rakyatnya, tetapi juga pemerintahan AS dinilai terlalu lambat dan meremehkan upaya dalam mengatasi virus Corona tersebut. Jeffrey Sachs, profesor sekaligus direktur dari Center of Sustainable Development di Columbia University mengatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara China dan AS dalam penanganan kasus Corona (Nursastri 2020). Pemerintahan China telah memutus rantai virus dengan adanya lockdown yang berawal di Wuhan sejak 23 Januari. Dampaknya bisa dilihat pada awal Mei, kasus di China hanya bertambah sedikit tiap harinya, sekitar 1-10 orang saja (Worldometers 2020). Sedangkan di AS, Presiden Donald Trump dinilai sangat terlambat dan terlalu cuek terhadap virus ini saat awal masuk ke negaranya pada 15 Februari 2020. Di akhir Februari 2020 kasus mereka masih dibawah 100 orang. Akan tetapi, mulai pertengahan Maret kasus tiba-tiba melonjak sampai di atas 5.000 orang dan di akhir Maret sudah mencapai 193.353 orang. Akibat kelalaian Trump dalam mengatasi virus ini, dalam satu bulan saja jumlah kasus yang awalnya dibawah 100 orang menjadi hampir 200.000 orang. Selain itu, pengujian mereka dibilang lambat pada awalnya. Padahal AS mempunyai The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang menjadi institusi medis terbaik dunia (Erina 2020). Namun setelah belajar dari kesalahan, mereka menjadi negara dengan total tes virus Corona terbanyak, sejumlah 8.638.717 orang per 9 Mei 2020.
Selain kasusnya, AS mempunyai angka kematian tertinggi (Worldometers 2020). Padahal pada awal episentrum, AS masih mempertahankan angka kematian di titik yang rendah, membuat negara Italia memiliki angka kematian dan angka kasus Corona kedua tertinggi di dunia. Pada tanggal 26 Maret 2020, kasus AS sudah melebihi Italia yaitu sebanyak 86.379 orang, dibandingkan dengan Italia sebanyak 80.589 orang. Jika dilihat dari angka kematiannya pada tanggal yang sama, di AS angka kematian sebanyak 1.614 jiwa sedangkan di Italia sebanyak 8.215 jiwa (Worldometers 2020). Namun seiring waktu, Amerika tampaknya kewalahan dan pada akhirnya mencetak angka kematian tertinggi di dunia sampai akhir bulan Mei ini. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Presiden Trump dinilai gagal menghadapi pandemi bahkan setelah tanda bahaya berbunyi. Dia dianggap terlalu keras kepala, mengabaikan tanda-tanda bahaya, dan terlalu sering membuat keputusan yang terlalu berisiko. Trump juga dinilai gagal menempatkan ahli kesehatan untuk melawan virus tersebut. Disaat pandemi seperti ini, ia terlalu mengabaikan sistem kesehatan Amerika dan menaruh fokus pada sisi politik dan ekonomi saja. Padahal, hal yang seharusnya diprioritaskan adalah nyawa masyarakat.
Trump bahkan membuat pernyataan untuk menyerang WHO (World Health Organization), ia menganggap WHO terlalu memercayai pemerintahan China, negara asal mula virus Corona muncul. Trump mengklaim, WHO mendukung apa yang ia sebut sebagai ‘disinformasi’ dari pihak China dan tidak mendukung travel ban atau pembatasan perjalanan untuk China pada Januari 2020. Karena alasan-alasan tersebut, Trump memutuskan untuk menghentikan pendanaan ke WHO. Padahal, AS merupakan negara dengan penyedia dana terbesar bagi organisasi kesehatan dunia itu, dengan kontribusi lebih dari 14% dari anggaran organisasi tersebut pada tahun 2019. Tentu saja hal ini mengejutkan banyak pihak, terutama WHO.
Sebagian warga AS merespons keputusan presiden mereka dengan perasaan kecewa, salah satunya adalah Bill Gates. Bill Gates mengatakan di akun twitternya bahwa “Menghentikan pendanaan untuk WHO di tengah krisis kesehatan yang melanda dunia adalah hal yang berbahaya. Tugas mereka (WHO) adalah memperlambat penyebaran COVID-19 dan jika itu dihentikan tidak ada organisasi lain yang bisa menggantikannya. Dunia membutuhkan WHO saat ini lebih dari sebelumnya.â Namun, terdapat beberapa sumber yang mengatakan bahwa pendanaan yang sebelumnya diberikan WHO, akan dialihkan ke lembaga lain, yaitu Palang Merah Internasional (Tommy Kurnia 2020).
Beberapa alasan lain yang menyebabkan AS mencetak angka kasus dan kematian tertinggi akibat virus Corona adalah kepadatan penduduk, pertentangan pernyataan antarwalikota dan gubernur, serta tudingan saling menyalahkan atas hal yang sudah terjadi (Iswara 2020). Kasus Corona di AS berpusat di New York sebagai kota terpadat di AS, dengan lebih dari delapan juta penduduk. Kepadatan penduduk New York adalah sekitar 27.000 orang per mil persegi (Cahyana 2020). Sampai dengan 9 Mei 2020, jumlah kasus di New York sebanyak 343.409 orang. Diikuti dengan New Jersey sebanyak 138.579 orang di hari yang sama (Worldometers 2020).
Menurut saya secara pribadi, AS di saat pandemi ini merupakan contoh mengapa manusia yang paling hebat pun bisa kalah. AS tidak akan bisa menurunkan kurva kasus terinfeksi virus Corona jika pemimpin masih keras kepala dan rakyat masih berlaku semaunya. Hal ini tidak bisa tercapai jika belum ada kerja sama antara rakyat dengan pemimpinnya. Maka dari itu, pemerintahan AS harus melihat kesalahan mereka di bulan-bulan kemarin untuk memperbaiki bulan-bulan ke depannya. Masyarakatnya pun harus terbiasa menaati aturan yang ada agar negara mereka kembali bebas dari wabah virus Corona.
References
Cahyana, Ludhy. 2020. TEMPO.CO. April 13. Accessed May 15, 2020. https://travel.tempo.co/read/1330993/ini-sebab-musabab-new-york-paling-parah-derita-covid-19/full&view=ok.
Erina, Reni. 2020. RMOL.ID. March 27. Accessed May 9, 2020. https://dunia.rmol.id/read/2020/03/27/427470/as-punya-institusi-medis-terbaik-dunia-mengapa-sampai-kecolongan-menjadi-nomor-satu-kasus-terbanyak-virus-Corona.
Iswara, Aditya Jawa. 2020. Kompas. April 11. Accessed May 9, 2020. https://www.kompas.com/global/read/2020/04/11/125856870/mengapa-kasus-covid-19-di-new-york-terbanyak-di-dunia-ini-penyebabnya?page=all#page2.
Jones, Lora. 2020. BBC News. April 30. Accessed May 15, 2020. https://www.bbc.com/news/business-51706225?intlink_from_url=&.
Kurnia, Tommy. 2020. Liputan 6. April 26. Accessed May 9, 2020. https://www.liputan6.com/otomotif/read/4237766/5-kunci-sukses-lockdown-vietnam-yang-berakhir-tanpa-korban-meninggal#.
Laoli, Noverius. 2020. Internasional Kontan. March 24. Accessed May 9, 2020. https://internasional.kontan.co.id/news/who-sebut-amerika-serikat-berpotensi-jadi-pusat-episentrum-virus-Corona-baru.
Maqbool, Aleem. 2020. BBC News. April 27. Accessed May 9, 2020. https://www.bbc.com/news/world-us-canada-52417610.
Nursastri, Sri Anindiati. 2020. Kompas. March 27. Accessed May 9, 2020. https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/27/130836823/mengapa-as-memiliki-kasus-Corona-terbanyak-melebihi-china.
Sachs, Jeffrey. 2020. CNN. April 13. Accessed May 9, 2020. https://edition.cnn.com/2020/04/12/opinions/Coronavirus-us-death-toll-trump-sachs-opinion/.
Shalini, Andi. 2020. CNBC Indonesia. March 30. Accessed May 9, 2020. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200330114627-8-148426/amerika-serikat-kini-jadi-episentrum-Corona.
Shaver, Katherine. 2020. Washington Post. April 26. Accessed May 15, 2020. https://www.washingtonpost.com/local/trafficandcommuting/quarantine-fatigue-researchers-find-more-americans-venturing-out-against-Coronavirus-stay-at-home-orders/2020/04/25/fa1f01b2-84a3-11ea-a3eb-e9fc93160703_story.html.
Sommervold, Charles. 2018. DOANELINE. October 10. Accessed May 15, 2020. http://doaneline.com/opinion/article_4c117008-cc4b-11e8-a78e-87642dec4072.html.
Tommy Kurnia, Tanti Yulianingsih, Raden Trimutia Hatta. 2020. Liputan 6. April 17. Accessed May 9, 2020. https://m.liputan6.com/global/read/4229179/headline-donald-trump-setop-dana-untuk-who-keputusan-berbahaya-saat-pandemi-Corona.
Worldometers. 2020. Worldometers Info. May 9. Accessed May 9, 2020. https://www.worldometers.info/Coronavirus/.
Kontributor: Namira Aulia
Tulisan ini merupakan kontribusi âBerbagi dalam Pandemiâ, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.