Senin (9-3), berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bergerak (ARB) kembali melaksanakan aksi bertajuk “Rapat Rakyat, Mosi Parlemen Jalanan”. Aksi tersebut diadakan sebagai respon atas RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah ke DPR dan dianggap merugikan berbagai elemen masyarakat. Aksi yang berlangsung di Jalan Gejayan tersebut diikuti oleh mahasiswa, dosen, buruh, dan para seniman. Pada aksi kali ini adapun seniman yang turut memberikan dukungan yaitu Spoor, Tashoora, Rara Sekar-Danto, Kepal SPI, dan Rebellion Rose.
Orasi yang diiringi berbagai macam bentuk kesenian ini dilaksanakan di tengah-tengah pertigaan Gejayan. Petikan gitar memulai penampilan disambut tepuk tangan dari massa aksi. Berpanggungkan mobil bak terbuka, para seniman asal Jakarta dan seniman lokal meramaikan aksi sore itu. “Ayo berseru, mari bersatu, rakyat pasti menang!” teriak massa aksi di tengah penampilan Spoor. Mereka mengaku hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap gerakan penolakan omnibus law.
Lagu-lagu berjudul “Kamuflase”, “Mars Pejuang”, dan “TKI” dinyanyikan oleh Spoor sore itu. Dodok, salah satu personil Spoor menceritakan bahwa lagu-lagu tersebut diciptakan pada tahun 1996 dan sempat dibawakan 23 tahun yang lalu ketika tragedi ‘98. “Sampai sekarang lagu-lagu itu ternyata masih relevan untuk kami bawakan,” lanjutnya sambil merokok di bawah poster yang bertuliskan “Rapat Parlemen Jalanan”.
Di sisi lain, Rebellion Rose dengan genre rock membawakan lagu berjudul “Buruh Tani”, “Terima kasih”, “Setara”, dan “Akulah Peluru” di depan massa aksi. “Marilah kawan mari kita nyanyikan, sebuah lagu tentang pembebasan,” sorak sorai massa aksi menyanyikan lagu “Buruh Tani”. Menurut penuturan Fian, sang vokalis, bahwa mereka akan terus mendukung aksi-aksi yang dilakukan ARB. Selain memberikan dorongan agar aksi-aksi sejenisnya dapat terus dilakukan, ia juga menanggapi isi omnibus law yang kontroversial. “Omnibus law ini adalah buku komedi yang diterbitkan pemerintah, isinya tidak masuk akal, terutama yang RUU Cipta Kerja,” tanggapnya.
Jessica Amoeba, seniman lokal asal Yogyakarta juga menyampaikan keresahannya terkait omnibus law. Ia menyoroti perubahan pada hak cuti haid, menikah dan beribadah yang seharusnya didapat perempuan. Menurutnya, penghapusan cuti haid dan cuti lainnya merupakan ketidakbijaksanaan yang merugikan perempuan. “Omnibus law ini tidak memposisikan posisi perempuan,” jelas Jessica.
Senada dengan Jessica, Fafa salah satu anggota Agoni mengungkapkan, terlepas dari aksi sore itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat harus terus menyuarakannya. “Tidak kalah penting dari aksi ini ya perjuangan teman-teman dalam keseharian, seperti di tempat kerja dan sekitar rumah,” imbuhnya. Ia melanjutkan, bahwa jangan sampai suara masyarakat berhenti di aksi itu.
Tidak hanya seniman lokal, beberapa seniman ibu kota juga turut hadir meramaikan aksi di Gejayan kali ini. Menyanyikan lagu “Tanah Air Beta”, Tashoora disambut sorak sorai massa aksi. “Mengingat pemerintah 24 jam berkonsolidasi untuk memenuhi kepentingannya, kita harus melakukan hal yang sama,” tutur Awan salah satu personil. Ia juga menjelaskan bahwa banyaknya kepentingan yang dirusak menuntut masyarakat untuk melawan bersama.
Tashoora yang juga tak jarang menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui lagu-lagu mereka sepakat untuk menolak omnibus law. Menurut mereka, omnibus law tersebut jelas ngawur karena dibuat hanya dalam waktu 100 hari. Selain itu, mereka juga menyampaikan keresahan terkait omnibus law yang juga disoroti oleh para seniman sebelumnya.
Menurut Tashoora, omnibus law dapat memperparah status para pekerja kreatif yang sedang mereka jalani saat ini. Karena, ketika status pekerja kreatif semua menjadi kontrak, maka perhitungannya adalah jam kerja. “Padahal kan pekerja kreatif itu semakin cepat maka semakin bagus dia dalam bekerja,” tegas Danang. Hal tersebut yang mereka khawatirkan menjadi pemicu perdebatan para pekerja kreatif nantinya.
Selain Tashoora, di tengah hujan yang mengguyur sepanjang Jalan Gejayan, Rara Sekar, seorang musisi asal Jakarta menyampaikan keresahan yang senada. Menurutnya, omnibus law dapat mengurangi jaminan sosial yang seharusnya diterima oleh pekerja tetap. “Terlebih lagi, pekerja lepas seperti para seniman,” ungkapnya. Sehingga, menurut Rara pekerja kreatif akan semakin rentan dengan adanya omnibus law itu.
Rara yang juga anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), mengungkapkan bahwa omnibus law ini telah menjadi pembahasan yang cukup sering. Ia mengungkapkan keresahannya sebagai salah satu pekerja lepas. Ia menuturkan bahwa dia harus menanggung jaminan-jaminan yang cukup memberatkan. “Pada akhirnya aku tidak akan pernah bisa bener-bener punya modal yang banyak modal untuk beli tanah seperti generasi yang dulu,” ungkap Rara. Selain itu, menurutnya pendekatan mahasiswa ke masyarakat tentang memahami omnibus law juga memiliki peran yang cukup penting. “Bahwa perjuangan masih panjang, tapi kita harus berani,” tegas Rara di atas panggung.
Menutup aksi sore itu, di bawah panggung beratapkan terpal, Kepal SPI menyanyikan lagu “Semua Ada Di Sini”. Tampak salah satu massa aksi berjoget ria di depan polisi, mengundang gelak tawa massa aksi lainnya. Tepat pukul 17.00 WIB seluruh massa aksi membubarkan diri, dan Jalan Gejayan kembali digunakan untuk lalu lintas warga.
Reporter: Elvinda
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah
Editor: Anggriani Mahdianingsih