“Saya lebih suka menyebut diri saya pejuang ketimbang penyintas,” ujar Bagus P. Santosa yang merupakan seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Sampai saat ini, Bagus sedang berjuang menghadapi gangguan kesehatan mental yang dialaminya. Terhitung sejak Agustus 2018, Bagus mengalami fenomena yang membuatnya merasa aneh dan sedih. Perasaan tersebut membuatnya tidak produktif dan sering menangis tanpa alasan. Bagus lantas memutuskan untuk mencari tenaga profesional saat ia takut akan membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Kali pertamanya, Bagus mencoba untuk mengunjungi psikolog Gama Medical Centre (GMC). Ternyata, pada saat itu psikolog GMC hanya dapat melayani sore hari dan hanya tersedia dua slot. “Kalau daftar lagi, harus nunggu antreannya juga, padahal aku lagi panik,” ujar Bagus. Bagus kemudian mencari info mengenai tempat selain GMC yang menyediakan layanan konseling dan memutuskan untuk mengunjungi Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM. Semenjak itu, ia rutin datang ke RSA untuk konsultasi mengenai gangguan kesehatan mentalnya.
Pengalaman Bagus itu merupakan satu dari sekian banyak mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan mental. Berdasarkan laporan Student Minds berjudul Grand Challenges in Student Mental Health (2014), mahasiswa rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Hal tersebut disebabkan oleh tekanan akademik yang muncul karena perubahan lingkungan, kewajiban bekerja lebih keras, dan kurangnya kemampuan bersosialisasi.
Dalam rangka mengatasi kerentanan mental pada mahasiswa, UGM menyediakan layanan kesehatan mental. Balairung mengonfirmasi hal tersebut saat bertemu dengan Sindung Tjahyadi, selaku Kepala Subdirektorat Organisasi dan Fasilitas Mahasiswa UGM pada Maret 2019. Ia menuturkan bahwa fasilitas layanan konseling tersedia di GMC serta Unit Konseling Psikologi (UKP). “GMC itu gratis bagi mahasiswa, sedangkan UKP berbayar,” jelasnya. Ia pun menjelaskan bahwa cukup banyak yang mendatangi layanan tersebut.
Jumlah yang cukup banyak itu dibuktikan ketika kami menemui Yayuk Soraya selaku Kepala GMC pada pertengahan November. Data dari GMC menunjukkan sepanjang 2017, 2018, serta 2019 berturut-turut terdapat 250, 246, serta 213 orang yang mengunjungi psikolog di GMC. Meskipun menerima pasien dari kalangan umum dan civitas akademika, sebagian besar dari jumlah tersebut merupakan mahasiswa. “Sebab psikolog di GMC memang mengutamakan mahasiswa di UGM,” ungkapnya.
Data tersebut baru dari layanan psikologi GMC. Yayuk juga menjelaskan bahwa poli umum GMC mempunyai data tersendiri mengenai jumlah mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan mental. Data poli umum GMC menunjukkan bahwa pada tahun 2017, 2018, serta 2019 berturut-turut terdapat 198, 379, serta 240 orang lebih yang mengalami gangguan kesehatan mental. “Mereka didiagnosa oleh dokter poli umum dengan diagnosis depresi, histeria, psikosomatik, dan gangguan kepribadian,” jelasnya.
Berdasarkan angka tersebut, Nida Ul Hasanat, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi UGM, menilai bahwa layanan psikologi GMC belum bisa memberi pelayanan dengan optimal. Ia menyebut bahwa layanan psikologi GMC hanya membuka dua sesi, yang mana tiap sesinya hanya dapat menampung paling tidak tiga pasien. “Sedikitnya jumlah pasien yang dapat dilayani membuat antrean layanan psikologi menjadi panjang,” jelasnya.
Sedang berdasarkan keterangan Yayuk, panjangnya antrean GMC sebenarnya sudah diatasi melalui penambahan sesi. Saat hanya satu sesi, pasien harus menunggu tiga bulan, setelah dibuat menjadi dua sesi sekitar Juli lalu, pasien harus menunggu satu bulan. “Meskipun begitu tetap harus ngantri lama,” ujarnya.
Belum Ada Solusi
Merujuk pada kasus gangguan kesehatan mental di kampus, Yayuk menegaskan bahwa masalah tersebut belum ada solusinya. Selama ini mahasiswa baru ditangani saat kondisi sudah parah. Sebab, tambahnya, tidak ada yang mengatur, misal, tentang penindaklanjutan terhadap laporan civitas akademika terkait gejala gangguan kesehatan mental. “Sayangnya memang belum ada aturan mengenai kesehatan mental dari pihak universitas,” tegasnya.
Kami mengonfirmasi ketiadaan peraturan tersebut pada Sindung Tjahyadi. Ia mengatakan bahwa pihak universitas tidak memiliki aturan tertulis mengenai layanan kesehatan mental, baik di tingkat universitas maupun tingkat fakultas. “Tidak ada peraturan khusus, sebab tidak semuanya harus dibuat aturan,” ujar Sindung.
Senada dengan Sindung, Suharyadi, Direktur Kemahasiswaan, menjelaskan bahwa sebenarnya setiap fakultas memiliki kewenangan untuk menyediakan layanan kesehatan mental. Hal ini karena setiap fakultas memiliki otonom sendiri, salah satunya perihal layanan kesehatan mental. “Seperti Fakultas Psikologi kan mempunyai UKP, unit tersebut berdasarkan kehendak Fakultas Psikologi, bukan kami yang memintanya,” jelasnya.
Sindung juga menuturkan bahwa penyediaan layanan kesehatan mental di setiap fakultas tidak efektif karena tidak ada pasien yang datang. Pernyataan tersebut didasarkan pada pengalaman Fakultas Filsafat dalam menyediakan ruang layanan kesehatan mental beserta dengan petugasnya. “Bayangkan saja ada petugasnya tetapi kerjanya hanya bengong dari jam delapan pagi sampai jam empat sore,” jelasnya.
Selanjutnya, kami mengonfirmasi mengenai layanan kesehatan mental di Fakultas Filsafat. Beberapa mahasiswa yang kami wawancarai mengatakan bahwa ada ruang yang seharusnya digunakan untuk konseling, tetapi pada pelaksanaannya tidak jelas fungsinya. Sedangkan Sudarmono, Kepala Seksi Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Filsafat, mengatakan bahwa tidak pernah ada ruang layanan kesehatan mental. “Selama saya di sini tidak pernah ada ruangan tersebut,” jelasnya.
Berbalik dengan pendapat Sindung, Yayuk menilai bahwa layanan kesehatan mental di tiap fakultas itu efektif. Ia menyebut bahwa tren gangguan kesehatan mental sedang meningkat dan angka tersebut bisa bertambah sebab terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan mental. “Sehingga untuk menurunkan angka, layanan kesehatan mental di tiap fakultas akan efektif,” tutur Yayuk.
Saat ini, fakultas yang menyediakan layanan konseling mandiri adalah Fakultas Isipol. Layanan tersebut tersedia di Career Development Centre (CDC). Berdasarkan keterangan data dari CDC, terdapat peningkatan jumlah mahasiswa yang melakukan konsultasi pada psikolog CDC pada tahun 2017, 2018, dan 2019, yaitu sebanyak 48, 77, serta 94 orang.
Meningkatnya angka tersebut dinilai oleh Dina Wahida, selaku psikolog CDC, sebagai salah satu alasan pentingnya layanan kesehatan mental bagi mahasiswa. Sebab, kesehatan mental merupakan salah satu faktor yang mendukung proses belajar dan tumbuh kembang pribadi mahasiswa. “Agar mahasiswa bisa produktif, berperan aktif di komunitasnya, dan bertahan dalam proses akademiknya,” jelas Dina.
Tuntutan Mahasiswa
Sadar akan pentingnya kesehatan mental, pada Rabu (13-11) Aliansi Mahasiswa UGM menuntut kepada pihak rektorat untuk mewujudkan penanganan kesehatan mental secara menyeluruh di UGM. Lebih lanjut, mahasiswa menginginkan adanya satu psikolog untuk tiap fakultas. Psikolog yang tersedia juga diharapkan terintegrasi dengan bantuan pembinaan karier.
Tuntutan Aliansi Mahasiswa UGM mengenai kesehatan mental ditanggapi oleh Djagal Wiseso Marseno, Wakil Rektor bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan pada Selasa (19-11). Berdasarkan Notula Hearing Rektorat, Djagal mengungkapkan bahwa tuntutan tersebut akan dipenuhi dengan pengadaan Help Promoting Unit (HPU). Ia menambahkan bahwa HPU akan menangani kesehatan fisik dan psikis mahasiswa.
Bambang Agus Kironoto, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, menyatakan bahwa HPU merupakan program yang memiliki beberapa layanan. Bambang menambahkan, HPU sendiri bertujuan untuk mewujudkan kampus yang sehat dan sejahtera, salah satunya melalui penyediaan layanan kesehatan mental. “Beberapa layanan tersebut akan terpusat dalam sebuah gedung di blok B UGM,” ungkap Bambang.
Sementara itu, Djagal menuturkan bahwa rencana pemusatan layanan kesehatan mental pada HPU disebabkan karena ketidakefektifan pelayanan kesehatan mental jika diadakan di tiap fakultas. Meskipun begitu, ia menyebutkan akan disediakan narahubung di setiap fakultas yang akan bertanggung jawab pada penanganan pertama. “Sehingga tidak perlu membuat ruangan layanan kesehatan mental di fakultas, hal ini karena potensi sepinya lumayan tinggi,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan pihak universitas, Bagus menyatakan bahwa tanggapan mengenai ketidakefektifan layanan kesehatan mental di setiap fakultas adalah hal yang aneh. Sebab, seharusnya pihak universitas fokus pada orientasi melayani kesehatan mental mahasiswa, bukan tentang menganggur atau tidaknya psikolog. “Itu sama seperti pemerintah menghapus puskesmas di daerah pelosok sebab tidak ada yang berkunjung,” pungkas Bagus.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana, Deatry Kharisma Karim, Maghvira Arzaq Karima
Penyunting: Ayu Nurfaizah
1 komentar
Terimakasih informasinya kaa