“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Tanah di mana darahku tumpah oleh senjata tentara dan pistol polisi. Bagaimana mungkin tanah dimana darahku ditumpahkan oleh penguasa, masih pantas kusebut tanah air?”
Kutipan di atas merupakan sepenggal bait puisi yang dibacakan oleh Saut Situmorang di Bjong Ngopi, Nologaten, Yogyakarta pada Sabtu (14-12). Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Jogja untuk Tamansari menyelenggarakan kegiatan donasi untuk membantu warga Tamansari, Bandung Wetan, Kota Bandung yang menjadi korban atas penggusuran paksa yang dilakukan oleh sejumlah aparat gabungan TNI, Polisi, dan Satpol PP, pada hari Kamis, 12 Desember 2019 silam.
Selain pembacaan puisi dan sajian pentas seni oleh seniman Yogyakarta, rangkaian kegiatan Solidaritas untuk Tamansari juga memiliki agenda utama yaitu diskusi perkara Tamansari. Andrew, selaku ketua panitia menuturkan tujuan diselenggarakan acara ini sebagai bentuk balas budi solidaritas kawan-kawan Yogyakarta kepada kawan-kawan Bandung yang sebelumnya turut serta dalam pengawalan kasus penggusuran di Kulon Progo. “Kita berkumpul disini bukan hanya memberikan duit dan menikmati sajian hiburan saja, namun memastikan dan terus mengawal kejahatan negara di tanah kita berdiri sekarang ini,” imbuhnya.
Mengawali diskusi, Elanto Wijoyono, aktivis dari Warga Berdaya mengasumsikan bahwa kasus yang terjadi di Tamansari ini memiliki hubungan erat dengan wacana Pembangunan Berkelanjutan oleh pemerintah pusat. Ia menuturkan, program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah implementasi nyata yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung di Tamansari sebagai dalih untuk melakukan perampasan lahan. “Karena kaitan itulah, sangat mudah bagi Pemkot Bandung untuk kemudian menerima dan mengatur skema pembiayaan pembangunan rumah deret yang dijanjikan,” tegas Joyo.
Menyambung apa yang ditegaskan oleh Joyo, Frans Ari Prasetyo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menambahkan bahwasannya perkara penggusuran Tamansari tidak hanya sebatas kaitannya dengan program negara, tetapi ada pihak ketiga yang ikut bermain. Hal itu berdasarkan pada rencana pembangunan tata ruang Kota Bandung yang tidak pernah mencatat adanya program pembangunan rumah deret di Tamansari. “Jadi, kalau dikaitkan dengan program Kotaku tidak mungkin juga, ini semacam perjanjian busuk antara pemerintah dengan developer,” tandasnya.
Frans juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang terjadi dalam perkara Tamansari ini. Menurutnya, titik kejanggalan pertama terlihat pada tahun 2016 ketika warga dikumpulkan di rumah Walikota Bandung dengan dalih buka puasa bersama. Setelah buka puasa bersama itu, kemudian ada klaim bahwa warga setuju untuk membangun rumah deret. Tak lama kemudian terjadilah penggusuran pertama. Selanjutnya, pengamatan yang dilakukan Frans membuktikan bahwa apa yang hendak dibangun oleh developer dalam rencana pembangunan bukanlah rumah deret, melainkan apartemen dua tower dengan masing-masing sepuluh lantai, dan enam lantai.
Frans juga beranggapan jika klaim Pemkot Bandung atas kepemilikan lahan Tamansari juga sangat janggal. “Klaim Pemkot Bandung atas kepemilikan lahan Tamansari itu dikeluarkan oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset daerah, lantas apa wewenang lembaga itu untuk mengeluarkan surat keputusan sebagai sertifikat?” tandasnya. Frans yang juga merupakan dosen planologi ini menyoroti adanya kejanggalan dalam skema pembiayaan ganti rugi. Menurutnya, lahan di Tamansari memiliki harga diatas Rp15.000.000,00 namun pemerintah hanya mau memberikan Rp500.000,00 saja.
Melihat beberapa skema kejanggalan tersebut, maka Frans berkesimpulan bahwa pemerintah ingin mendapatkan lahan gratis melalui perampasan lahan dengan membohongi rakyat. Kemudian lahan itu disertifikasi oleh pemerintah, lalu diberikan hak izin usahanya kepada developer untuk dijadikan rumah susun atau rumah vertikal. “Kita melawan tidak hanya sebatas melawan kekerasan yang dilakukan oleh aparat, tetapi juga melawan skema teknis yang disiapkan oleh pemerintah dalam bentuk skema hukum,” imbuhnya.
Hal itu dibenarkan oleh Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogyakarta. Menurutnya, kondisi hukum di negara kita saat ini sudah jauh dari rasa adil. Negara selalu berpihak kepada kepentingan kekuasaan dengan menggunakan preferensi pasal sebagai dogma politik untuk kepentingan negara. “Hukum maupun peraturan daerah dijadikan alat untuk membohongi rakyat, maka dari kasus Tamansari kemarin, kita bisa melihat bahwa negara merasa terancam, sehingga bertindak represif terhadap masyarakat sipil yang dianggap berbahaya,” imbuh Yogi.
Di akhir acara diskusi, Widodo yang merupakan aktivis Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo mengharapkan penggusuran di Tamansari ini adalah peristiwa yang terakhir dan tidak terulang kembali. Ia juga mengajak untuk tak segan-segan melakukan perlawanan jika aparat bertindak brutal menindas rakyat kecil. “Mengingat kami hanyalah kaum petani yang hanya memiliki cangkul dan sabit, kalaupun negara datang dan merampas kami lagi, dengan terpaksa kami akan meletakkannya satu persatu ke kepala mereka,” tegasnya.
Penulis: Haris Setyawan
Penyunting: Rizal Zulfiqri