Memperingati Hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada 10 Desember, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (BEM UAD) bersama Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (KAHAM UII) mengadakan seminar nasional bertemakan “Masa Depan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia” pada Minggu (15-12). Dipandu oleh Suyitno, M.Pd., Dosen Pendidikan Guru SD UAD, seminar ini diisi oleh Prof. Jawahir Thontowi S.H., Ph.D. selaku Guru Besar Fakultas Hukum UII, Asfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Dandhy Laksono selaku pendiri rumah produksi Watchdoc Documentary. Seminar yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari berbagai universitas ini bertempat di auditorium Kampus 2 UAD, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta.
Seminar ini dibuka dengan pemaparan Jawahir mengenai persoalan HAM di Papua. Dalam pemaparannya, Jawahir mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi persoalan HAM di Papua. “Yang pertama kepentingan ekonomi global untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang terdapat di Papua, dan yang kedua kepentingan kelompok-kelompok nasional,” paparnya.
Selanjutnya, Jawahir menawarkan solusi untuk mengatasi beberapa permasalahan mendasar yang terjadi. Untuk mengatasi kemiskinan, Jawahir menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk memberikan cash dan care kepada masyarakat yang berada di Papua. Sementara dalam persoalan pendidikan, pemerintah dinilai perlu menyediakan transportasi publik bagi anak-anak sekolah di Papua, sehingga mereka maupun para orang tua tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak berangkat ke sekolah. Sementara itu, persoalan keamanan dapat diatasi dengan melibatkan peran dari para kepala adat.
Menurut Jawahir, persoalan HAM di Papua tidak akan selesai dengan pendekatan militer yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Baginya, intervensi militer hanya akan menimbulkan disorder dan rasa ketidakamanan. Sebagai gantinya, persoalan HAM di Papua harus diselesaikan melalui pendekatan mediasi seperti halnya kasus Aceh. “Dengan demikian, saya kira Indonesia akan tetap utuh ke depannya,” imbuhnya.
Sementara itu, Asfinawati mengungkapkan bahwa ada sedikitnya sepuluh hak yang telah dilanggar oleh negara. Berdasarkan pengusutan yang dilakukan oleh enam belas LBH yang tersebar di seluruh Indonesia, kesepuluh hak itu antara lain hak atas peradilan yang adil, hak atas pekerjaan, hak kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas tanah, hak atas tempat tinggal, hak kebebasan berekspresi, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi, hak untuk hidup, dan hak untuk mendapatkan pelayanan umum tanpa diskriminasi.
Menurut Asfinawati, kondisi HAM di Indonesia hari ini belum jauh berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Hal ini disebabkan pemerintah masih mengadopsi siklus otoritarian yang sama. Dalam siklus ini, pemerintah mula-mula menciptakan musuh bersama demi menghadirkan suasana dan situasi genting. “Kalau dulu musuh bersama kita komunisme, maka sekarang ganti dengan radikalisme,” sebutnya. Menurut Asfinawati, situasi genting ini memungkinkan dilakukannya pengurangan kebebasan sipil yang pada akhirnya mewujudkan kondisi darurat atau otoriter.
Namun, bersamaan dengan itu, Asfinawati menilai bahwa kian hari penduduk usia muda kian kritis. “Teman-teman sekarang pemilik sah generasi yang akan membangkitkan penegakan HAM di Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Dandhy mengungkapkan bahwa selama ini negara telah memanipulasi sejarah demi melegitimasi tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang mereka lakukan. “Dinarasikan bahwa ada orang baik melawan orang jahat, di sini NKRI selalu baik, sehingga muncul opini kalau ada anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) mati, ya wajar orang jahat mati,” sebutnya.
Dandhy menyebut bahwa doktrin, mitos, dan propaganda yang tak henti-hentinya dilancarkan oleh negara pada akhirnya akan berujung pada repetisi dan impunitas. “Kalau membantai orang-orang pada 1965 tidak ada konsekuensi hukum, ya kalau kita ulangi lagi dengan skala lebih kecil dosanya lebih kecil dong,” ujarnya. Menurut Dandhy, apabila kejahatan lama tidak diadili, maka pada masa mendatang akan muncul anggapan bahwa tidak ada konsekuensi yang diterima dari tindakan melanggar HAM.
Lebih lanjut, Dandhy menyebut bahwa ada lingkaran kebodohan yang tidak ada habisnya di Indonesia. Dalam lingkaran ini, golongan yang semula menjadi korban pelanggaran HAM pada kemudian hari bertindak sebagai pelaku. “Hal ini masih diperparah oleh literasi, tontonan, dan sistem pendidikan yang didesain hanya untuk mencetak tenaga kerja,” tutupnya.
Penulis: Han Revanda Putra
Penyunting: Rasya Swarnasta