Rabu (6-11), Social Movement Institute (SMI) mengadakan diskusi mengenai isu kerusakan ekologi di Wisma Pastoran Mahasiswa PMKRI, Jalan dr. Wahidin Soedirohoesodo No. 54, Klitren, Yogyakarta. Berangkat dari buku kumpulan puisi karya Sitor Situmorang, Air dan Angin Danau Toba, diskusi ini menghadirkan JJ Rizal, sejarawan sekaligus Direktur Komunitas Bambu, Yoshi Fajar Kresno Murti, Direktur Arsip IVAA, dan Gunretno, tokoh Sedulur Sikep sekaligus Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Selain itu, hadir pula Eko Prasetyo, Ketua SMI, dan Astra, Ketua PMKRI Yogyakarta.
Diskusi kali ini diawali oleh paparan dari JJ Rizal. Beliau merupakan seorang sejarawan sekaligus direktur Komunitas Bambu. Dalam diskusi kali ini, beliau menceritakan perjalanan Sitor Situmorang sebagai seorang penyair. Menurutnya, Sitor menjadikan ekologi sebagai sumber inspirasinya dalam berkarya. Ia memaparkan, Pramoedya Ananta Toer menemuinya di tahun 2004 dan bercerita memiliki kesulitan menemukan karya sastra indonesia yang menggambarkan geografi dan ekologi Indonesia. Namun, dia merasa beruntung jika itu terkait tanah Batak karena ada Sitor.
Menurut JJ Rizal, karya Sitor yang berjudul Angin dan Air Danau Toba menjelaskan apa itu ekosistem dalam arti yang luas, meliputi konsep norma, hukum, kebudayaan, folklor, dan mitologi. “Pak Sitor membawa pengertian ekosistem ke dalam karya sastra yang disebut sebagai ekokritik sebelum ada istilah tersebut,” jelasnya. Sajak-sajak Sitor menyajikan pemikiran pemikiran yang bukan hanya bentuk protes pada kecenderungan eksploitatif Orde Baru, tapi menyajikan ekokritik. “Untuk Pak Sitor, kerusakan ekologi di kawasan Danau Toba merupakan bagian paling rawan, bagaimana kebudayaan yang menjadi inspirasi sajak-sajaknya mengalami kerusakan,” tutur JJ Rizal. Ketika membaca sajak Sitor, kita akan ikut merasakan kemarahan yang sama bagaimana perancang negeri sudah tidak memikirkan hubungan alam dan manusia. “Mereka hanya akan berpikir bagaimana mengeksploitasi alam.”
Sementara Yoshi Fajar melihat Sitor dengan perspektif yang berbeda. “Saya seperti bertemu tiga perasaan sekaligus dalam karya-karya Sitor,” ujarnya, “yaitu kerinduan, kehilangan, dan perjuangan. Kerinduan, karena Sitor telah terpisah dari tanah, baik tanah sebagai materi maupun sebagai kultur. Kehilangan, karena Sitor telah berada di luar hubungan manusia dengan lingkungannya. Perjuangan, karena keteguhan Sitor dalam membela apa yang menurut ia benar.” Baginya, Sitor tidak hanya menulis karya sastra dalam konteks kesejarahan, lebih dari itu, ia turut membuat sejarah itu sendiri. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ide-ide Sitor dalam karya sastranya relevan untuk dihadirkan kembali hari ini. Sebab, masyarakat Indonesia kian hari kian digiring menuju masyarakat yang konsumtif. Tanah sekadar dipandang sebagai komoditas, alih-alih ruang hidup yang memiliki nilai-nilai yang fundamental.
Melengkapi dua pembicara sebelumnya, Gunretno, atau yang lebih akrab disapa Kang Gun, memberikan pandangan mengenai kejadian real yang terjadi di lapangan. Sebagai Koordinator JMPPK, ia menuturkan keadaan masyarakat yang hidup di Pegunungan Kendeng, daerah yang di atasnya akan didirikan sebuah pabrik semen. Menurutnya, Sedulur Sikep yang mencukupi kehidupan sehari-harinya dengan bertani merupakan masyarakat yang hidup secara amat sederhana dan memiliki prinsip untuk menolak sekolah formal. Sayangnya, hal ini menimbulkan stigma dari orang-orang yang tidak mengerti. Mereka menganggap sikap penolakan terhadap pabrik semen merupakan sikap bodoh yang lahir dari orang-orang yang tidak berpendidikan. Padahal, kawasan batu kapur yang sedianya akan dirusak demi pendirian pabrik semen memang kawasan yang kaya akan manfaat, lebih dari apa yang orang kira sebelumnya. Sebab, batu kapur berfungsi bukan saja sebagai bahan bangunan, melainkan juga sebagai peresap air yang mampu menyimpan air untuk mengaliri pertanian penduduk. Selain itu, batu kapur juga mampu menyerap CO2, dua kali lebih efektif daripada pohon. “Orang bisa hidup tanpa semen, tapi tidak bisa hidup tanpa air,” imbuhnya.
Diskusi ini dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai kalangan masyarakat. Diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan pembacaan salah satu karya dari Sitor Situmorang. Selain berdiskusi, pengunjung juga dapat membeli buku karya-karya Sitor Situmorang dan buku lainnya yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Penulis: Salwa Azzahra dan Han Revanda (Magang)
Penyunting: Widya R. Salsabila