Privasi menjadi hal penting di era digital yang serba cepat dan tak terbatas. Era keabadian digital saat ini cenderung meruntuhkan batasan-batasan privasi seseorang, dan hak untuk dilupakan hadir untuk melindunginya.
Hampir semua orang yang menggunakan internet, terutama media sosial, pernah mengunggah sesuatu tentang dirinya. Entah itu tentang kesehariannya pergi ke suatu tempat, berkumpul dengan sahabat atau sekadar mencurahkan isi hati. Informasi-informasi yang diunggah ini dapat diakses oleh semua orang di seluruh dunia dan bersifat permanen setelah diunggah di internet. Inilah apa yang disebut David Lindsay (2012) sebagai digital eternity atau keabadian digital.
Menurut Boyd (2008), dengan adanya keabadian digital, privasi menjadi sangatlah penting. Privasi tidak hanya sesederhana tentang kerahasiaan data seseorang tetapi menyangkut kerahasiaan hubungan seseorang dengan informasi atau orang lain. Selain itu, yang paling penting adalah pengguna internet tidak hanya membagikan informasi tentang diri mereka tetapi juga informasi tentang orang lain juga (Fazliouglu 2013).
Persoalan privasi menjadi penting mengingat munculnya tren baru dan berbahaya di internet, yakni revenge porn. Revenge porn adalah bentuk kekerasan seksual yang mana seseorang balas dendam dengan menyebarkan video atau foto porno kekasihnya. Dilansir dari Kompas, seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri asal Yogyakarta, menyebarkan video dan foto intim dengan kekasihnya di media sosial. Kasus lain serupa, seseorang menyebarkan video hubungan intimnya dengan pacarnya, gara-gara permintaannya untuk melakukan hubungan seks lanjutan ditolak. Bayangkan saja, seseorang akan dengan mudah mencari nama anda di internet dan menemukan konten seperti itu. Peristiwa ini tentu akan menjadi hal yang traumatis bagi korban.
Berangkat dari hal-hal seperti ini, konsep the right to be forgotten atau hak untuk dilupakan muncul. Hak untuk dilupakan merupakan hak untuk menghapus informasi atau dokumen dalam internet. Secara teoritis, ada beberapa definisi dari hak untuk dilupakan. Salah satunya adalah menurut Pino (2000) yang menjelaskan bahwa hak untuk dilupakan adalah hak untuk menghilangkan peristiwa masa lalu yang sudah tidak relevan lagi.
Hak untuk dilupakan pertama kali menjadi preseden di Mahkamah Eropa pada 2014 terkait kasus Mario Costeja González. Kasus ini bermula saat Costeja mengajukan komplain kepada Google Spanyol yang menunjukan tautan ke informasi yang tersedia di arsip digital surat kabar La Vanguardia. Informasi ini memuat pemberitahuan lelang properti tahun 1998 sekaligus prosedur lampiran untuk pemulihan hutang jaminan sosial. Pada akhirnya kasus ini pun dimenangkan oleh Mahkamah Eropa, dan Google Spanyol berkewajiban untuk menghapusnya. Kasus ini mendapat banyak perhatian dari publik. Sejak kasus ini, permintaan atas hak untuk dilupakan meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta.
Di Indonesia sendiri hak untuk dilupakan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 26 ayat (3) UU a quo, diatur bahwa: setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Hal ini berarti warga Indonesia berhak untuk meminta penghapusan informasi atau dokumen yang tidak relevan lagi.
Pasal-pasal dalam UU ITE terkait hak untuk dilupakan sudah mengakomodir pengaturan seperti dalam Pasal 17 General Data Protection Regulation (GDPR). GDPR adalah sebuah regulasi perlindungan data yang merupakan bagian dari hukum Uni Eropa. Hak untuk dilupakan pertama kali diatur dalam hukum melalui GDPR tersebut. Sementara itu, di UU ITE belum secara spesifik ada syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 17 GDPR, seperti data yang dihapus harus sudah tidak relevan, tidak akurat, atau didapat dengan cara tidak sah. Syarat spesifik ini diamanatkan UU ITE untuk diatur dalam peraturan pemerintah dan/atau peraturan menteri.
Meskipun Indonesia sudah mengatur soal hak untuk dilupakan, namun proses implementasinya masih belum bisa dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang mengatur mekanisme dan tata caranya, walaupun sudah diamanatkan dalam UU ITE. Tahun 2018 lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika berencana akan mengeluarkan Peraturan Menteri terkait hak untuk melupakan ini. Namun, sampai sekarang belum ada kelanjutannya.
Mengingat kasus-kasus yang telah terjadi dan konteks keabadian digital pada masa kini, hak untuk dilupakan sangatlah diperlukan. Namun, merumuskan kebijakan tentang hak untuk dilupakan bukanlah persoalan mudah. Menurut Jonathan Zittrain, seorang professor hukum dan ilmu komputer di Harvard dalam The New York Times, “bagaimana reputasi seorang individu dilindungi secara daring menjadi suatu persoalan kebijakan yang terlalu penting dan subtil untuk diatur oleh pengadilan tinggi, yang mana secara kelembagaan tidak cocok bagi perkembangan dunia daring.” Maka dari itu, di Indonesia perlu regulasi hak untuk dilupakan yang memiliki batasan-batasan yang diatur oleh pemerintah.
Batasan-batasan tersebut seperti informasi-informasi yang berguna bagi pembelajaran atau kepentingan publik perlu untuk dilindungi. Jadi, informasi tidak hanya punya hak untuk dihapus, juga punya hak untuk dilindungi. Misalnya, informasi tentang seorang yang melakukan korupsi tidak boleh dihapus karena merupakan kepentingan publik. Pemerintah perlu untuk merumuskan arah kebijakan hak untuk dilupakan ini agar tidak membatasi hak-hak lainnya. Bagi Andrés Guadamuz (2017), dalam artikelnya “Developing a Right to be Forgotten”, hak untuk dilupakan dianggap bertentangan terhadap beberapa hal, yaitu hak kolektif untuk mengingat, akses bebas terhadap informasi, dan kebebasan berekspresi.
Pertama, tentang hak kolektif untuk mengingat. Terdapat paradoks dalam ingatan, yaitu bersifat personal karena dimiliki oleh individu, namun juga bisa dibagikan kepada teman atau keluarga. Agar sebuah ingatan menjadi kolektif, pertama-tama harus dapat dibagikan ke yang lain (Reese 2008). Tetapi, ada beberapa hal tertentu bersifat privat yang orang lain tidak ingin bagikan. Bila hal ini dibagikan ke publik oleh orang yang tidak bertanggungjawab mereka dapat dinyatakan melanggar hak privasi seseorang.
Kedua, tentang akses bebas terhadap informasi. Semua orang memiliki hak untuk mendapat akses yang bebas terhadap suatu informasi di internet. Namun, informasi seperti apa yang diakses? Bagaimana jika informasi tersebut merugikan orang yang memiliki keterkaitan dengan informasi tersebut? Misalnya informasi detail tentang seseorang yang bunuh diri, atau informasi tentang nama seseorang yang pernah menjadi korban porn revenge. Berangkat dari pertanyaan inilah akses terhadap informasi perlu dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.
Ketiga, tentang kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dalam Pasal 28E ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun, dalam ketentuan ini terdapat pembatasan. Pembatasan tersebut ada pada asas-asas yang harus menjadi landasan, salah satunya asas keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selain punya hak untuk mengeluarkan pemikiran secara bebas, terdapat kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai. Dalam hak untuk dilupakan, menjaga kedamaian hidup orang lain dari ancaman pelanggaran privasi merupakan tujuan dibuatnya hak itu sendiri.
Hak untuk dilupakan memang masih menuai banyak perdebatan, namun bukan berarti tidak diperlukan. Pengaturan yang bersifat membatasi dan mengedepankan kepentingan umum dalam tata cara penghapusannya merupakan pencegahan yang bisa dilakukan agar kebebasan berpendapat tetap terjaga. Hal inilah yang diterapkan dalam GDPR karena di dalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Harapannya adalah pengaturan lebih lanjut terkait hak untuk dilupakan dalam UU ITE dalam mengakomodasi hal-hal seperti ini.
Melupakan juga merupakan bagian penting dari menjadi manusia karena melupakan membantu kita untuk memaafkan (Neville 2017). Selain itu, melupakan juga penting untuk seseorang melanjutkan hidup. Jika hak ini tidak segera diimplementasikan, akan terjadi pelanggaran hak-hak privasi seorang individu.
Sebagaimana ditulis oleh Jack London dalam bukunya The Star Rover: “kemampuan untuk bisa lupa merupakan kewarasan.” Menjaga kewarasan merupakan aspek penting mengingat arus dunia digital yang cepat dan tanpa henti. Maka dari itu, pemerintah perlu meningkatkan perlindungan privasi masyarakat melalui hak untuk dilupakan. Tanpa hak untuk dilupakan, seseorang yang informasi privatnya sudah tersebar luas tidak akan punya kesempatan kedua.
Penulis: Beby Pane
Penyunting: Alnick M. Nathan
Referensi:
Alessi, Stefania. 2017. “Eternal Sunshine: The Right to Be Forgotten in the European Union after the 2016 General Data Protection Regulation.” Emory International Law Review 32 (1): 145-171.
Boyd, Danah. 2008. “Facebook’s Privacy Trainwreck: Exposure, Invasion, and Social Convergence.” Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies 14 (1): 13-19.
Fazliouglu, Muge. 2013. “Forget me not: the clash of the right to be forgotten and freedom of expression on the Internet.” International Data Privacy Law 3 (3): 149-157.
Guadamuz, Andrés. 2017. Developing a Right to be Forgotten. EU Internet Law: Internet Law Regulation and Enforcement 59-76.
Lindsay, David. 2012. Digital Eternity or Digital Oblivion: Some Difficulties in Conceptualising and Implementing the Right to Be Forgotten. The Right to Privacy in the Light of Media Convergence: Perspectives from Three Continents 322-343.
Neville, Andrew. 2017. “Is it a Human Right to be Forgotten? Conceptualizing the World View.” Santa Clara Journal of International Law 15 (2): 157-171.
Pino, Giorgio. 2000. The Right to Personal Identity in Italian Private Law: Constitutional Interpretation and Judge-Made Rights. The Harmonization of Private Law in Europe 225-237.
Reese, Elaine. 2008. “The Development of Collective Remembering.” Memory 16 (3): 201-212.