Ruangan itu kotak. Luasnya kira-kira 7×12 langkah kaki. Dari pintu masuk, di sebelah kiri dan kanan terdapat foto-foto berwarna hitam-putih yang ditempel dengan magnet ke baut di belakangnya; pun terdapat lebih dari sepuluh headphone berwarna hitam yang digantung pada baut yang mudah sekali diputar untuk keperluan pasang dan lepas dari tembok ruangan. Orang-orang dengan saksama memperhatikan foto, membaca teks penjelas karya, dan memasang headphone di kepala mereka. Dari depan pintu masuk berjejer bangku kayu kotak membentuk persegi panjang di tengah ruangan. Di seberangnya terdapat meja panjang dengan mesin kasir, mesin kopi, dan daftar menu.
Seperti itulah gambaran malam pertama pameran Mata Suara Warga yang dibuka di Awor Gallery and Coffee pada tanggal 20 Desember 2019. Pameran yang berlangsung sampai tanggal 3 Januari 2020 ini menampilkan esai foto dan komposisi suara dengan tema Kewargaan. Karya yang ditampilkan merupakan karya mahasiswa kelas Etnofotografi dan kelas Kebudayaan dan Indera Manusia program studi Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sayangnya, pada malam-malam seterusnya BALAIRUNG mendatangi pameran tersebut, tata letak ruangan itu sudah dikembalikan ke identitas aslinya, yaitu sebuah kafe. Pengembalian tata letak ini mempersulit pengunjung yang datang dengan tujuan melihat-melihat karya. Kami pun sempat tidak sengaja tersandung charger laptop pelanggan kafe. Tata letak ruangan itu sempat berubah kembali pada hari keempat pameran (23-12) karena diadakannya diskusi dengan menghadirkan Guru Besar Antropologi Budaya UGM, Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono.
Dalam pembahasannya pada diskusi tersebut, Laksono mengatakan bahwa ia tidak melihat kewargaan, sebagai tema yang diusung, hadir dalam pameran ini. âPameran ini bukan pameran kehadiran kewargaan, melainkan justru ketidakhadiran kewargaan,â ungkapnya. Ia mengatakan bahwa dalam membangun narasi pada sebuah pameran diperlukan dua fungsi, yaitu identifikasi dan predikasi. Namun, setelah melakukan identifikasi dengan melihat keterkaitan antarsubjek dalam karya dan antarkarya yang dipamerkan, predikat yang ia temui adalah âmangkirâ; kewargaan mangkir.
Laksono mencontohkan, misalnya, dalam karya berjudul âAksi Massa,â terdapat tiga deskripsi foto: Tugu Yogyakarta, kerumunan orang, dan spanduk bertuliskan âNaikkanlah upah buruh.â Ia menjelaskan, fungsi predikatif pada karya tersebut yakni terdapat kerumunan orang menuntut kenaikan upah buruh di Yogyakarta. Namun, tambah Laksono, yang tertulis pada karya justru âAksi Massa,â sedangkan massa dan warga merupakan hal yang berbeda. âWarga tidak ada dalam narasi ini, yang ada hanya massa,â ucapnya. Oleh karena itu, menurut Laksono, kewargaan mangkir dari narasi tersebut.
Selain itu, Laksono juga mengatakan bahwa sangat mungkin untuk menggabungkan visualitas antara foto dengan sonik berupa komposisi suara. âKalau meminjam istilah perfilman, pameran ini seperti footage, belum menjadi satu narasi penuh,â ujarnya. Laksono menambahkan, hal itu disebabkan oleh terpisahnya foto dengan komposisi suara yang ditampilkan. âAda semacam tesis yang mesti diolah sebelum kita pameran, jadi tidak semata memindahkan rekaman ke ruang pameran,â tegasnya.
Lantas, apa kewargaan itu? Saat ditemui seusai diskusi, Muhammad Zamzam Fauzanafi menjelaskan, âSecara sederhana kewargaan adalah relasi antara warga dengan negara.â Relasi tersebut dapat bersifat formal maupun informal. Zamzam, sebagai dosen pengampu mata kuliah ini, menerangkan kalau konsep kewargaan yang coba dibawakan dalam pameran ini adalah relasi kewargaan secara informal. Wujudnya berupa hal-hal praktis, seperti protes pada negara maupun indoktrinasi negara melalui upaya pengaturan.
Pameran ini menampilkan foto-foto dalam beberapa narasi. Misalnya yang diberi judul âPengaturan Ruang.â Karya ini menampilkan tempat di bawah jembatan layang dekat Stasiun Lempuyangan yang dipagari. Menurut Pipin Mukharomah, mahasiswa yang memotret foto tersebut, tempat itu dahulu dipakai berjualan oleh para pedagang. Berdasarkan wawancara Pipin dengan warga sekitar, suatu ketika, presiden melakukan kunjungan dan tempat tersebut akan dipakai sebagai tempat parkir. Kemudian karena kesalahpahaman antara pedagang dengan petugas yang menertibkan, tempat itu malah dipagari. âTempat ini dulunya ruang publik yang boleh dipakai siapa pun, tapi pengaturan ruang dengan pagar ini menghilangkan hal tersebut,â tuturnya. Foto-foto Pipin berderet dengan foto-foto lain yang menggambarkan pengaturan ruang di Malioboro.
Selain karya foto, ada juga komposisi suara yang ditampilkan. Salah satunya berjudul âMenengok Aksi Kamisan, Menggugat Diamnya Negara,â mengenai aksi diam kamisan yang ternyata malah menghasilkan komposisi suara yang riuh. Rayhan Wildan, mahasiswa yang membuat komposisi suara itu menjelaskan bahwa ia mencoba merekam aksi tersebut lewat perspektif massa aksi. Komposisi suara tersebut merekam bagaimana massa aksi berkumpul, melakukan aksi diam, berdiskusi setelah aksi, menyanyikan lagu âDarah Juang,â dan ditutup dengan seruan-seruan perjuangan. âAksi ini merupakan salah satu bentuk dari konsep kewargaan, yaitu warga yang menyuarakan aspirasinya kepada negara,â terangnya.
Rayhan mengatakan, dalam prosesnya, ia melebur bersama massa aksi selama kurang lebih dua bulan. Ia menghasilkan foto, komposisi suara, dan tulisan. Saat karyanya akan ditampilkan di pameran, untuk karya foto, ia membuat poster yang berisi empat foto dengan masing-masing caption untuk dikurasi. Setelah proses kurasi, salah satu fotonya ditampilkan bersama beberapa foto lain dari aksi Gejayan Memanggil dengan judul âAksi Massa.â
Berbicara mengenai proses kurasi foto, Zamzam mengatakan bahwa karya yang dibuat oleh mahasiswa bervariasi. Awalnya setiap foto yang ditampilkan adalah bagian foto seri dari masing-masing mahasiswa. Namun, untuk membuat imbang narasi yang ditampilkan, ia bersama Niaâmahasiswa Antropologi Budaya yang telah menamatkan studi Fotografi di ISI Yogyakartaâhanya mengambil foto-foto terbaik saat proses kurasi. Kemudian, foto-foto dengan tema mirip ditarik menjadi satu narasi yang lebih besar. Zamzam mengatakan, proses kurasi komposisi suara lebih mudah karena banyak yang sudah sesuai. Ia hanya melakukan pemangkasan pada teks yang dibuat oleh mahasiswa.
Menurut Zamzam, visual dan sonik dalam bentuk foto dan komposisi suara di pameran ini adalah bagian dari etnografi penginderaan. Dalam etnografi penginderaan, Zamzam mengatakan, antropologi menjadi semakin dekat dengan seni. âSekarang lazimnya etnografi berakhir menjadi pameran karena hasil akhirnya berupa karya seni,â terangnya. Bedanya, etnografiâsebagai cerita tentang manusiaâmembuat foto dan komposisi suara tidak berupaya merekam lingkungan, melainkan bagaimana lingkungan dihidupi oleh manusia.Â
Zamzam mengatakan proses kurasi dan persiapan pameran kali ini hanya berjalan singkat. âDulu pameran ini persiapannya bisa setahun dengan proses kurasi berbulan-bulan,â kenangnya. Hal ini disebabkan, berbeda dengan pameran-pameran sebelumnya, pameran kali ini diintegrasikan dengan kelas dan menjadi bagian dari penilaian. Zamzam melakukan hal itu karena menurutnya kelas sudah tidak lagi menjadi komunitas yang bersama-sama ingin melakukan sesuatu, tetapi mahasiswa kini datang hanya sekadar untuk kuliah dan mencari nilai.
Zamzam bercerita, pameran ini dahulu bahkan bisa sampai ke Eropa, salah satunya Belanda, karena mendapatkan sponsor besar. Pameran ini pertama kali dilaksanakan tahun 1990, lalu menjadi pameran tahunan setelah itu. Namun, terakhir kali pameran tersebut dilaksanakan saat ia masih menjadi mahasiswa pada tahun 1997 dengan tema Pemilu. Dari pameran ini, Zamzam menyadari bahwa masih banyak yang harus dibenahi. âDari segi kualitas tentu masih banyak kritik, terutama dari sesepuh etnofotografi yang tadi hadir, tetapi tidak apa-apa. Tujuan saya memang untuk memulai kembali karena pameran ini sudah lama berhenti,â tutupnya.
Penulis: Rizal Zulfiqri
Penyunting: Rasya Swarnasta