Akhir-akhir ini, ancaman kebebasan akademik menjadi sorotan publik, setelah adanya penekanan terhadap beberapa lembaga pers mahasiswa di berbagai universitas. Dunia kampus kembali mendapati situasi-situasi yang persis tergambar dalam rezim otoritarianisme militer Soeharto. Pada masa Orde Baru, tekanan ideologis, pengekangan politik kemahasiswaan, pemberangusan buku, hingga pengekangan kebebasan berekspresi menjadi dominan di dunia akademik Indonesia.
 Dalam kesempatan ini, BALAIRUNG menemui Herlambang P. Wiratraman, Ketua Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, dalam kuliah umum Kebebasan Akademik dalam Ancaman di Universitas Cokroaminoto. Pria yang sering mengadvokasi kasus-kasus HAM ini berbagi hasil risetnya mengenai kebebasan akademik. Berdasarkan hasil risetnya, lebih dari 60 kasus yang tercatat dalam rentang tahun 2014-2018 dengan motivasi tekanan beragam. Mulai dari laporan mahasiswa, hingga kriminalisasi terhadap dosen pun dia terima. Selain itu, dia juga memberikan pandangannya terkait situasi kebebasan akademik di Indonesia akhir-akhir ini.
Ancaman kebebasan akademik seperti apa yang sedang kita hadapi?
Represi yang terjadi pada lembaga pers mahasiswa kampus semakin memperlihatkan ancaman terhadap kebebasan akademik. Pers Mahasiswa (Persma) sebagai kantung pergerakan dan pengembangan pemikiran kritis, justru kian mudah diberangus. Persma berupaya belajar menggunakan standar penulisan jurnalistik sesuai kode etik, profesional, investigatif dan membawa kepentingan publik. Namun, bersamaan dengan itu, justru dilawan dengan kebijakan penyensoran dan bahkan pemberangusan. Represi terhadap kebebasan akademik juga memanfaatkan isu stigmatisasi pada komunisme, intoleransi atas kebebasan beragama, tekanan korporasi terhadap kampus, retaliasi koruptor, diskriminasi dan rasialisme, hingga isu pendisiplinan akibat birokratisasi dan komersialisasi kampus.
Melihat situasi di atas, sebenarnya adakah jaminan akan kebebasan akademik di kampus?
Dengan realitas di atas, kebebasan akademik hanya disebut secara eksplisit dalam UU Pendidikan Tinggi dan diterjemahkan dalam Statuta Universitas. Akan tetapi, secara konseptual tidak jelas maknanya, dan secara hukum tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi perlindungan kebebasan tersebut. Hal itulah yang menjadi sebab kenapa tekanan terhadap kebebasan akademik justru semakin mudah terjadi dalam dunia kampus.
Mengapa ancaman terhadap kebebasan akademik bisa berulang kali terjadi?
Setelah 20 tahun reformasi, setidaknya terdapat lima situasi yang bertahan, tumbuh sekaligus meneguhkan ancaman-ancaman terhadap kebebasan akademik. Pertama, adanya indoktrinasi dan warisan rezim otoritarianisme. Hal tersebut bertahan dan berkembang karena Indonesia tidak berhasil menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Contoh akibat dari hal tersebut seperti, serangan terhadap aktivitas akademik yang dituding berbau komunis. Juga tuduhan menyebarkan ajaran PKI dan rasisme terhadap warga Papua.
Kedua, siklus kekerasan dan impunitas atau keadaan tidak dipidana. Tindakan pembiaran pertanggungjawaban hukum, menjadikan dunia kampus bukan benteng kebebasan yang bersih dari tekanan negara. Isu yang dimanfaatkan untuk merepresi kebebasan akademik antara lain isu âstigmatisasi komunismeâ, intoleransi atas kebebasan beragama, tekanan korporasi terhadap kampus, retaliasi koruptor, diskriminasi dan rasialisme, hingga isu pendisiplinan akibat birokratisasi dan komersialisasi kampus.
Ketiga, birokratisasi dan feodalisme dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Hal tersebut merepresentasikan struktur sosial masyarakat yang sibuk berebut pengaruh dalam jabatan atau pangkat struktural. Bukan lagi semangat egalitarian untuk mengembangkan budaya akademik, melainkan justru kuasa kepemimpinan yang semakin mendominasi. Hal tersebut dapat kita lihat dari kasus Julio Harianya di Universitas Negeri Semarang yang diskorsing atas kritiknya soal UKT. Selain itu, terdapat tekanan kriminalisasi dengan UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik yang dihadapi Saiful Mahdi, Dosen FMIPA Unsyiah Banda Aceh yang mengkritik salah satu kebijakan di kampus tersebut.
Keempat, komersialisasi kampus dengan dukungan negara. Situasi tekanan pasar yang ditopang oleh peran kuat komersialisasi pendidikan tinggi yang disponsori negara. Hal tersebut telah berdampak pada kebebasan akademik sehingga terjebak dalam korporatisme pendidikan. Karenanya, dosen dan mahasiswa dapat dengan mudah didisiplinkan dan dipecat oleh sistem korporatisme tersebut. Ini yang pula disebut Ritzer (1996) sebagai âMcdonaldization of higher educationâ.
Kelima, kuasa modal dan politik mendisiplinkan dan menundukkan kampus. Universitas telah dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan korporasi dan/atau pemilik modal, dan ini mempengaruhi bekerjanya produksi pengetahuan sosial. Contoh dari hal tersebut yaitu kasus pembubaran diskusi film âSamin vs Semenâ dan âAlkinemokyeâ karya Watchdoc, 1 Mei 2015, di Universitas Brawijaya, atau “Prahara Tanah Bongkoran”, di Banyuwangi. Film tersebut mengangkat isu pembatalan eksaminasi, serangan balik koruptor atau korporasi terhadap peneliti atau ahli di kampus.
Langkah nyata apa yang sudah dilakukan untuk menuntut kebebasan akademik ini?
Realitas hukum yang sulit mendorong saya beserta perwakilan peneliti kebebasan akademik, dosen, mahasiswa, berkumpul di Surabaya tahun 2017 dalam pertemuan yang diinisiasi oleh Serikat Pengajar HAM dan Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Pertemuan tersebut menghasilkan Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF), 2017 atau Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik. Melalui prinsip-prinsip ini, segala bentuk ancaman terhadap kebebasan akademik diupayakan advokasinya dengan merujuknya. Rujukan tersebut digunakan dalam amici curiae (Sahabat Pengadilan), yaitu pengadilan berhak menerima-mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. Hal tersebut terjadi dalam kasus Basuki Wasis tahun 2018 lalu. Dengan putusan yang merujuk dokumen tersebut, Basuki Wasis dibebaskan dari gugatan terpidana koruptor Nur Alam.
SPAF ini telah diadopsi sebagai sumber hukum untuk meneguhkan prinsip-prinsip tentang kebebasan akademik, tidak hanya di Indonesia, namun di perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dilakukan melalui perkumpulan akademisi South Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN) di Universitas Sabah Malaysia, pada April 2018 lalu.
Kemudian, bagaimana seharusnya peran institusi akademik dalam menjamin kebebasan akademik?
Tentu saja kita perlu mengingat dan mendudukkan kembali apa peran institusi akademik. Pertama, kampus hadir bukan untuk menebalkan struktur sosial yang melegitimasi penindasan. Namun, pendidikan yang diajarkan harus melawan dan membebaskan dari penindasan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kedua, kampus sebagai pusat pembelajaran sekaligus penyadaran, yang mereproduksi pengetahuan untuk kemajuan peradaban manusia. Namun, keduanya baru akan ada dan berfungsi progresif jika prasyarat kebebasan akademik dijamin perlindungannya.
Penulis: Anis Nurul
Penyunting: Ima G. Elhasni