Selasa (25-02), Magister Administrasi Publik (MAP) Corner-Klub Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) UGM mengadakan diskusi publik bertajuk “Omnibus Law dan Ancaman Kerusakan Ekologi” di Lobby MAP UGM. Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Oden, perwakilan dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (SDA); Daus, perwakilan dari Kader Hijau Muhammadiyah; dan Totok Dwi Antoro, Dosen Hukum Lingkungan UGM. Sementara itu yang menjadi moderator dalam diskusi ini adalah Adit, mahasiswa MKP UGM. Acara ini dibuka dengan pemaparan oleh moderator bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law perlu ditinjau kembali secara ilmiah dan kritis mengenai dampaknya terhadap lingkungan.
Totok menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini ditetapkan untuk memangkas kurang lebih 70 UU dan 100 pasal terkait SDA. Ia juga memaparkan perbandingan UU nomor 32 tahun 2009 dengan RUU Cipta Kerja, terutama beberapa pasal terkait regulasi perizinan lingkungan. Menurutnya, beberapa kriteria usaha ideal dalam UU nomor 32 tahun 2009 tidak lagi dicantumkan dalam RUU Omnibus Law. Peraturan tersebut antara lain usaha tidak boleh merusak bentang alam, usaha tidak boleh melepaskan jasad renik yang merusak lingkungan, dan usaha tidak boleh menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Totok juga berpendapat bahwa politik hukum dari RUU ini adalah pertumbuhan ekonomi dengan melancarkan masuknya investasi, tetapi sebenarnya lebih menguntungkan sektor bisnis yang mengabaikan masa depan lingkungan dan SDA. “Hal ini merupakan suatu kemunduran karena pembangunan sudah tidak lagi berorientasi pada lingkungan, sedangkan, pembangunan modern pada umumnya berorientasi pada lingkungan,” tegas Totok. Totok menambahkan bahwa pelaku usaha sangat terlihat berperan dalam regulasi, sementara kepentingan publik akan dikesampingkan. Menurut Totok, hal tersebut menunjukkan bahwa Omnibus Law memang dibentuk supaya para investor lebih mudah mengeksploitasi sumber daya alam
Menurut Oden, pemerintah menjustifikasi bahwa pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang selama ini rentan kesalahan berakibat pada anggapan bahwa pelemahan AMDAL merupakan hal yang wajar. Penurunan derajat AMDAL sebagai akibat dari munculnya RUU Omnibus Law, tambah Oden, yaitu AMDAL tidak lagi dijadikan dasar penetapan, melainkan hanya sebagai dasar uji kelayakan. Ia juga berasumsi bahwa relokasi AMDAL ke Peraturan Pemerintah akan menimbulkan sentralisasi kekuasaan. Artinya, masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi maupun penolakan mereka terhadap suatu pembangunan harus langsung mendatangi pusat, berbeda dari regulasi sebelumnya yang memberikan pemerintah daerah kewenangan untuk menerima aspirasi rakyat daerahnya dan kewenangan untuk mengatur AMDAL.
Akibat dari penerapan RUU Omnibus Law juga ditambahkan oleh Daus, yaitu kemudahan investor untuk mengeksploitasi lingkungan. Ia berpendapat bahwa seharusnya RUU Omnibus Law mengatur tentang lingkungan, bukan tentang investasi. “Di satu sisi, Indonesia berada pada jurang keruntuhan ekologis, di sisi lain, birokrat-birokrat Indonesia rakus terhadap kekayaan,” ungkap Daus. Ia memaparkan bahwa masalah Omnibus Law adalah luputnya pendekatan lingkungan berbasis risiko, yakni terkait kapasitas pemerintah mengklasifikasikan risiko tinggi, sedang, maupun rendah dan juga tolak ukur dari klasifikasi tersebut. UU Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup yang mencantumkan wajib AMDAL seharusnya dapat menjadi pegangan untuk mengklasifikasikan risiko tersebut.
Di penghujung diskusi sore itu, Adit berpendapat bahwa publik cukup kritis terhadap penerapan Omnibus Law. Kemudian, diskusi diakhiri dengan closing statement yang mempertegas penolakan terhadap RUU Omnibus Law. “Salah satu cara untuk menjaga kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah dengan menggagalkan Omnibus Law,” pungkas Oden.
Penulis : Bangkit Adhi Wiguna, Dina Oktaferia
Penyunting : Deatry Kharisma Karim