Beberapa negara memilih berbagai kebijakan untuk menangani pandemi Covid-19 dan Indonesia memilih kebijakan jaga jarak. Kebijakan ini tidak cukup efektif untuk mencegah perluasan pandemi Covid-19, dibuktikan dengan peningkatan pesat pasien positif. Tes massal sebagai kebijakan lanjutan juga perlu dibarengi dengan pertimbangan sosio-ekonomi Indonesia serta kesiapan instrumen kesehatan.
Pada 9 Maret 2020, Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, mengumumkan pemberlakuan lockdown di seluruh wilayah Italia. Tercatat hingga hari itu terdapat 9.100 kasus positif Covid-19 dan 463 pasien meninggal di Italia. Seluruh kegiatan publik dilarang, termasuk sekolah, bioskop, hingga pertandingan olahraga. Hanya supermarket, apotek, dan beberapa bisnis penting lain seperti bank dan kantor pos yang diizinkan untuk buka. Aktivitas bepergian dibatasi, kecuali untuk urusan pekerjaan pada sektor penting dan kepentingan kesehatan. Demi memperlambat penyebaran penularan Covid-19, Italia memberlakukan hukuman minimal tiga bulan hingga tiga tahun penjara kepada warga dengan gejala Covid-19 yang berada di luar rumah.
Pemerintah Italia tidak dapat merespons penanganan penyebaran Covid-19 di negaranya. Italia melarang seluruh penerbangan dari dan menuju China sejak 31 Januari 2020. Namun, respons ini ternyata tidak cukup untuk mencegah penyebaran virus di sana. Saat tiga pasien positif pertama terdeteksi, Italia tidak mengambil tindakan serius. Penerbangan selain dari dan menuju China tetap diadakan dan seluruh aktivitas masih berjalan normal.
Respons yang tidak tanggap juga ditunjukkan oleh masyarakat Italia. Vernor Sliver dalam artikelnya menulis bahwa masyarakat Italia cenderung mengabaikan orang yang terinfeksi Covid-19 pada masa awal penyebaran virus. Kemudian mereka mulai tidak percaya dan takut saat infeksi ini sampai di lingkungan mereka. Ketika infeksi sudah merajalela, mereka baru merasa panik.
Data dari the Center for Systems Science And Engineering di John Hopkins University menunjukkan pada 20 Maret 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Italia meningkat lebih dari empat kali lipat menjadi 41,035 kasus. Pasien meninggal di Italia menjadi yang tertinggi di dunia melewati China, yaitu 3,405 orang. Meledaknya jumlah pasien membuat Italia mengalami kekurangan tenaga medis. Keterbatasan jumlah dokter dan perawat menjadi kendala yang besar. Bahkan kini dokter perlu menentukan mana pasien yang bisa diberikan pertolongan medis agar tetap hidup.
Seiring meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19, pemerintah Italia mengambil kebijakan lockdown untuk diterapkan. Awalnya, lockdown hanya diberlakukan di lima belas wilayah pusat pandemi saja. Namun, penyebaran infeksi virus Covid-19 tetap tinggi sehingga terpaksa dilakukan lockdown di seluruh wilayah negara berpenduduk lebih dari enam puluh juta orang ini.
Kebijakan lockdown di Italia berdampak negatif pada kondisi ekonomi di negara tersebut. Penutupan lokasi wisata dan pembatasan aktivitas penduduk berakibat rendahnya pemasukan negara. Jika situasi lockdown tidak berubah, diprediksi terjadi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Italia sebesar 3% hingga akhir maret. Diperkirakan juga bahwa Italia kehilangan pemasukan sebesar 8,3 juta USD dari sektor pariwisata yang menyumbang lebih dari 6% PDB negara. Namun, pertimbangan atas angka kasus positif dan potensi penyebaran Covid-19 yang tinggi membuat kebijakan lockdown tidak terelakkan.
Berbeda dengan Italia, Korea Selatan memilih melakukan kebijakan tes massal ketimbang menerapkan kebijakan lockdown. Menurut Kim Woo Joo, spesialis penyakit menular dari Universitas Korea, lockdown dirasa bukan pilihan yang mungkin diambil karena Korea Selatan adalah negara republik demokrasi. Hal ini karena, kebijakan lockdown di negara republik demokrasi perlu menampung pendapat dari banyak golongan masyarakat. Di samping itu, kesiapan fasilitas kesehatan Korea Selatan dirasa memadai sehingga tidak diperlukan lockdown. Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in juga mengatakan bahwa kebijakan lockdown tidak akan diambil. Pemerintah memaksimalkan upaya pelacakan infeksi Covid-19 dengan melakukan tes massal.
Terdapat setidaknya 5.200 orang yang dites per satu juta penduduk. Dalam sehari, dapat dilakukan hingga 15.000 tes yang tersebar di 43 pos layanan tanpa turun (lalantur) di seluruh negara. Tes dilakukan terhadap pengemudi mobil yang melewati pos lalantur. Proses pengambilan sampel hanya memakan waktu dua hingga tiga menit. Sampel langsung dikirim ke laboratorium yang bekerja selama 24 jam tanpa henti. Pasien akan dihubungi terkait hasil tes mereka melalui telepon.
Tidak hanya itu, terdapat hukum yang memperbolehkan pemerintah untuk mengakses informasi personal tertentu dari pasien positif. Pemerintah dapat menelusuri interaksi yang pernah dilakukan pasien melalui jejak GPS ponsel, riwayat kartu kredit, bahkan melalui kamera pengawas atau CCTV. Informasi ini kemudian dipublikasikan sehingga seseorang bisa segera melakukan tes jika merasa pernah melakukan kontak dengan pasien yang dinyatakan positif.
Tes massal yang dilakukan Korea Selatan banyak dipuji oleh media internasional. Respons Korea Selatan dinilai cepat dan berhasil menekan angka infeksi tanpa ada pengorbanan berarti pada sektor ekonomi. Namun besarnya jumlah tes justru memperbesar angka eror. Dengan akurasi hasil tes 98%, terdapat 2% eror yang mungkin terjadi. Angka ini tidak memiliki arti jika sampel yang dites berjumlah sedikit. Namun dengan jumlah sampel 200.000, eror ini mencapai 4000 orang. Kekhawatiran lain juga muncul dengan adanya jeda antara tes dan pemberitahuan hasil. Pada jeda tersebut, aktivitas masyarakat yang tidak dibatasi justru memberikan ruang penularan yang lebih besar.
Berkaca pada kedua negara di atas, dapat dilihat bahwa ada berbagai jalan kebijakan untuk menanggulangi sebuah pandemi. Tiap jalan kebijakan pun memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jalan yang dipilih pun juga sangat tergantung pada banyak hal yang perlu diperhatikan. Hal tersebut meliputi kondisi infrastruktur kesehatan, perekonomian, dan kondisi masyarakat luas. Indonesia sendiri memilih untuk menempuh jalan kebijakan menjaga jarak. Mengutip dari Kompas, langkah utama untuk menjaga jarak datang dari pidato Presiden Joko Widodo. Ia menekankan bahwa seluruh kegiatan belajar dan kerja sebaiknya mulai dilakukan dari rumah. Selain itu, masyarakat juga perlu menghindari beraktivitas di kerumunan termasuk dalam hal ibadah.
Gerakan serupa juga datang dari jajaran pemerintah daerah dan inisiatif lokal. Berdasarkan laporan Katadata, Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta telah memberikan status kondisi darurat Covid-19 beserta lima imbauan untuk membatasi berbagai macam interaksi sosial. Bentuk pembatasan yang ada meliputi pembatasan kuota penumpang transportasi publik hingga pelarangan seluruh jenis kegiatan ibadah bersama. Selain itu, ia juga membuat pemetaan para penderita yang dikelompokkan berdasarkan daerah melalui situs resmi daring pemerintah.
Dari Jakarta bergerak ke timur, Pemerintah Bogor telah menetapkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) di kotanya. Hal ini diberlakukan setelah walikota beserta tiga warganya terjangkit Covid-19. Pemerintah Tegal juga melakukan isolasi terbatas untuk mengurangi laju para pendatang dari luar. Elemen masyarakat Indonesia pun juga mulai melakukan lockdown secara lokal. Beberapa kampung di Kecamatan Pakem, Sleman juga menerapkan penutupan wilayah mereka dengan menutup jalan masuk.
Walaupun berbagai inisiatif sudah muncul dari berbagai elemen negara dan masyarakat, masih terdapat pelanggaran kebijakan oleh beberapa pihak. Beberapa kantor masih menyuruh pekerjanya untuk tetap hadir di kantor meskipun himbauan kebijakan Work From Home atau kerja dari rumah sudah diberlakukan. Selain itu, pelanggaran juga dilakukan oleh beberapa orang dalam pengawasan (ODP). Ada beberapa kasus yang mana pasien suspek Covid-19 kabur dari rumah sakit. Misalnya, salah satu kasus terjadi karena pasien ingin pulang terlebih dahulu. Pelanggaran-pelanggaran ini menandakan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah masih belum dianggap serius oleh sejumlah masyarakat.
Menyadari hal tersebut, pemerintah juga memberikan respons kebijakan. Misalnya, pemerintah menyatakan akan mulai menindak tegas siapapun yang masih berkumpul dengan kontak langsung. Tindakan ini akan diputuskan dan dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kebijakan jaga jarak yang dipilih pemerintah bukanlah tanpa risiko. Perintah kebijakan jaga jarak dalam jangka panjang dapat memperlambat kegiatan produksi ekonomi (supply shock). Pembatasan interaksi sosial dapat mengurangi jumlah produksi barang yang krusial. Hal ini berlaku untuk produksi baik di dalam maupun luar negeri. Akibatnya, tingkat kegiatan dan permintaan ekonomi secara keseluruhan juga akan terganggu. Perkiraan kerugian ekonomi global dari gangguan ini juga tidak main-main jumlahnya. Dilansir dari Katadata, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, red.) menyatakan kerugian ekonomi global akibat Covid-19 dapat berkisar dari US$76—347 miliar. Hal ini setara dengan penyusutan kegiatan ekonomi dunia sebesar 0.4 persen.
Mengetahui risiko yang ada dan dampaknya ke dalam negeri, Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menangani pandemi ini. Tetapi dalam implementasinya, Pemerintah Indonesia masih berfokus pada kebijakan pencegahan dan pembatasan. Prioritas pemerintah masih belum jatuh terhadap cara penanggulangan dan perbaikan. Contoh kebijakan penanggulangan yang ada bisa dilihat dalam pemberian paket bantuan berupa subsidi ke masyarakat kurang mampu. Subsidi yang ada diberikan untuk memastikan bahwa mereka tetap bisa hidup dengan normal meskipun tidak bekerja secara langsung. Langkah ini memang perlu diapresiasi, mengingat kerentanan mereka dalam konteks sosio-ekonomi. Namun, langkah ini dianggap belum dapat menanggulangi dampak pandemi Covid-19 dalam jangka panjang.
Selain risiko ekonomi, kesiapan sektor kesehatan di Indonesia juga perlu diperhatikan. Meskipun sudah ada lebih dari enam puluh rumah sakit rujukan untuk perawatan Covid-19, mayoritas rumah sakit tersebut masih belum memiliki kapabilitas yang cukup untuk menangani pasien. Laporan Observasi Data Global dari World Health Organization (WHO) mencantumkan bahwa Indonesia hanya memiliki 1,6 tempat tidur rumah sakit per sepuluh ribu orang. Indonesia juga hanya punya empat dokter medis per sepuluh ribu populasinya. Proses pemeriksaan dan penanganan pun cenderung lamban. Persediaan alat pelindung diri dan tenaga paramedis masih belum dapat menandingi lonjakan pasien. Manajemen rumah sakit pun juga sama tidak siapnya. Beberapa dari mereka juga ada yang justru menolak pasien rujukan Covid-19.
Permasalahan dalam sektor kesehatan dan risiko ekonomi sebenarnya bisa ditanggulangi dengan beberapa kebijakan. Kebijakan ini perlu muncul baik dalam bentuk instrumen ekonomi maupun reformasi dalam penanganan pandemi. Perlu ditekankan bahwa kedua hal ini memiliki hubungan resiprokal yang erat. Instrumen ekonomi yang ada perlu mendukung langkah penanganan pandemi. Sebagai gantinya, penanganan pandemi hanya akan berjalan efektif jika ditopang dukungan ekonomi yang kuat. Konsekuensinya, keduanya penting untuk digerakkan secara bersamaan dan bersifat saling menguatkan.
Seluruh perencanaan kebijakan yang ada juga perlu disertai dengan pendanaan dari pemerintah yang cukup. Beberapa langkah perlu dilakukan untuk memastikan ketahanan anggaran untuk program. Pertama, pemerintah perlu mengubah prioritas pengeluaran dalam anggaran yang perlu dialokasikan untuk menangani pandemi serta dampaknya ke kelompok rentan. Kedua, pemerintah perlu melonggarkan keterbatasan defisit pada saat anggaran dalam negeri tidak mencukupi. Untuk saat ini, penanganan pandemi penting untuk diutamakan terlebih dahulu meskipun perekonomian memburuk dan defisit anggaran semakin membesar.
Penangan pandemi dapat dimulai dengan optimalisasi kebijakan jaga jarak. Salah satunya pemerintah dapat memberhentikan kegiatan produksi, namun tetap memberi kompensasi biaya gaji pekerja untuk perusahaan. Kebijakan ini dapat mengurangi kemungkinan pemecatan dan biaya mencari pekerja baru (job turnover cost). Kebijakan sejenis ini pernah diberlakukan Jerman dalam program Kurzarbeit. Melalui pemberhentian produksi sementara dengan kompensasi, pemerintah dapat menjaga kelangsungan bisnis dan keselamatan para pekerja secara bersamaan.
Kebijakan serupa juga dapat diberlakukan di Indonesia untuk beberapa sektor yang dianggap bisa ditunda produksinya. Penghentian kegiatan ekonomi untuk sementara tanpa lockdown mungkin belum lazim didengar. Namun penghentian ini dapat berdampak positif untuk perekonomian jangka panjang. Correia, Luck, dan Verner menemukan bahwa penghentian kegiatan ekonomi untuk sementara yang cepat dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi saat masa pandemi telah usai. Pengorbanan jangka pendek diperlukan untuk keberlangsungan perekonomian dalam jangka panjang.
Langkah berikutnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memastikan bahwa suplai dan distribusi barang pokok dan obat tercukupi. Pemerintah bisa memastikan stok dengan mengecek keadaan serta mengalokasikan dana untuk memenuhi permintaan pasar dalam waktu genting. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan pasar daring untuk mencegah praktik manipulasi harga (price gouging). Pencegahan manipulasi harga diberlakukan untuk memastikan bahwa setiap masyarakat dapat memenuhi kebutuhan utama mereka dalam periode jaga jarak, yaitu masker dan makanan pokok. Pengawasan ini juga perlu diikuti dengan penegakan hukum.
Perlu ditekankan juga bahwa penjagaan kondisi masyarakat saat periode jaga jarak saja tidak cukup. Pemerintah juga perlu memiliki rencana ekonomi jangka panjang untuk mengurangi dampak negatif dari pandemi ini. Hal ini bisa dilakukan dengan memprioritaskan penganggaran beberapa sektor ekonomi. Contoh dari prioritas tersebut dapat dicerminkan dengan mengalokasikan pengeluaran untuk infrastruktur kesehatan, terutama untuk ketersediaan barang dan kepentingan penelitian.
Umumnya, prioritas untuk penelitian dalam pandemi bukanlah hal yang lazim. Apalagi kondisi anggaran negara sudah defisit dan prioritas negara ada pada penanggulangan. Namun, hal ini justru penting karena analisis dan penelitian mengenai penyakit dapat memberikan panduan kebijakan publik di masa depan. Kelly-Cirino et al. menyatakan bahwa panduan ini bisa digunakan untuk menentukan implementasi kebijakan yang tepat, baik dari segi waktu maupun alokasi sumber daya yang diperlukan. Alokasi dana untuk penelitian pun akan mengamankan kondisi perekonomian jangka panjang melalui perencanaan penanganan pandemi.
Selain menerapkan kebijakan jaga jarak, pemerintah pada 19 Maret 2020 menyatakan akan mengambil kebijakan tes massal. Namun, keputusan melakukan tes massal ini seyogianya disertai prosedur-prosedur yang jelas. Memetakan siapa saja yang perlu dites menjadi tugas mendesak bagi pemerintah untuk meningkatkan presisi hasil tes. Pelacakan riwayat interaksi pasien positif perlu dioptimalkan agar tidak terjadi kasus tak terdeteksi yang malah menimbulkan pandemi lebih luas lagi. Melakukan tes hanya kepada orang-orang yang menunjukkan gejala cenderung lebih hemat. Namun, adanya pasien positif tanpa gejala perlu diperhitungkan agar tidak memperparah pandemi.
Selanjutnya, timbul pertanyaan: apakah fasilitas kesehatan di Indonesia mampu menerapkan langkah-langkah ini? Hingga pertengahan Maret, terdapat berita yang menyebut sebuah rumah sakit di daerah Bekasi menelantarkan pasien positif Covid-19. Penolakan pasien yang terindikasi positif Covid-19 juga kerap ditemui di rumah sakit lainnya. Rumah sakit ini berdalih pasien tersebut tidak cukup menunjukkan gejala tertentu sehingga tidak perlu dilakukan tes dan perawatan lain. Jika hal ini terus terjadi, deteksi kasus positif Covid-19 akan terhambat. Konsekuensinya adalah akan terjadi penyebaran virus dengan lebih luas lagi.
Belum lagi mempertimbangkan jumlah dan persebaran tenaga medis di Indonesia yang tidak merata dan cenderung terkonsentrasi di Jawa. Indonesia juga masih defisit tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 6.192 orang pada tahun 2019. Kebijakan melakukan tes massal yang cenderung diikuti oleh peningkatan jumlah kasus positif secara drastis dikhawatirkan tidak mampu diatasi oleh fasilitas kesehatan saat ini. Kenaikan drastis jumlah kasus positif akan menjadi masalah jika jumlah tenaga medis yang ada tidak proporsional dengan jumlah pasien.
Kebijakan tes massal di Indonesia diharapkan dapat berdampak besar untuk penanganan pandemi Covid-19 seperti Korea Selatan. Namun, tes massal juga perlu disertai dengan prioritas penanggulangan dan perbaikan. Sejauh ini, kedua hal ini belum diwujudkan melalui kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah. Penting bagi pemerintah untuk memfokuskan sumber daya ekonomi yang ada pada dua prioritas tersebut. Hal ini mungkin akan menimbulkan penurunan performa ekonomi untuk sementara waktu. Namun sekali lagi, pengorbanan ekonomi jangka pendek diperlukan untuk mencegah krisis penduduk akibat pandemi. Di sisi lain, jika wabah ini tidak ditangani dengan langkah tambahan, bukan tidak mungkin bahwa akan ada kerusakan jangka panjang di seluruh sektor negara.
Penulis: Adit S, Megantara Agustina Pertiwi M.
Penyunting: Beby Pane