“Lawan Pelanggaran HAM!” Bunyi tulisan di salah satu poster yang dibawa oleh massa aksi pada Selasa (10-12). Aksi dimulai dengan longmars dari Taman Parkir Abu Bakar Ali hingga berakhir di Perempatan Gondomanan. Sebanyak 32 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli HAM (AMPUH) menginisiasi aksi tersebut dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional. Melalui peringatan Hari HAM, AMPUH menarasikan tajuk “Bangun Persatuan Demokrasi Rakyat Tertindas, Hancurkan Imperialisme dan Rezim Pelanggar HAM Jokowi-Ma’ruf.”
Firdaus selaku Humas Aksi menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk kekecewaan terhadap negara. Sebab, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh negara berimplikasi pada terjadinya pelanggaran HAM. “Kebijakan yang melanggar HAM banyak yang tidak berpihak pada rakyat,” sebutnya.
Sejalan dengan Firdaus, Angga selaku perwakilan dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria pun menegaskan bahwa kebijakan negara yang berimplikasi terhadap pelanggaran HAM tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. “Pertumbuhan ekonomi sebagai perhitungan utama negara dalam mengeluarkan kebijakan adalah salah satu penyebabnya,” jelasnya. Angga menuturkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari keharusan untuk menyerap modal, bantuan, serta utang dari luar negeri. Padahal, hasilnya nanti sering kali tidak dapat dinikmati oleh masyarakat kelas bawah.
Angga juga menyebutkan mengenai pelanggaran HAM di sektor publik. Menurutnya kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) juga merupakan bentuk pelanggaran dalam hak atas kesejahteraan. “Kita tahu bahwa BPJS defisit, hanya saja jangan membuat rakyat menanggung defisit tersebut,” tegasnya. Sebagai solusinya, ia menuntut kepada pemerintah agar menaikkan presentase pajak progresif terhadap pihak korporasi agar dapat menutup defisit tersebut.
Leon selaku perwakilan Front Mahasiswa Nasional mengatakan bahwa adanya kebijakan Sultanaat Ground serta Pakualamanaat Ground (SG/PAG) yang diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) juga merupakan bentuk pelanggaran HAM. “Sebab kebijakan tersebut tidak mengakui kepemilikan pribadi atas tanah,” ungkapnya. Alhasil, ketimpangan penguasaan atas tanah terjadi. Leon pun menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan pelanggaran atas hak penghidupan layak. Sebab, hak kepemilikan pribadi atas tanah merupakan standar penghidupan layak tersebut.
Dimas selaku perwakilan Front Perjuangan Rakyat turut menyoroti pelanggaran HAM di sektor ketenagakerjaan. Pelanggaran tersebut, tambahnya, berdasarkan pada formulasi Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 yang memperhitungkan upah buruh hanya dari inflasi serta pertumbuhan ekonomi. “Padahal, upah yang layak hanya bisa terjadi apabila buruh punya hak untuk berunding,” gugatnya. Ia menuturkan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran atas hak memperoleh upah yang layak.
Tak hanya itu, Dimas menambahkan bahwa aturan mengenai denda hingga maksimal dua puluh juta terhadap gelandangan merupakan salah satu pelanggaran hak atas kesejahteraan. “Seperti kita lihat yang baru-baru ini terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada pasal 432,” sebutnya. Dimas kemudian menegaskan bahwa aturan tersebut merupakan bukti negara melepas tanggung jawabnya atas permasalahan ekonomi masyarakatnya.
Dalam rangka melawan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat tersebut, Tri dari perwakilan Indonesian Court Monitoring menegaskan urgensi dari seruan untuk membangun persatuan rakyat. “Dengan adanya seruan tersebut diharapkan solidaritas gerakan masyarakat dari berbagai macam organisasi dapat tumbuh,” jelasnya.
Selain itu, Tri menyatakan bahwa rakyat tidak bisa menitipkan kepada negara perihal menuntaskan kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini berangkat dari penjelasan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyatakan bahwa tidak terjadi lagi kasus kejahatan HAM pasca Reformasi. Tri menegaskan ini merupakan pernyataan yang tidak melihat kenyataan. “Sudah disebutkan banyak kasus pelanggaran HAM tadi, apakah itu tidak menjadi materi pidato pak Mahfud?” ujarnya retorik.
Di penghujung aksi, perwakilan dari AMPUH membacakan poin-poin tuntutan. Beberapa poin tuntutan tersebut meliputi, pertama, menuntut pemerintah untuk membatalkan kenaikan BPJS dan kebutuhan pokok rakyat. Kedua, menuntut pemerintah untuk mencabut UUK yang mengandung monopoli tanah SG/PAG. Ketiga, menuntut pemerintah untuk mencabut PP No. 78 tahun 2015. Keempat, menuntut pemerintah untuk mencabut RKUHP yang mengandung pengambilan denda terhadap gelandangan dan pengemis. Kelima, aliansi menyerukan kepada rakyat agar bersatu melawan penindasan dan penghisapan sebagai jalan keluar yang sejati untuk mengakhiri kemiskinan dan penderitaan.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana
Penyunting: Ayu Nurfaizah