
©Istimewa
Pada Rabu (26-02), Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengadakan acara diskusi bertajuk “Omnibus Law dan Korupsi Legislasi” di kantornya. Acara tersebut merupakan salah satu serial Diskusi Seputar Korupsi dari PUKAT. Diskusi kali ini mengundang beberapa narasumber, di antaranya adalah Andreas Budi Widyanta dari Sosiologi UGM, Luthfi Mubarok dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Shinta Maharani dari Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, serta Yuris Rezha Kurniawan dan Oce Madril dari PUKAT UGM. Hanifah mengawali diskusi dengan mengatakan bahwa pembentukan omnibus law disinyalir merupakan bagian dari korupsi legislasi.
Mengenai korupsi legislasi sendiri dijelaskan oleh Yuris. Ia menjelaskan bahwasanya korupsi legislasi adalah korupsi yang terjadi saat pembentukan kebijakan. Yuris lalu menuturkan bahwa dalam korupsi legislasi terdapat dua aktor yang bermain, yaitu pembuat kebijakan dan kelompok tertentu. Dalam rangka mempertahankan kekuatan pasarnya, lanjut Yuris, kelompok tertentu mengusahakan segala cara untuk memasukkan peraturan yang menguntungkannya. “Pembuat kebijakan mendapat imbalan setelah menyetujui peraturan-peraturan tersebut,” terangnya.
Yuris mengatakan bahwa suap terhadap pembuat kebijakan belum ditemukan dalam konteks pembentukan omnibus law. Meskipun demikian, tambah Yuris, terdapat dua indikator lain untuk mengatakan bahwa pembentukan omnibus law mengalami korupsi legislasi. Pertama, akses informasi mengenai pembentukan omnibus law dibatasi. Kedua, partisipasi masyarakat dalam pembentukan omnibus law nihil. “Dua indikator tersebut dapat ditilik melalui banyaknya kritik serta protes dari masyarakat terhadap omnibus law,” ujarnya
Penjelasan Yuris tersebut kemudian diperkuat oleh Widyanta atau yang akrab disapa Abe. Ia menyatakan bahwa pembentukan omnibus law tidak demokratis. “Drafnya muncul tiba-tiba, bahkan masyarakat tidak dilibatkan dalam pembentukan omnibus law ini,” tutur Abe. Sosialisasi draf tersebut, tuturnya, dilakukan pemerintah untuk mendapat legitimasi, bukan untuk menampung suara masyarakat.
Abe mengelaborasi lebih lanjut bahwa ditutupnya partisipasi masyarakat merupakan bukti bahwa pemerintah telah berpihak pada kekuasaan oligarki. Alhasil, tuturnya, hak-hak sipil sengaja dicabut dalam rangka memenuhi kepentingan oligarki. “Dengan paradigma tersebut, pemerintah mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat dalam menyusun omnibus law,” jelas Abe.
Berangkat dari pernyataan Abe, Luthfi memberi sebuah contoh. Ia mengatakan bahwa dalam omnibus law masyarakat tidak lagi dapat mengurusi lingkungan hidup. Menurutnya hal tersebut disebabkan oleh tidak diakomodasinya Analisis Dampak Lingkungan dalam omnibus law. “Dengan demikian, masyarakat tidak lagi mempunyai akses untuk mencegah pembangunan yang merusak lingkungan hidup,” kata Luthfi.
Shinta turut memberi contoh lain. Ia menjelaskan bahwa dalam omnibus law siapa pun yang hendak memberitakan sesuatu harus berbadan hukum. Menurutnya kebijakan tersebut membatasi kebebasan berpendapat. “Kebijakan tersebut berpotensi mengebiri hak-hak pers yang tidak berbadan hukum seperti pers mahasiswa,” ungkap Shinta.
Oce kemudian mengelaborasi keseluruhan diskusi. Ia menyatakan bahwa korupsi legislasi dalam pembentukan omnibus law berpotensi menghasilkan produk hukum yang dapat mengebiri hak masyarakat. Maka dari itu, tambahnya, masyarakat perlu mendesak pemerintah. “Sebab negara ini bukan milik segelintir orang,” pungkas Oce.
Penulis: Affan Asyraf
Penyunting: M. Fadhilah Pradana