Raja Belanda, Willem-Alexander, menobatkan tahun 2020 sebagai Tahun Multatuli pada Selasa (17-2). Hal ini dilakukan untuk memperingati ulang tahun ke-200 penulis Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. “Berbeda dengan Belanda, peringatan 200 tahun Multatuli justru tidak terlalu menggema di Indonesia,” ungkap sejarawan F.X. Domini B.B. Hera dalam acara bedah buku Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli. Acara tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Gedung Muhammadiyah, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, pada Senin (2-3). Pembicara lain yang turut hadir antara lain JJ Rizal, Direktur Komunitas Bambu, dan Ghifari Yuristiadhi, dosen Pariwisata Sekolah Vokasi UGM.
Buku Mitos dari Lebak karangan Rob Nieuwenhuys memuat telaah kritis atas romantisme sejarah yang selama ini dibentuk atas sosok Multatuli. “Ini menarik karena sebenarnya Nieuwenhuys merupakan seorang Multatulian, orang yang mengidolakan Multatuli,” tutur Domini. Ketertarikan yang besar terhadap sosok Multatuli pada akhirnya mendorong Nieuwenhuys untuk mengungkap berbagai mitos yang selama ini menyelimuti sosok Multatuli beserta karyanya, Max Havelaar.
Berdasarkan buku Mitos dari Lebak, Rizal menyimpulkan bahwa telah terjadi politik memori atas sosok Multatuli. Menurutnya, politik memori ini yang melandasi tindakan Belanda setiap kali berusaha menarasikan sejarah Multatuli. “Belanda berusaha membuat hubungan baik dengan Indonesia karena punya kepentingan politik tertentu,” jelas Rizal. Salah satu usahanya yaitu membiayai penerjemahan Max Havelaar ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin pada 1972 dan memproduksi film dari buku tersebut pada 1976.
Selain untuk kepentingan politik, Rizal merasa motif lain Belanda mengangkat narasi tentang Multatuli adalah untuk menunjukkan superioritas kulit putih. Menurutnya, Belanda ingin menarasikan bahwa sistem kulit putih yang mereka ciptakan hanya bisa dikritik pula oleh orang kulit putih, yaitu Multatuli. “Dengan begitu, rasa malu Belanda akan berkurang karena yang mengkritik mereka bukan pribumi,” ujarnya.
Menurut Rizal, politik memori ini justru mulai dijalankan oleh para tokoh pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Saat itu, Max Havelaar digunakan untuk memberi gambaran yang sesungguhnya atas praktik kolonialisme. “Nasionalisme selaras dengan humanisme yang diusung Multatuli, karena yang ditentang sama-sama kolonialisme,” jelasnya. Rizal menyebut bahwa Multatuli menempati posisi yang istimewa di kalangan para tokoh pergerakan nasional, sebab karyanya telah membangkitkan semangat mereka untuk melawan kolonialisme.
Dalam sejarah Indonesia modern, terdapat narasi bahwa era cultuurstelsel berakhir berkat Max Havelaar. Rizal menganggap hal ini tidak tepat karena menurutnya kebijakan tersebut dihapuskan sebagai akibat pemberontakan petani yang begitu masif. Menurut Rizal, hal tersebut membuktikan bahwa politik memori telah menyebabkan banyak orang kecil hilang dari sejarah. “Sampai hari ini, petani dianggap tidak bisa membuat perubahan besar dalam sejarah, karena yang bisa mengubah jalannya sejarah adalah elite,” tambahnya.
Selain itu, Multatuli dianggap ambigu oleh beberapa sejarawan. Ghifari merasa bahwa sosok Multatuli tidak sehebat dengan yang digambarkan dalam buku sejarah. Sosoknya digambarkan sebagai seorang Belanda yang pro terhadap masyarakat bumiputra dan juga penulis buku yang mengakhiri penderitaan mereka. Padahal menurutnya, ada maksud lain dalam penulisan buku tersebut, yaitu keinginannya untuk mendapat perhatian dari masyarakat bumiputra, sehingga ia bisa mendapat posisi yang lebih tinggi. “Korupsi merupakan hal yang paling ia kritik pun nyatanya turut ia lakukan,” jelas Ghifari. Korupsi yang Ghifari maksud yakni ketika Multatuli berada di Natar.
Mendengar hal tersebut, Rahmanto, guru sejarah, menyatakan kebingungannya dalam menghadirkan fakta sejarah kepada muridnya. Pasalnya, seorang guru hanya bisa menyampaikan materi berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah. Sedangkan menurut Rizal, penggunaan sumber primer mengenai sejarah Indonesia dan Belanda juga diperlukan dalam pembelajaran sejarah. “Sehingga diharapkan, pelajar dapat memandang suatu peristiwa sejarah dengan perspektif yang berbeda,” tutup Ghifari.
Penulis: Han Revanda Putra, Syifa Hazimah H.A.
Penyunting: Hanifatun Nida