Narasi mengenai meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia selalu menjadi perdebatan. Hal tersebut tidak lepas dari banyaknya definisi mengenai kelas menengah. Seperti dilansir dari asumsi.co, laporan tentang studi kelas menengah di Indonesia hasilnya berbeda-beda, sebab masing-masing institusi mempunyai parameter yang berbeda. Bank Dunia melaporkan bahwa kelas menengah di Indonesia berjumlah 20 persen, atau sekitar 52 juta jiwa. Jumlah ini berbeda dengan Asian Development Bank maupun Global Wealth Report. Perbedaan perspektif dalam menggolongkan tersebut berimplikasi terhadap pandangan mereka tentang kelompok miskin dan rentan.
Berangkat dari fenomena tersebut, Balairung berkesempatan untuk mewawancarai Muhtar Habibi. Ia sedang mengejar gelar doktoral pada jurusan Studi Pembangunan di School of Oriental and African Studies, London, Inggris. Penelitiannya berfokus pada dinamika agraria, perburuhan, kelas sosial, dan industrialisasi. Dalam wawancara bersama Muhtar Habibi, dia mengkritik pandangan masyarakat umum mengenai kelas menengah yang banyak berpijak pada pendekatan Weberian.
Bagaimana Weber menjelaskan kelas sosial dalam analisis kelasnya?
Kelas sosial dalam analisis kelas ala Max Weber menggambarkan tingkat kesempatan hidup yang diukur dari tingkat pendapatan. Dari tingkat pendapatan, orang dapat memiliki kesempatan yang berbeda dalam berbagai bidang, seperti pendidikan dan kesehatan. Misalkan A mempunyai pendapatan lebih banyak ketimbang B, maka A dapat mengakses pendidikan lebih baik ketimbang B. Dalam konteks A dan B, bisa dikatakan A memiliki kelas sosial lebih tinggi dari B. Dari analisis tersebut lahirlah kelas-kelas sosial seperti kelas atas, kelas bawah, kelas menengah, dan seterusnya.
Dalam analisis kelas Weber, tiap peneliti dapat menghasilkan jumlah kelas yang berbeda dengan rentang pendapatan yang berbeda pula. Saya kasih contoh misal, peneliti A menilai bahwa kesempatan hidup kelas bawah adalah pada rentang pendapatan 0—2 juta, kelas menengah bawah 2—4 juta, kelas menengah 4—6 juta, kelas menengah atas 6—8 juta, kelas atas 8 sampai sekian juta keatas. Berbeda dengan peneliti A, peneliti B mempunyai indikator sendiri mengenai kesempatan hidup sehingga ia memiliki jumlah kelas dan rentang pendapatan yang berbeda dari peneliti A.
Lalu bagaimana dengan Bob Sadino atau Bill Gates yang berpendapatan 20 miliar setiap bulan? Pastinya ia memiliki kesempatan hidup berbeda dengan orang yang memiliki pendapatan 1 miliar. Sehingga pembagian kelas berdasarkan tingkat pendapatan atau tingkat kesempatan hidup menghasilkan jumlah kelas yang relatif tidak terbatas.
Apa implikasi dari jumlah kelas yang relatif tidak terbatas?
Nah, bagi perspektif Marxian, analisis kelasnya Weber tidak bermakna karena jumlah kelasnya cenderung tidak terbatas, banyak sekali. Kalau jumlah kelasnya tidak terbatas, apa gunanya analisis kelas? Tiap peneliti bahkan bisa mengembangkan jumlah kelasnya sendiri. Maka dari itu jangan salahkan Badan Pusat Statistik (BPS) kalau mereka mengatakan terjadi kenaikan jumlah kelas menengah, itu ya karena BPS mempunyai ukuran kelas menengah sendiri. BPS bahkan dapat membuat indikator sendiri mengenai kemiskinan. Ini bisa dipahami sebagai bagian dari trik-trik pemerintah untuk mendongkrak popularitas atau kepentingan-kepentingan yang lain.
Kritik selanjutnya, analisis kelas Weber menggambarkan kemudahan setiap orang untuk melakukan mobilitas kelas. Umpama seseorang memiliki pendapatan 2 juta, dua tahun kemudian pendapatannya naik karena naik pangkat, maka kelas sosialnya juga naik. Tapi begitu perusahaan bangkrut ia turun kelas sebab pendapatannya turun. Bagi perspektif Marxian, kemudahan mobilitas kelas tersebut sebenarnya memberikan ilusi.
Bagaimana sebenarnya perspektif Marxian memandang kelas sosial?
Analisis kelas ala Karl Marx memiliki sudut pandang yang berbeda dari analisis kelas Weber. Bagi Marx, kelas sosial menggambarkan posisi seseorang dalam proses eksploitasi. Posisi seseorang dalam proses eksploitasi dibentuk oleh sebuah relasi sosial yang dapat dianalisis melalui empat pertanyaan ekonomi politik. Sehingga setidaknya ada dua jenis kelas ala Marx, yaitu kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang dieksploitasi. Meskipun begitu, ada kemungkinan ketiga yaitu kelas yang tidak dieksploitasi dan tidak mengeksploitasi istilahnya adalah Petty Commodity Producer (PCP). PCP sifatnya subsisten dan cenderung sangat rentan mengalami tekanan subsistensi yang dapat menyebabkan PCP mudah terkomodifikasi menjadi kapitalis atau buruh.
Bagaimana eksploitasi dapat terjadi?
Sebelumnya, yang perlu dipahami adalah bahwa eksploitasi berlangsung dari zaman ke zaman. Pada zaman feodal, eksploitasi dilakukan dengan metode politik. Metode politik dilakukan melalui penetapan peraturan seperti upeti wajib, iuran wajib, ataupun kewajiban kerja tanpa bayaran bagi para petani untuk kepentingan tuan tanah.
Pada zaman kapitalisme, eksploitasi dilakukan dengan metode ekonomi. Disebut dengan metode ekonomi sebab kapitalis atau pemilik modal mengeksploitasi buruh dengan cara membeli tenaganya di pasar. Ini menimbulkan adanya ilusi seolah-olah hubungan antara kapitalis dan buruh itu adil saat kapitalis membeli tenaga buruh dan buruh menjual tenaganya di pasar. Padahal ada proses struktural di balik kesukarelaan orang-orang yang menjual tenaganya ke pasar. Mulanya segala sarana produksi, misal tanah yang mereka punya dirampas dulu oleh pemerintah untuk dijual kepada pemilik modal. Karena sudah tidak memiliki tanah sebagai alat produksi maka yang tersisa adalah tenaga, mau tidak mau orang-orang ini harus menjual tenaganya ke pasar.
Ketika orang-orang yang tidak lagi mempunyai sarana produksi menjual tenaganya ke pasar, mereka menjadi buruh. Kapitalis selaku pembeli membayar buruh dalam bentuk upah, akan tetapi upah tersebut selalu lebih rendah dari nilai kerja yang sebenarnya dihasilkan oleh buruh. Marx berhasil menangkap fenomena tersebut dan menggambarkannya dalam teori nilai lebih. Contoh dari teori tersebut, misal seorang buruh dalam sebulan menghasilkan ratusan sepatu yang nilainya puluhan juta. Alih-alih dibayar dengan puluhan juta tersebut, buruh tersebut hanya diberi upah tiga juta.
Berarti apa saja aspek umum yang diteliti dalam tiap analisis kelas?
Secara umum, terdapat dua aspek yang diteliti dalam tiap analisis kelas. Pertama, aspek struktur sosial diteliti untuk menggambarkan posisi orang dalam kelas sosial. Kedua, aspek relasi sosial diteliti untuk menggambarkan hubungan antar kelas serta implikasinya. Pada analisis kelas Marx, aspek struktur diteliti menggunakan pendekatan kepemilikan sarana produksi. Dari pendekatan tersebut pemilik modal berada di posisi kelas yang mengeksploitasi, sedangkan buruh berada di posisi kelas yang dieksploitasi.
Dalam konteks gerakan sosial, seberapa penting analisis kelas Marx?
Ya, sangat krusial sekali. Tanpa analisis kelas Marx, hal yang paling fatal adalah kita luput terhadap eksploitasi yang terjadi. Alih-alih menghapus eksploitasi, masyarakat malah turut melanggengkan eksploitasi yang terjadi hampir di semua sektor. Misal pada sektor pertanian, industri, atau jasa bisa ditemukan relasi antara pemodal dan buruh. Sayangnya memang analisis kelas Marx jarang kita temukan dalam gerakan-gerakan sosial, terutama di Indonesia.
Mengapa analisis kelas Marx jarang ditemukan dalam gerakan-gerakan sosial di Indonesia?
Tentu saja kita harus menengok peristiwa G30S pada tahun 1965. Pada peristiwa itu terjadi pembantaian massal serta pemberedelan ajaran Marxisme seperti analisis kelas Marx. Alhasil, kita kehilangan analisis kelas pasca peristiwa itu. Selain itu juga terdapat hal yang menyebabkan analisis kelas Marx tidak ditemukan dalam gerakan-gerakan sosial. Ketika Marxisme dilarang, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkembang. Berkembangnya LSM berkelindan dengan perspektif post-modern. Alhasil, gerakan sosial hanya merayakan perbedaan di level identitas. Sebab perspektif post-modern seringkali menolak hal-hal esensial seperti analisis kelas. Mereka mengklaim bahwa kelas sosial bisa dipahami secara berbeda-beda.
Penulis: M. Fadhilah Pradana
Penyunting: Ayu Nurfaizah