Memperingati milad ke-56 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pimpinan Cabang IMM A.R. Fakhruddin mengadakan diskusi bertajuk “Degradasi Ekologi: Menyelamatkan Indonesia dari Bencana Ekologi”. Acara yang bertempat di Ruang Amphitheater E6 Gedung K.H. Ibrahim Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut dilaksanakan pada Sabtu (29-2). Narasumber yang hadir antara lain Himawan Kurniadi, Kepala Divisi Advokasi Kawasan Walhi Yogyakarta; Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang; JJ Rizal, sejarawan; dan Gatot Supangkat, Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara itu, Rafi Hafidz bertindak sebagai moderator.
Kurniadi membuka diskusi dengan memaparkan permasalahan ekologi yang terdapat di Yogyakarta. Menurutnya, kerusakan ekologi di wilayah ini terletak pada bidang pariwisata. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk melaksanakan program pariwisata berbasis investasi. “Akhirnya, logika kita adalah bagaimana caranya untuk memperbanyak investasi,” tuturnya.
Selanjutnya, Kurniadi mengungkapkan tantangan baru yang akan dihadapi Yogyakarta sebagai akibat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024. Dalam RPJMN tersebut, berbagai proyek pembangunan seperti rel kereta api dan jalan tol direncanakan akan dibangun di Yogyakarta. Kurniadi menyebut bahwa berbagai proyek pembangunan ini adalah konsekuensi dari pariwisata yang berbasis pada investasi. “Jadi, tidak aneh kalau warga kemudian disingkirkan,” simpulnya.
Sementara itu, Merah memaparkan kerusakan ekologi yang terdapat di Kalimantan dan Papua. Menurutnya, 44 persen daratan Indonesia yang digunakan untuk pertambangan, khususnya di Kalimantan, telah menyebabkan banyak permasalahan ekologi. Hal ini diperparah dengan industri tambang yang dilakukan di perairan, seperti tambang minyak bumi dan gas alam. Selain itu, Merah menyebut bahwa di luar pertambangan masih terdapat berbagai konsesi seperti properti, pariwisata, dan perkebunan kelapa sawit. “Kalau ditotal, mungkin luasnya melebihi daratan Indonesia,” jelasnya.
Menurut Merah, konsesi yang paling membahayakan hari ini adalah tambang batu bara. Hal ini karena sebagian besar izin tambang diberikan hingga jangka waktu puluhan tahun, sehingga dampaknya terhadap kerusakan ekologi akan sangat besar. Merah menyebut bahaya ini masih ditambah dengan fakta bahwa sebagian izin tersebut diberikan untuk melakukan tambang di wilayah hutan. “Kalau pemerintah bilang akan konservasi lingkungan, itu bohong,” ungkapnya. Menurut Merah, Kementerian Lingkungan Hidup tidak memiliki komitmen untuk melindungi lingkungan hidup, apalagi hutan.
Lebih lanjut, Merah mengungkapkan bahwa tidak ada tanggung jawab dari pihak perusahaan untuk melakukan konservasi terhadap lahan yang telah mereka pergunakan. Akhirnya, lubang-lubang bekas galian tambang dibiarkan begitu saja. “Perusahaan tambang yang berutang mengembalikan dalam bentuk lubang,” ujarnya.
Hal yang serupa juga terjadi di Papua. Merah menyebut bahwa investasi tambang yang dilakukan PT Freeport Indonesia telah meninggalkan lubang berdiameter 3,3 kilometer. “Rumusnya, tambang itu rakus lahan,” imbuhnya. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa pulau-pulau kecil di sekitar Papua juga tenggelam akibat tambang.
Sementara itu, Rizal memberikan perspektif sejarah atas kerusakan ekologi yang terjadi hari ini. Menurutnya, kerusakan ekologi tidak dapat dilepaskan dari praktik kolonialisme di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada abad ke-17 ketika VOC mulai melakukan eksploitasi terhadap alam demi memburu rempah-rempah. Menurut Rizal, eksploitasi ini telah menyebabkan bencana ekologi yang mengantarkan VOC menuju kebangkrutan. “Orang sering salah mengira VOC bangkrut hanya karena korupsi, padahal juga karena kerusakan ekologi,” ungkapnya.
Selanjutnya, Rizal menuturkan bahwa bencana ekologi berikutnya terjadi ketika kebijakan cultuurstelsel diterapkan pada abad ke-19. Pada masa itu, eksploitasi besar-besaran dilakukan demi menutup kas pemerintah kolonial yang defisit akibat Perang Jawa. Menurut Rizal, patut disayangkan bahwa eksploitasi semacam ini turut dilakukan oleh pemerintah hari ini. “Pahlawan yang berjuang menentang kolonialisme pasti akan sedih melihat kita mewarisi mental kolonial,” ujarnya. Rizal mengungkapkan bahwa nasionalisme sebagai antitesis kolonialisme harus diikuti dengan penolakan untuk mewarisi praktik-praktik kolonial seperti perusakan ekologi.
Sepakat dengan Rizal, Gatot menuturkan bahwa sebagian besar faktor produksi berasal dari alam. Eksploitasi yang berlebihan terhadap alam akan mengantarkan masyarakat menuju kehancuran. Menurutnya, hal yang sama patut dikhawatirkan akan terjadi di Indonesia, karena eksploitasi besar-besaran terhadap alam sampai hari ini masih dilakukan. “Ketika pemerintah membuat kebijakan yang salah, saat itulah terjadi bencana,” tutupnya.
Penulis: Han Revanda Putra
Penyunting: Rasya Swarnasta