
©Inggrid/Bal
Domestifikasi perempuan atau konsep tentang perempuan yang hanya boleh terlibat dalam urusan rumah tangga, belakangan ini menjadi polemik di masyarakat. Akhir-akhir ini, wacana tentang domestifikasi perempuan kembali menjadi sorotan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang dianggap terlalu mengatur ranah privasi warga negara. Salah satunya tampak pada Pasal 25 yang menerangkan tentang kewajiban suami-istri.
Berangkat dari permasalahan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Julia Suryakusuma, pengamat sosial-politik, aktivis perempuan, dan penulis buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Dalam wawancara ini, Julia memberikan pandangannya tentang domestifikasi perempuan di Indonesia dan keterkaitannya dengan RUU Ketahanan Keluarga.
Apa yang dimaksud dengan domestifikasi perempuan?
Domestifikasi perempuan, seperti yang dijabarkan dalam konsep ibuisme negara, merupakan sebuah konsep tentang subordinasi (penomorduaan) kedudukan perempuan di bawah laki-laki. Hal ini merupakan penindasan terhadap perempuan, karena hanya dianggap sebagai kanca wingking (teman yang berada di belakang), dan harus selalu melayani laki-laki.
Bagaimana domestifikasi perempuan terjadi di Indonesia?
Domestifikasi perempuan di Indonesia adalah ideologi gender yang terdapat pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), dan Reformasi (1998-sekarang). Sebenarnya pada era Demokrasi Terpimpin, perempuan mulai menempati posisi penting di dalam pemerintahan. Terbukti dengan adanya dua menteri wanita, yakni Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Surastri Karma Trimurti sebagai Menteri Perburuhan. Selain itu, Presiden Soekarno merupakan figur yang feminis, terlihat dari bukunya yang berjudul Sarinah. Di dalam bukunya, Bung Karno menampilkan ide-idenya yang progresif tentang perempuan yang sejalan dengan paham sosialis yang dianutnya. Menurutnya, di dalam masyarakat terdapat “pendewi-tololan” perempuan, yaitu keadaan ketika perempuan diagung-agungkan, namun sebenarnya disubordinasikan. Saya pernah mewawancarai Ibu Inggit Garnasih, istri kedua Bung Karno. Beliau merupakan figur yang sangat besar perannya dalam membantu perjuangan suaminya semasa revolusi kemerdekaan. Bu Inggit bercerita bahwa dirinya mengajarkan banyak hal kepada Bung Karno dan mengantarkannya ke gerbang kepresidenan pertama Indonesia. Namun, Ibu Inggit tidak mendapat kedudukan yang layak didapatnya sebagai Ibu Negara karena tidak bersedia dipoligami ketika Soekarno menikahi Fatmawati.
Kemudian, pada masa Orde Baru peran perempuan semakin terkucilkan. Perempuan yang mendapat posisi penting adalah mereka yang mempunyai keterkaitan dengan keluarga Soeharto atau elite penguasa. Pemerintah melakukan domestifikasi perempuan melalui ideologi ibuisme negara yang merupakan perpaduan dari konsep pengiburumahtanggaan borjuis Belanda dan paham ibuisme priayi Jawa. Ideologi ini kemudian digodok dalam organisasi Dharma Wanita dan disosialisasikan melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang terdapat di Indonesia.
Di dalam Dharma Wanita, dijabarkan lima prinsip yang disebut Panca Dharma Wanita mengenai tugas perempuan. Pertama, sebagai pendamping setia suami. Kedua, sebagai pendidik anak dan pembina generasi muda. Ketiga, sebagai pengatur rumah tangga. Keempat, sebagai pekerja penambah penghasilan. Kelima, sebagai anggota masyarakat yang berguna. Ideologi ibuisme negara yang dibentuk sesuai dengan karakteristik kalangan elite ini tentunya mendiskriminasi mayoritas perempuan miskin di pedesaan. Di kalangan masyarakat miskin, baik suami maupun istri harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Pada awal Reformasi, gerakan perempuan untuk melawan domestifikasi mulai bangkit. Diawali dengan terbentuknya gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) yang pertama kali muncul melalui demonstrasi di bundaran Hotel Indonesia pada 23 Februari 1998. Bersama ini saya juga ingin meluruskan sejarah, bahwa bukan mahasiswa yang mengawali reformasi, melainkan gerakan SIP.
Setelah gerakan SIP, muncul lembaga swadaya masyarakat perempuan lainnya seperti Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi dan Keadilan, Solidaritas Perempuan, Kapal Perempuan, dan sebagainya. Walaupun gerakan perempuan mulai bangkit, domestifikasi tetap kuat. Hal ini bersumber dari interpretasi konservatif dan literal terhadap pemahaman Islam yang sejalan dengan paham ibuisme negara. Interpretasi tersebut kemudian memberikan kekuatan pada munculnya peraturan-peraturan daerah yang membatasi ruang gerak perempuan. Padahal, dengan interpretasi yang lebih kontekstual, sebetulnya Islam tidak mutlak mendomestifikasi perempuan. Apabila berkaca dari Nabi Muhammad, beliau merupakan figur yang feminis, menyayangi istri, dan menempatkan perempuan pada derajat yang setara dengan laki-laki.
Bagaimana kebijakan pemerintah terkait domestifikasi perempuan pada era Reformasi?
Pada era Reformasi, sempat disahkan beberapa Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang hak-hak perempuan, di antaranya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun, implementasinya tidak baik. UU yang seharusnya memberikan kepastian hukum justru dalam penerapannya sering sulit dijalankan karena keyakinan adat dan agama yang masih mengakar kuat di masyarakat. Misalnya, peraturan terkait poligami pada revisi UU Perkawinan yang mengharuskan seorang laki-laki untuk mendapat izin tertulis dari istri sebelumnya jika ingin menikahi perempuan lain. Namun dalam praktiknya, masih banyak laki-laki melakukan poligami tanpa meminta izin kepada istri. Contoh lainnya terkait dengan perkawinan anak. Dengan disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU Perkawinan, usia minimal menikah bagi perempuan adalah 19 tahun. Implementasi UU ini juga tidak berjalan lancar. Padahal perkawinan anak merupakan hal yang sangat merugikan, bukan hanya bagi mereka yang menikah di usia muda, tetapi juga bagi negara.
Bagaimana tanggapan Anda terkait RUU Ketahanan Keluarga yang memunculkan agenda domestifikasi perempuan?
RUU Ketahanan Keluarga merupakan bentuk ibuisme negara yang sarat dengan nilai-nilai Islam yang sangat konservatif. Hak-hak perempuan pada RUU ini sangat dimundurkan, bahkan lebih parah daripada penerapan ibuisme negara pada zaman Orde Baru. Perempuan tidak lagi dianggap manusia seutuhnya karena kehilangan hak-haknya. RUU Ketahanan Keluarga juga terlalu berpaku pada seksualitas yang merupakan urusan privat. Ironisnya, sejak empat tahun lalu ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang menunggu untuk disahkan namun gagal terus karena dijegal oleh partai-partai seperti Partai Keadilan Sejahtera. Ketidakjelasan tentang pengesahan RUU PKS merupakan bagian dari anggapan dalam konsep domestifikasi bahwa perempuan hanyalah alat pemuas seksual laki-laki.
Adakah sisi positif dari domestifikasi perempuan?
Konsep domestifikasi perempuan tidak pernah baik karena selalu menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Konsep ini bisa bertahan lama karena anggapan yang sudah melekat kuat dalam masyarakat bahwa setinggi-tingginya posisi perempuan, nantinya masuk ke dapur juga. Pembatasan terhadap perempuan ke dalam ranah domestik bukanlah hal yang bijak dan sebuah penyia-nyiaan perempuan yang tentunya merugikan negara. Terlebih lagi perempuan kini sudah mendapat akses pendidikan yang sama dengan laki-laki, demikian juga dalam hal kesempatan kerja meski masih belum memuaskan.
Apa langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah untuk menghapus konsep domestifikasi perempuan?
Domestifikasi perempuan mungkin sulit untuk dihapus, namun minimal harus dikurangi. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah tidak mengesahkan RUU Ketahanan Keluarga. DPR harus mengesahkan RUU PKS yang sudah sangat mendesak karena angka kekerasan terhadap perempuan kian meningkat. Negara juga seharusnya menunjuk dan menempatkan lebih banyak perempuan pada posisi kunci dan mendukung berbagai kegiatan perempuan dalam seluruh sektor. Perempuan merupakan unsur vital dalam kemajuan sebuah negara. Oleh karena itu, negara perlu melembagakan kesetaraan dan keadilan gender di dalam semua kebijakannya. Selain itu, masyarakat juga harus ikut serta dalam penegakan hak-hak perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: M. Affan Asyraf dan Syifa Hazimah H.A.
Penyunting: Nadia Intan Fajarlie
1 komentar
A: Domestikasi perempuan > urusan belakang rumah
B: Kucing Domestik > makhluk yang kerjaannya bengong
Berdasarkan hukum cocoklogi, ada persamaan di antara kedua pernyataan di atas; penyia-nyiaan potensi. Gud job balairung press