Toxic, sebuah kata yang identik dengan sindiran atau plesetan, nyatanya mampu mengilhami berdirinya studio tato di Jalan Bangunjiwo Sejahtera, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Munir, pendiri Toxic Tattoo, menerangkan bahwa keberanian memilih kata toxic bukan tanpa sebab. Toxic Tattoo sendiri lahir pada Juni tahun 2000 sesaat setelah aroma orde baru. Saat itu, tato dipandang sebagai sesuatu yang beracun. Siapa sangka Munir bersama teman satu kontrakannya malah nekat mendirikan studio tato. Wajar saja jika Hatib Abdul Kadir Olong, penulis buku Tato, menyebut bahwa studio Toxic Tattoo lahir dari sindiran.Â
Sekilas, studio Toxic Tattoo terlihat mengusung konsep bangunan ala eco-house dengan nuansa terbuka. Di dalamnya berjejer rapi lemari kaca untuk menyimpan berbagai koleksi alat dan bahan keperluan tato, seperti jarum, botol-botol tinta beragam warna, mesin coil, hingga perlengkapan hygiene. Koleksinya itu tidak hanya sebatas penunjang estetika ruangan saja, melainkan juga untuk diperjualbelikan.Â
Ditemani dua gelas teh hangat, BALAIRUNG berkesempatan berbincang secara mendalam tentang dunia tato bersama Munir. Menurut lelaki jebolan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta tersebut, tato diartikan sebagai bagian dari kreativitas dan sarana ekspresi diri dari ungkapan tubuh yang sangat individual. Dia mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya tidak lepas dari sugesti. âTato merupakan wujud dari sugesti yang mengungkapkan segala harapan atau doa untuk memberikan keseimbangan dalam kehidupan seseorang,â tambahnya.Â
Berpijak pada makna tato tersebut, tak ayal jika studio Toxic Tattoo tidak memiliki corak atau fokus tato tertentu, tetapi selalu mengikuti permintaan pelanggan. Karena itu, tato yang dihasilkan sangat trendy dan mengikuti arus perkembangan zaman, sebagaimana saat ini tato lebih mengarah ke corak modern kontemporer. Menurut Munir, tato modern di masa kini sangat digemari oleh kaum urban. Alasan terkuatnya adalah motif-motif tato yang dipilih dipercaya memiliki filosofi tertentu yang mampu mengekspresikan citra diri seseorang.Â
Motif tato yang mengandung unsur warna lebih hidup, garis-garis tegas, serta mengacu pada motif tato tradisional suatu masyarakat adat tertentu, cenderung menjadi motif tato yang sedang naik daun. Semuanya itu terangkum dalam desain tato gaya neotribalisme. Ada dua alasan mengapa gaya ini digemari oleh kaum urban. Pertama, tato gaya ini tidak perlu menjalani proses ritual yang begitu panjang. Jika dibandingkan dengan paten-paten dalam masyarakat adat, untuk dapat memperoleh motif tato tertentu, seseorang harus melampaui tahapan khusus dalam hidupnya. Contohnya yaitu pada wanita suku Dayak yang sudah bisa menenun, maka akan digambar tato pada pergelangan tangan, di kaki apabila sudah menikah, dan di wajah untuk istri dari seorang panglima. Kedua, desain bersifat individual anatomy atau mengikuti kontur tubuh.Â
Sejarah neotribalisme pertama kali muncul atas dasar kejenuhan masyarakat Barat dalam mengekspresikan dirinya. Kemudian mereka berusaha untuk membuat tato yang unik dan baru, yang bebas dari cengkraman adat tradisional. Singkat cerita, neotribalisme berkembang pesat di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya studio tato Celtic dengan gaya khas tribal oleh Louis Johnson. Studio tersebut begitu ramai dan menjadi populer sehingga sering dimuat dalam majalah Tatto Time dan menjadi inspirasi bagi kaum punker dalam bertato. Puncaknya, muncul tatois yang bergaya khas tribal, seperti Cliff Raven, Dan Thome, Roger Ingertoon, Michael Malone, Lao Brereton, hingga Kandi Everett, yang dikenal sebagai raja tato tribal pada saat itu. Kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh influencer dunia seperti aktor Dwayne Johnson yang menghiasi setengah lengan kirinya dengan motif tribal khas Samoa serta Aquaman dan Jason Momoa yang menghiasi pergelangan tangannya dengan motif tribal khas Hawaii. Hal ini menyebabkan gaya neotribalisme semakin populer di kancah internasional.Â
Tato gaya neotribalisme merupakan perpaduan dan pengembangan beragam motif tribal tradisional dari berbagai suku budaya di dunia. Hatib dalam buku Tato menjelaskan bahwa gaya neotribalisme ini mengangkat nilai pluralitas, semangat kedaerahan, dan nilai tradisionalitas meskipun tetap dibungkus dengan nuansa modern. Motif-motif tato tribal yang dimiliki suku Maori dari Selandia Baru, Samoa dari pedalaman Hawaii, Nuer dari Afrika, dan suku-suku di Nusantara seperti Dayak dan Mentawai juga mengambil peran dalam terciptanya variasi tato gaya neotribalisme. Perbedaannya dengan tato tribal yang berkembang di pedalaman terdapat pada proses pembuatannya. Tato tribal menggunakan teknik hand tapping dengan atribut tongkat jarum dan tongkat pukul yang terbuat dari kayu ulin, sedangkan tato neotribalisme sudah menggunakan mesin coil. Selain itu, proses penatoan dalam tato tribal masih menghadirkan ritual-ritual yang bersifat spiritual dan sakral.
Tato tradisional memiliki berbagai fungsi dalam penggunaannya, mulai dari perhiasan tubuh, pengobatan, hingga identitas diri. Yasir, warga Kalimantan Tengah yang cukup kental dengan budaya tato suku Dayak, mengatakan bahwa motif Bunga Terung pada suku Dayak Iban menggambarkan perjalanan hidup, identitas saat merantau, dan penanda kedewasaan. Fungsi lain tato tradisional yakni sebagai simbol penghormatan terhadap penyandang status sosial tertentu, misal para sikereiâahli pengobatan tradisional suku Mentawaiâyang dikenal melalui motif Bintang Sibalu-Balu di tubuhnya. Selain itu, tato tradisional juga berfungsi sebagai bentuk perayaan bergantinya siklus kehidupan, seperti kelahiran, akil balig, pernikahan, dan sebagainya. Fungsi ini dapat dilihat dari budaya Mentawai Arat Sabulungan. Berdasarkan buku Tato yang ditulis Hatib, Arat Sabulungan merupakan kepercayaan suku Mentawai dalam mengatur kedudukan tato. Ketika anak laki-laki memasuki usia 11-12 tahun, penatoan dilakukan di bagian pangkal lengan. Sedangkan ketika mereka menginjak usia 18-19 tahun, penatoan dilakukan di bagian dada, paha, kaki, perut, dan punggung. Sementara itu, penatoan pada suku Dayak dimulai ketika wanita menginjak usia 16 tahun atau saat mengalami haid pertama. Â
Namun, seiring perkembangan zaman, tato tradisional sudah tidak sepenuhnya digunakan dalam konsep utilitas yang tertulis di atas. Kini, masyarakat sudah jarang menggunakan tato tradisional. Yasir menjelaskan realita bahwa di Kalimantan Tengah pun sudah sangat sedikit orang yang mau menato tubuhnya dengan motif-motif tradisional Dayak. Penyebab utamanya ialah masuknya modernitas, pengaruh dari ajaran agama-agama samawi, sistem negara yang menyulitkan orang bertato untuk mendapat pekerjaan, dan stigma masyarakat yang masih kurang baik terhadap orang yang bertato. Yasir menambahkan bahwa penikmat tato tradisional bukan lagi penduduk lokal, melainkan warga asing. âSetidaknya masih ada orang yang mau menghargai budaya tato tradisional dengan mengenakan itu di tubuhnya,â terang Yasir. Sehingga menurutnya, ini menjadi pukulan bagi warga Indonesia.
Fenomena mulai ditinggalkannya seni tato dalam masyarakat tradisional sudah semestinya menjadi keprihatinan. Bercermin pada beberapa video dokumenter seperti “Mentawai Tattoo Revivalâ yang menyorot kehidupan suku Mentawai dan didukung juga oleh penjelasan dari Yasir, dapat dilihat bahwa sulit sekali untuk menemukan penduduk lokal yang mengenakan tato khas suku mereka dengan segala paten dan fungsi sosialnya. Hal yang menjadi pertanyaan setelah bercermin dari kondisi tersebut adalah masih perlu atau tidak budaya tato tradisional untuk dipertahankan.Â
Menurut Hatib, masyarakat sebaiknya tidak memandang anggota suatu suku sebagai besi keras yang sulit untuk mengalami perubahan dan anti modernitas. Warga suatu suku juga memiliki rasa penasaran untuk mengikuti tren modern yang sedang berkembang, tak terkecuali dalam seni tato. âKalau kita perhatikan, masyarakat suku tersebut malah tidak terlalu sadar dan peduli akan hilangnya budaya tato dalam budaya mereka. Karena mereka juga memiliki obsesi terhadap modernitas itu sendiri,â jelas dosen Antropologi Universitas Brawijaya ini.Â
Hal yang saat ini sedang terjadi adalah adanya distorsi nilai tato itu sendiri, khususnya tato tradisional. âSaat budaya tato dalam masyarakat tribal itu dihapus, jika dipandang secara struktural, maka akan berpotensi menghilangkan banyak rentetan budaya lainnya,â terang Hatib. Sehingga menurutnya yang perlu dipertahankan adalah tradisi mereka dalam merayakan pergantian transisi kehidupan di balik simbolisasi tato, misalnya perayaan kedewasaan maupun pernikahan. Saat tradisi itu hilang, orang tidak tahu kapan dirinya mencapai kedewasaan. Bagi Hatib, jika penggunaan tato sebagai simbol kedewasaan juga dihilangkan, maka akan hilang juga esensi dari tato tersebut.Â
Sepakat dengan yang diungkapkan Hatib, Yasir mengungkapkan kekhawatiran yang serupa. Dia mengeluhkan masyarakat urban dan warga asing atas sikap mereka yang menikmati tato khas suku Dayak berdasarkan estetikanya saja tanpa memahami filosofi di balik motif tato itu sendiri. Terlena oleh tren neotribalisme membuat mereka semakin ingin untuk menambahkan motif-motif tribal pada tubuhnya, hingga terkadang mereka kurang memperhatikan tata letak tato yang benar. “Kenapa mereka seenaknya saja memodifikasi motif tato suku Dayak. Apakah mereka tidak bisa meluangkan waktu dua hari saja untuk belajar? Masa tato Bungai Terung ada yang ditaruh di lengan siku. Sungguh ini ironi,” kritik Yasir.Â
Yasir juga tidak bisa menampik eksistensi tato yang kini digunakan untuk kepentingan komersial. Dia tidak mempermasalahkan para tatois yang memodifikasi motif tato tradisional menjadi motif tato yang digemari oleh pasar. “Ya sudah tindakan itu tidak menjadi masalah, karena tatois juga butuh duit, kan,” tambahnya. Namun, dia menekankan, baik masyarakat maupun pecinta tato perlu belajar budaya tato tradisional agar lebih mengenal dan menghargai tato tradisional. Jika yang dikejar hanyalah nilai komersial dan sisi indahnya saja, maka dapat dipastikan sebentar lagi tato tradisional akan hilang, baik hilang ritualnya maupun hilang wujudnya akibat tergerus oleh arus modernitas.Â
Penulis: Haris Setyawan, Isabella
Penyunting: Hanifatun Nida