Pada Senin (24-02), Laboratorium Big Data FISIPOL UGM menjadi perhelatan diskusi dengan judul “Human Rights Norms and Mechanisms in Indonesia: Between Practical and Challenges”. Acara ini merupakan salah satu seri diskusi rutinan dari Research Centre for Politics and Government UGM (PolGov UGM). Pada diskusi kali ini yang menjadi pembicara adalah Haris Azhar dan Usman Hamid. Hal yang menjadi menjadi fokus diskusi ialah kondisi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang masih minim implementasi.
Menurut Usman, secara historis, norma HAM sudah lama dikenal oleh Indonesia, salah satunya oleh organisasi prakemerdekaan. Hal tersebut dijelaskan oleh Usman saat membuka sesi diskusi. “Mulai dari Budi Utomo dengan narasi kebebasan berpendapat, PKI dengan keadilan sosial, hingga PNI yang memperjuangkan hak menentukan nasibnya sendiri,” jelas Usman.
Setelah kemerdekaan, Usman menambahkan bahwa penegakan HAM di Indonesia berjalan timbul tenggelam. Pada masa Soekarno, tren penegakan HAM sudah positif. Namun, Dekrit Presiden tahun 1959 membawa Indonesia masuk ke dalam era Demokrasi Terpimpin di mana HAM sangat dibatasi. Usman juga menjelaskan rezim Soeharto yang datang dengan slogan demokratisasi justru mengkhianati janjinya dengan menekan kebebasan berpendapat yang diyakini oleh Usman sebagai pilar HAM.
Meskipun perjuangan HAM beriringan dengan perjuangan demokratis, tetapi menurut Usman, keduanya adalah hal yang berbeda. “Dalam artian, HAM tidak terikat sistem politik tertentu. Apa pun bentuk pemerintahannya, HAM mesti selalu dijamin penegakannya,” jelasnya.
Haris menjelaskan bila dilihat dari aspek legal formal, penegakan HAM di Indonesia bisa dikatakan sudah mapan. “Secara normatif, kita lebih baik dibanding Amerika Serikat,” jelas Haris. Haris juga menambahkan bahwa pada kenyataannya Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan poin Universal Declaration of Human Rights. Namun yang menjadi soal ialah institusionalisasi HAM yang tak berlanjut pada penerapannya dalam penyusunan kebijakan publik.
Hambatan penegakan HAM di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya, menurut Usman, ialah paradigma cinta tanah air yang berlebihan. “Narasi NKRI harga mati membuat orang yang dinilai tidak pancasilais dan pro-NKRI dianggap tak berhak mendapatkan HAM,” ujar Usman.
Diskusi ini juga membahas soal isu pro-kontra repatriasi ISIS usai salah satu audiens melontarkan pertanyaan tentang hal ini, mengingat mereka sudah membakar paspor sebagai bentuk penolakan atas identitas nasional. Mengenai pembakaran paspor ini, Haris punya pendapat tersendiri. “Saya bakar paspor seribu kali, saya bisa ke kantor imigrasi seribu satu kali untuk membuat ulang paspor saya,” ujarnya. Haris juga menambahkan selama WNI eks-ISIS tersebut belum kehilangan status kewarganegaraan secara konstitusional, negara wajib merepatriasi mereka.
Usman punya argumen yang sedikit berbeda dengan Haris terkait isu repatriasi WNI eks-ISIS. “Negara punya wewenang untuk memberi pembatasan pada mereka karena alasan keamanan nasional, tetapi negara harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mengancam keamanan nasional,” jelasnya. Namun, Usman menegaskan bahwa pemerintah wajib memulangkan anak-anak eks-ISIS, terlepas dari anggapan yang menyatakan mereka telah didoktrin. Usman menuding bahwa pemerintah tengah menanamkan ketakutan pada kelompok tertentu yang dilandasi oleh asumsi semata.
Selain pola pikir cinta tanah air yang berlebihan, unsur yang kerap menjadi hambatan ialah hegemoni aparat bersenjata. Berkenaan dengan hal ini, Haris menyematkan terminologi “brutal” pada aparat kepolisian Indonesia. Haris mendasarkan perkataannya dari represifitas polisi selama rentetan aksi #ReformasiDikorupsi. “Ratusan demonstran ditangkap tanpa dasar, puluhan luka-luka. Regulasi penindakan demonstran yang menjunjung HAM sudah jelas, namun tak nampak realisasinya,” ungkap Haris.
Menurut Haris, cara untuk menjamin kesuksesan penegakan HAM di Indonesia adalah lewat peran masyarakat itu sendiri. Partisipasi tersebut bisa dalam bentuk penyebaran informasi, penyadaran antarmasyarakat itu sendiri, hingga pengusulan aspirasi. Haris pun menambahkan bahwa demokrasi mampu mengakomodasi prinsip partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM.
Meskipun pada akhirnya semua keputusan ada di tangan penguasa, Haris menyatakan bahwa itu hanya persoalan perspektif. “Harusnya pikirannya dibalik. Mereka bisa berkuasa justru karena kita mengingat kekuasaan tertinggi ada di rakyat. Inilah demokrasi,” tutupnya.
Penulis: Ardhias Nauvaly dan Astari Syahputri
Penyunting: Afifah Fauziah S.