Jumat (03-01) sore, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) DIY mengadakan diskusi bertajuk “Indonesia dalam Pusaran Bencana Ekologi.” Bertepatan dengan diskusi tersebut, diadakan pula Deklarasi Hijau oleh KHM DIY. Acara yang dilaksanakan di Aula PP Muhammadiyah DIY tersebut membahas isu ekologi dari beberapa perspektif, termasuk di dalamnya hubungan manusia dan alam hingga andil kapitalisme dalam bencana ekologi. Diskusi tersebut dihadiri oleh Roy Murtadho, dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam; Tommy Ariando, Jurnalis Mongabay; dan Fauzan A. Sandiah, dari KHM Komite DIY.
Mengawali pembahasannya, Fauzan membagi isu ekologi ke dalam dua aspek, yaitu aspek hulu dan hilir. Aspek hulu, kata Fauzan, ialah adanya sistem ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya degradasi ekologi. Sedangkan aspek hilir adalah peristiwa ketimpangan ekologi yang terdampak dari aspek hulu. “Contohnya kasus pelanggaran HAM yang berakibat pada ketimpangan ekologi,” imbuhnya.
Ketimpangan ekologi itulah yang kemudian mendorong Ikatan Pemuda Muhammadiyah untuk membentuk KHM. Fauzan mengatakan bahwa Muhammadiyah menyadari tanggung jawab mereka sebagai bagian dari masyarakat sipil. “Kami bukan hanya mengadvokasi demokrasi, tetapi juga memastikan demokrasi bersih dari ketimpangan ekologi,” katanya. Fauzan juga menuturkan bahwa visi KHM yang berkemajuan diarahkan untuk melakukan pelestarian lingkungan. Menurutnya, pengelolaan ekonomi yang tidak sehat sebenarnya berawal dari pemanfaatan sumber daya alam yang timpang.
Mendukung pendapat Fauzan, Gus Roy, sapaan akrab Roy Murtadho, berpendapat bahwa kerusakan lingkungan yang semakin masif diakibatkan oleh moda produksi kapitalisme. Menurutnya, logika Rasional Cartesian yang menjadikan manusia sebagai pusat dari bumi dan mengedepankan rasionalitas adalah titik dari proses kerusakan itu sendiri. “Sudah jelas prasyarat moda produksi kapitalisme akan merusak sumber daya alam dan menghisap manusia,” katanya.
Beberapa kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kapitalisme diungkapkan oleh Tommy. Ia memaparkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang menyatakan setidaknya ada 1.735 lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja. Ribuan lubang bekas tambang tersebut milik 1.404 perusahaan tambang yang ada di Kalimantan. Menurut data Jatam Kalimantan Timur, hingga akhir 2019, terdapat 36 korban jiwa yang tidak mendapatkan keadilan hukum. Selain itu, Tommy menambahkan bahwa adanya rencana pembangunan tol dalam rangka mega proyek Ibu Kota baru harus menanggung pembiayaan reklamasi lubang bekas tambang. “Pada akhirnya, atas nama pembangunan, pemerintah harus mengeluarkan dana untuk mereklamasi lubang bekas tambang yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan,” ungkapnya.
Catatan Jatam juga menunjukkan terdapat 55 pulau dari 13.000 pulau kecil tersebar di Maluku Utara, Sulawesi, Kalimantan Utara, dan Sumatera yang sedang mengalami eksploitasi pertambangan. Tommy mengungkapkan, di Maluku sendiri terdapat Pulau Gebe sebagai salah satu contoh pulau yang dieksploitasi oleh PT Aneka Tambang sejak 1979-2004, yang kemudian diteruskan oleh perusahaan lain. Selain itu, terdapat juga Pulau Bunyu di Maluku Utara yang dikaveling sampai garis pantai. Hal tersebut, menurut Tommy, menyebabkan nelayan harus melaut lebih jauh dari garis pantai. “Resikonya kematian tinggi, biaya produksi tinggi dan tentu keuntungan semakin sedikit,” imbuhnya.
Selain itu, potensi adanya kerusakan lingkungan dari permainan kapitalis juga diterangkan dalam riset KPK dan Kementerian Dalam Negeri. Tommy mengatakan, pencalonan dalam pemilu serentak memicu adanya ijon politik. Pasalnya, data dari KPK menyebutkan bahwa proses pencalonan menjadi bupati membutuhkan dana sekitar 1 sampai 20 miliar rupiah, sedangkan gubernur dapat mencapai 100 miliar rupiah. “Dari mana dapat dananya kalau tidak kaya? Ya ijon politik,” lanjutnya. Tommy menambahkan, riset tersebut didasarkan pada pengakuan beberapa pejabat yang tersangkut kasus korupsi. Kebanyakan dari mereka menjanjikan kepada para pemilik modal untuk memberikan bantuan dana. Sebagai balasannya, banyak perizinan tambang dan eksploitasi sumber daya alam lainnya yang mudah dikeluarkan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang jelas.
Pada akhir diskusi, Aris, Mahasiswa Geografi UGM menanyakan perihal sejauh mana KHM dapat bergerak memerangi ketimpangan ekologi dan memberikan kritik terhadap kapitalisme. Menanggapi hal tersebut, Gus Roy menjelaskan bahwa solidaritas yang dibentuk tidak cukup hanya berbicara toleransi dan justru diam terhadap kerusakan lingkungan. “Prasyarat sistem kapitalisme yang tidak pernah puas, menyebabkan konsumsi dan produksi tidak berujung,” imbuhnya. Oleh karena itu, Gus Roy mengatakan, upaya memerangi kapitalisme juga harus dilakukan terus menerus.
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah
Penyunting: Maheswara Nusantoro