Sebuah televisi di suatu halaman rumah kecil menayangkan rekaman seorang perempuan yang tengah berbicara. Perempuan itu adalah warga Kaliurang. Ia menyebut arwah yang dilihatnya dari bungalo-bungalo di sana sebagai entitas. Beberapa kali perempuan ini melihat entitas tersebut baik yang berwajah orang Jepang maupun Belanda. “Pada dasarnya, entitas di Kaliurang itu (banyaknya) berhubungan dengan sejarah pendudukan Jepang karena pada periode ini banyak terjadi kekerasan,” ujar perempuan itu menceritakan peristiwa yang dilihatnya.
Televisi yang memutar rekaman cerita perempuan itu adalah karya seni instalasi milik Paoletta Holst yang ditampilkan dalam pameran 900mdpl. Proyek seni ini bertajuk “900mdpl: Hantu-Hantu Seribu Percakapan”. Tujuan utama proyek ini adalah menyampaikan sejarah Kaliurang dengan mengumpulkan mitos, kearifan lokal, kisah, dan sejarah alternatif. Dalam buku panduan pameran, tertulis bahwa kegiatan mereka tersebut merupakan sebuah upaya pengarsipan ruang Kaliurang. Semua karya yang ditampilkan merupakan perwujudan dari ingatan orang-orang yang hidup di dalamnya yang dikemas dalam praktik kesenian.
Lokasi pameran 900mdpl tersebar di beberapa tempat yang disebut penyelenggara sebagai situs spesifik. Itu sebabnya, Jumat (25-10) siang kala itu, RM. Joyo kedatangan segerombolan pelancong. Rumah makan ini adalah titik kumpul bagi rombongan pengunjung pameran yang hendak mengikuti tur bersama penyelenggara. Di antara mereka, berdiri seseorang dengan kaos putih dan berkacamata yang tampak sedang memandu. Ia adalah Dito Yuwono, pemandu tur hari itu sekaligus tim kurator.
Beberapa seniman yang berkontribusi dalam pameran ini adalah Yudha Sandy, Fyerool Darma, Maryanto, Rara Sekar, dan Agung Kurniawan. Selain itu, Lala Bohang, Jompet Kuswidananto, Paoletta Holst, Arief Budiman, dan Mark Salvatus juga ikut menampilkan karya mereka. Kesepuluh seniman tersebut merespons setiap situs dengan karya seni dan gagasan yang beragam. “Gagasan yang berusaha disampaikan melalui pameran ini adalah peristiwa yang terjadi di Kaliurang yang disesuaikan dalam lini masa sejarah Indonesia,” kata Dito.
Sekitar pukul dua, Dito mulai mengajak rombongan tur untuk berjalan ke lokasi pameran yang pertama yaitu situs bekas pasar bernama Pasar Kanjengan. Situs ini berjarak sekitar 10 meter di sebelah utara RM. Joyo. Seorang ilustrator asal Yogyakarta, Yudha Sandy, menggambarkan suasana Pasar Kanjengan pada masa lalu di lokasi ini. Berdasarkan deskripsi karya, sebelum tahun 1970 pasar ini pernah begitu masyhur di antara para pedagang dan berbagai komunitas di Kaliurang. Para pedagang menjual sayuran, peralatan pertanian, dan pakaian di pagi hari. Sementara, ketika matahari mulai tenggelam, lokasi itu berubah menjadi titik kumpul bagi komunitas lokal. Lewat gambarannya di atas baliho bekas, Yudha juga hendak mendorong pedagang lokal untuk menggunakan lahan itu lagi.
Selanjutnya, rombongan berjalan ke arah barat menuju lapangan tenis yang dikenal dengan nama Tenisbaan. Ini adalah lokasi di mana Fyerool Darma menampilkan karyanya. Melalui karya ini, Fyerool berusaha menerjemahkan bukti-bukti tekstual dengan memanfaatkan lapangan tenis yang dulunya digunakan sebagai tempat hiburan pada masa kolonial. Seniman asal Singapura ini mengumpulkan barang-barang yang ia peroleh dari percakapannya dengan penduduk setempat maupun turis untuk ditampilkan di jaring net yang bertuliskan “besatu lagi”.
Setelah mengunjungi Tenisbaan, pengunjung lanjut berjalan ke arah utara untuk mengunjungi Wisma Asturenggo di mana karya milik Maryanto terpampang di sana. Lokasi ini menyuguhkan reruntuhan bangunan dan bendera-bendera yang berkibar dari seutas tali. Melalui deskripsi karya, Maryanto mengatakan bahwa wisma ini dulunya pernah dijadikan tempat penyuluhan HIV/AIDS untuk komunitas gay dan transgender. Namun, sekelompok organisasi menyerang lebih dari 200 peserta acara dan merusak fasilitas bangunan. Dengan demikian, bendera-bendera yang dipajang bertujuan memulihkan memori atas kejadian yang pernah terjadi tahun 2000 tersebut. Melalui bendera-bendera yang mewakili 70 nama komunitas tersebut, Maryanto bermaksud menyampaikan pesan toleransi dan kebersamaan. Menurutnya, Kaliurang adalah tempat bagi semua komunitas.
Situs ketiga yang dikunjungi setelah Wisma Asturenggo adalah RM. Warung Podjok. Karya milik Rara Sekar ada di sini. Perempuan yang tengah menekuni fotografi kritis ini menampilkan cerita di balik makanan yang sering dimasak dan dijual di Kaliurang. Rara menghadirkan cerita tersebut melalui buku kumpulan resep yang dilengkapi dengan potret detail objek yang diceritakan. Buku ini tidak hanya berisi resep-resep saja, tetapi juga memori personal mengenai makna dan cerita makanan tersebut. “Mengurai cerita dari sebuah makanan adalah usaha mendalami ruang dan lingkungan, tradisi dan kebaruan, sejarah dan harapan, juga memori dari personal maupun komunal,” kata Rara.
Di rumah makan ini, beberapa pengunjung memesan makanan dan minuman yang dijual di Warung Podjok. Sebab, selain menjadi lokasi pameran, tempat ini juga beroperasi seperti biasa sebagai rumah makan. Sementara, sebagian pengunjung lainnya membolak-balik buku resep yang menjadi karya seni Rara.
Tepat di atas meja di mana buku resep dipajang, terpampang foto detail tangan seorang juru masak di Kaliurang yang telah berkerut, Bude Han. Han adalah perempuan lanjut usia yang telah berjualan bakso di Kaliurang sejak tahun 1983. Kata Rara, setiap kali ia mengunjungi warung baksonya, pelanggan yang datang selalu bercerita mengenai Bude Han yang telah menjadi saksi kehidupan mereka. “Warga seringkali datang untuk sekadar tukar cerita atau bertemu kawan lama, dan Bude Han akan selalu di sana, siap mendengarkan cerita dari siapa saja,” jelas Rara.
Puas dengan cerita dari Rara mengenai makanan dan sejarah di baliknya bagi warga Kaliurang, rombongan tur beranjak ke situs selanjutnya. Karya selanjutnya adalah milik Lala Bohang, seorang seniman yang juga sekaligus penulis. Lala Bohang menceritakan kisah seorang perempuan bernama Adriana van der Have melalui karyanya. Adriana adalah istri seorang penasehat, sekretaris, sekaligus teman dekat wakil presiden M. Hatta, yaitu Masdoelhak Nasoetion. Masdoelhak diculik dari rumahnya di Kaliurang oleh tentara Belanda dan dieksekusi tanpa penghakiman di hutan bambu. Lewat sketsa dengan tinta hitam yang dipadukan dengan goresan cat air berwarna biru, Lala Bohang berusaha menceritakan kembali kisah tersebut. Ia mengenalkan karakter fiksi bernama Ani Teresia untuk menyampaikan sebuah cerita. Segala sketsa, catatan mengenai vila, dan peta sederhana Kaliurang seperti menceritakan catatan Ani Teresia dalam mencoba menemukan rumah tempat tinggal Adriana. Meletakkan karyanya dalam sebuah bilik di Vila Bella Plaza membawa kesan seperti dibawa masuk ke kamar milik Ani dengan segala catatan perjalanannya.
Kekaguman para pengunjung nampak jelas dari respon mereka melihat karya-karya Lala. Sebagian dari mereka mendekatkan pandangan pada detail sketsa yang ada di atas meja maupun yang ditempel di tembok. Sebagian lainnya aktif bertanya pada pemandu atau memotret setiap sudut kamar itu. Salah satu pengunjung, Anastasya mengaku kagum dengan ide penyampaian cerita melalui karakter Ani dan catatan perjalanannya. “Saya jadi bisa membayangkan dan ikut merasakan kisah yang berusaha disampaikan,” kata Anastasya.
Selesai menikmati karya Lala Bohang, pengunjung meneruskan perjalanan ke arah utara. “Seperti mendengar suara orang berorasi,” sela Pradita, salah satu pengunjung, ke teman-temannya dalam perjalanan. Tak lama, rombongan pun tiba di sebuah hutan pohon kayu putih. Ini kesempatan Agung Kurniawan untuk menampilkan potongan sejarah lainnya mengenai Kaliurang. Karya Agung berada di sebuah hutan di sebelah selatan Rumah Putih Grezenberg atau yang sekarang dikenal dengan Pesanggrahan Sarjanawiyata. “Ia punya daya magis yang kuat, mendengar pidatonya seperti menghidupkan bara,” jelas Anastasya kembali berkomentar.
Agung Kurniawan memberi nama karyanya sebagai “Raungan Terakhir”. Hal ini karena orasi yang didengar oleh pengunjung merupakan pidato terakhir Soekarno yang disampaikan pada HUT RI yang ke-21. “Pidato ini merupakan raungan terakhir singa yang terluka, disampaikan dalam kondisi fisik yang buruk selama dua jam berturut-turut dengan suntikan kekuatan dari kegentingan masa itu,” tulis Agung dalam deskripsi karyanya.
Seniman sekaligus salah satu pemilik Kedai Kebun Forum tersebut punya alasan tersendiri untuk menampilkan pidato Sukarno di antara pohon kayu putih. Pidato Sukarno dipilih karena mempertimbangkan banyaknya warga Kaliurang yang memajang foto Sukarno di dinding rumahnya. Kata Agung, para sukarnois ini dulu juga ikut bersitegang dengan kelompok kiri dan sisa-sisa konflik tersebut masih terasa hingga kini. Sementara, kayu putih adalah metafora kelompok kiri, sama seperti Pulau Buru yang dikenal sebagai Pulau Kayu Putih karena sebagian besar pohonnya ditanam oleh para tahanan politik. Sukarno memang sempat menyebut soal peristiwa ‘65 dan Supersemar dalam pidato itu, meski tidak spesifik merujuk pada peristiwa pembantaian. “Saya sengaja memakai jalan memutar untuk bicara mengenai ‘65 karena mempertimbangkan dampaknya bagi panitia dan korban peristiwa tersebut di Kaliurang,” kata Agung.
Suasana magis dari sebuah karya juga turut dihadirkan oleh Jompet Kuswidananto dalam instalasinya. Instalasi Jompet ini ditempatkan langsung di sebuah tempat bekas barak para romusha. Tempat ini sekarang bernama PPAY. Judul karyanya adalah “Kaliurang (Setelah Matahari Terbit)”. Matahari di sini merupakan perwujudan dari Jepang yang sering membawa-bawa slogan “Nippon Cahaya Asia”-nya ketika menduduki Indonesia.
Melalui karya ini, Jompet mempercayai perjuangan masyarakat Kaliurang melawan kekerasan di antara sesama manusia di tengah lingkungannya yang terus berubah. Ia menghadirkan instalasi berupa patung-patung kepala hewan yang menghadap ke arah lampu-lampu yang menyala. Ruangan ini juga dilengkapi oleh audio seseorang yang berbicara dengan bahasa jawa yang tengah membuka sebuah upacara tertentu, ditandai dengan kalimatnya yang mempersilakan kedatangan sesepuh. Dalam deskripsi karya disebutkan bahwa karya Ini adalah sebuah gambaran atas warga Desa Kaliurang yang mengalami pergantian tetangga. Pada mulanya adalah orang Belanda yang ramah, lalu menjadi orang Jepang yang keras dan kejam, hingga kembali ke orang Belanda yang pemarah dan agresif dan sama sekali tidak dikenal. “Nantinya, para pemarah ini diusir melalui revolusi dengan campur tangan ilmu gaib dan misterius beserta kisah-kisah hebat lainnya,” tutup Jompet dalam deskripsinya.
Sejak di Vila Bella Plaza, suasana magis dan mistis dari sebuah situs semakin terasa. Suara pidato Sukarno yang membara maupun patung kepala hewan lengkap dengan audionya yang berbahasa jawa cukup menciptakan keadaan sekitar yang mistik. Begitu pula dengan karya milik Paoletta Holst yang berada di Wisma B. I. P. Hanya ada meja, kursi, dan layar tv yang memutar audio visual seorang warga Kaliurang di sana. Retakan di dinding tembok, warna cat yang sudah memudar, dan tinggi pintu yang masih rendah cukup memberikan informasi bahwa wisma ini sudah berusia lama.
“Aku sempat melihat bahwa entitas ini marah pada pekerja rumah tangganya. Mereka dimarahi dan dipukul sampai lumpuh. Setelah kejadian itu, para pekerja tidak terlihat lagi di rumah, entah ke mana,” kata perempuan dalam layar tv itu. Gagasan yang hendak dibawa oleh Paoletta melalui karya ini adalah hal-hal yang dapat diceritakan oleh bungalo-bungalo di Kaliurang. Tentu hal-hal tersebut ada kaitannya dengan sejarah Indonesia pada zaman pendudukan Belanda maupun Jepang. Dalam penelitiannya, Paoletta bekerja dengan kolaborator lokal, Brigita Murti, untuk menemukan sejarah bungalo dan Kaliurang itu sendiri. Sejarah ini ada dalam bentuk ingatan pribadi warga lokal maupun dalam bentuk entitas (hantu) yang menampilkan diri ke individu. Bagi Paoletta, cerita dan penampakan semacam ini tidak dapat ditelusuri kembali ke dokumen atau arsip apapun melainkan terbawa dalam memori penduduk setempat. “Transmisi pengetahuan diaktifkan melalui sejarah lisan, dan diskusi tentang kelas hadir dengan sendirinya dalam denah lantai rumah serta perencanaan desa,” tulis Paoletta dalam buku mengenai penelitiannya yang juga ada di sana.
Selain cerita tentang bungalo dari Paoletta, di wisma ini juga ada karya milik Arief Budiman yang berjudul “Para Penyamun Hati”. Bedanya, karya Arief berada di rumah kecil yang letaknya sekitar 10 meter dari karya Paoletta. Benda pertama yang terpampang di bagian depan rumah itu adalah tiga baju perempuan yang dijemur di depan pintu. “Ini pasti cerita soal seorang perempuan,” terka salah satu pengunjung yang akhirnya memutuskan membaca deskripsi karya.
Pada kesempatan kali ini, Arief Budiman menggunakan pendekatan kisah sastrawi tentang tiga orang primadona desa. Kisah tersebut diwujudkannya dalam sebuah video mirip drama radio pada masa itu—sekitar tahun 1970-an. Rangkaian benda dan video yang ditampilkan seolah hendak mengandaikan tentang hidup para perempuan yang menjadi idola ini dan percakapan mereka di balik kamar. Di salah satu kamar yang relatif sempit, terpampang beberapa baju milik perempuan dan laki-laki, juga bra dan celana dalam keduanya. Karya Arief ini mengingatkan kita pada film Indonesia yang diproduksi kala itu—yang kental dengan gaya sensual. Sampai-sampai menteri penerangan membuat sebuah keputusan pada tahun 1977 untuk meminimalkan gesekan antara pembuat film dan moral warga, disiplin nasional, serta kepatuhan kepada Tuhan. Di saat yang bersamaan, Arief Budiman menerka bahwa ini adalah titik awal kontrol dan intervensi negara dalam ranah pribadi setiap individu.
Setelah asyik menikmati cerita mengenai primadona desa, rombongan tur beranjak ke situs pameran terakhir yaitu kediaman Yanti dan Hari. Situs ini adalah tempat di mana karya milik Mark Salvatus dipamerkan. Dalam sebuah ruang, pengunjung disuguhkan video subtil mengenai tangan-tangan yang muncul dari balik pohon. Tangan-tangan itu mengayun-ayun seperti tangan arwah yang tinggal dalam pohon. Pertunjukan ini diperankan oleh warga Kaliurang sendiri. “Sesekali, penduduk Kaliurang melihat sosok pria, noni Belanda yang berjalan, atau penampakan mistik lainnya. Mereka bersembunyi di pohon-pohon, seolah pohon, hutan, dan gunung adalah saksi mata dari semua sejarah” tulis Mark dalam deskripsi karyanya.
Karya milik Mark ini merupakan penutup rentetan karya yang ditunjukkan dalam Pameran 900mdpl. Sebagai pemilik rumah, Hari mengatakan bahwa dirinya senang dengan antusiasme pengunjung untuk mengetahui sejarah Kaliurang. “Pameran ini kan mengenai kesenian, kadang-kadang kita yang orang awam tidak sampai maksudnya apa,” kata Hari yang kemudian disusul dengan tawa yang pecah dari para pengunjung. “Tetapi, melalui pameran ini kan akhirnya orang-orang bisa mengalami sendiri cerita-cerita tentang Kaliurang, di luar wisata dan vilanya saja,” sambungnya lagi.
Sependapat dengan Hari, Dito turut menambahkan bahwa pengalaman itulah tujuan dari penyelenggaraan pameran ini. Pameran dua tahunan yang telah terselenggara dua kali ini sengaja dikonsep dengan situs-situsnya yang tersebar untuk menunjukkan situasi ruang hidup dari cerita yang berusaha diangkat. Itu sebabnya mereka menyebutnya sebagai pengarsipan ruang.
Penulis: Citra Maudy
Penyunting: Ahmad Fauzi