Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Gadjah Mada melakukan aksi bertajuk “Menggugat Gadjah Mada” di Gedung Rektorat Balairung UGM pada Rabu (13-11) sekitar pukul setengah satu siang. Aksi ini merupakan lanjutan dari audiensi sebelumnya yang dilakukan oleh Forum Advokasi UGM dan dianggap berujung buntu dengan jawaban normatif dari pihak Rektorat. Mahasiswa aksi mendesak kebijakan-kebijakan dari tuntutan yang dibawa dapat diimplementasikan dengan baik oleh pihak Rektorat. “Berbeda ya mungkin dari aksi-aksi Kita Agni atau mungkin 2 Mei 2016. Tapi ini lebih menyasar kepada jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan itu salah. Karena selama ini yang dikawal dari temen-temen Forum Advokasi atau keterwakilan mahasiswa di dalamnya itu juga masih kurang diakomodir,” tambah Kevin, Koordinator tim kajian “Menggugat Gadjah Mada”.
Kevin juga mengatakan bahwa Aliansi Mahasiswa UGM telah melakukan konsolidasi sebanyak tiga kali dan sepakat untuk membawa tujuh tuntutan dalam aksi. Pertama, menolak larangan mobilisasi mahasiswa baru dan segera mengesahkan memo kegiatan ko-Kurikuler. Kedua, menolak instruksi Rektor UGM dan segera mengesahkan draf peraturan kekerasan seksual. Ketiga, menolak rencana penerapan uang pangkal di UGM. Keempat, menjamin kebebasan akademik di lingkungan UGM. Kelima, mewujudkan penanganan kesehatan mental secara menyeluruh di UGM. Keenam, memberikan legalitas terhadap organisasi mahasiswa daerah. Ketujuh, memberikan jaminan keamanan siber terkait privasi data pribadi.
Berdasarkan siaran pers “Menggugat Gadjah Mada” oleh Aliansi Mahasiswa UGM pada tanggal 13 November 2019, Pihak Rektorat menemui massa aksi pukul setengah dua dengan Rektor Panut Mulyono didampingi oleh dua wakilnya, Djagal Wiseso, Wakil Rektor bidang Pendidikan Pengajaran dan Kemahasiswaan (P2K) serta Bambang Agus Kironoto, Wakil Rektor bidang Sumber Daya Manusia dan Aset. Pihak Rektorat didampingi oleh Kevin sebagai negosiator memulai pembacaan isu yang diiringi dialog dengan massa aksi. Sampai pukul dua siang hanya tiga isu yang dibahas, yaitu isu tentang ko-kurikuler, peraturan kekerasan seksual dan isu uang pangkal yang mengalami kebuntuan. “Jadi di UGM tentang uang pangkal itu belum ada keputusan apapun. Karena sebetulnya Pak Wakil Rektor bidang P2K dan beberapa dekan itu sedang mewacanakan bagaimana kalau di UGM itu ada sumbangan seperti di universitas-universitas yang lain,” ucap Rektor.
Mahasiswa aksi merespons ucapan Rektor dengan melemparkan uang koin sebagai bentuk protes. Aksi lempar koin ini dilakukan setiap kali rektor mempertegas ucapannya terkait masalah sumbangan yang dibutuhkan universitas. “Pada demo 2 Mei 2016, ribuan mahasiswa menyatakan menolak uang pangkal. Artinya ketika ada Dekan ataupun Rektor yang mendukung uang pangkal, mereka tidak mendengarkan suara ribuan mahasiswa tersebut,” ucap Syahdan, salah seorang mahasiswa aksi mengingatkan akan aksi demo 2 Mei 2016 di Gedung Rektorat. Di tengah aksi lempar koin tersebut, Rektor meninggalkan tempat konsolidasi. “Saya tidak bisa berlama-lama lagi di sini, karena ada tamu dari DPR yang harus saya temui,” ucap Rektor. Mendengar ucapan tersebut, mahasiswa aksi berlari ke dalam Gedung Rektorat untuk mendesak Rektor menuntaskan tuntutan.
Pada pukul tiga sore, pihak Rektorat yang diwakili oleh Wakil Rektor Djagal Wiseso memutuskan untuk melakukan konsolidasi langsung dengan massa aksi. Dari konsolidasi langsung tersebut, diperoleh beberapa hasil. Pertama, memo kegiatan ko-kurikuler akan dibahas dan disahkan satu minggu setelah aksi. Kedua, pengesahan draf peraturan kekerasan seksual akan dilakukan satu bulan setelah aksi. Ketiga, tahun depan tidak akan ada penerapan uang pangkal, namun akan diterapkan sumbangan tidak wajib, yang akan dibayarkan ketika mahasiswa sudah masuk UGM. Keempat, UGM mengizinkan kegiatan diskusi ilmiah apapun dari golongan apapun, dengan catatan bahwa penyelenggara harus bertanggung jawab menaati peraturan yang terkait jati diri UGM. Kelima, UGM akan menyediakan health center dengan psikolog di setiap fakultas pada tahun 2020. Keenam, UGM akan melegalkan Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) dari daerah manapun yang ada di UGM. Ketujuh, akan ada surat persetujuan bahwa UGM hanya akan menggunakan data-data mahasiswa untuk kepentingan akademik yang diberikan saat awal perkuliahan. Aksi diakhiri dengan penandatanganan hasil konsolidasi di atas kertas yang telah disetujui dan ditandatangani oleh Wakil Rektor, Djagal Wiseso. Dokumentasi dilakukan bersama Aliansi Mahasiswa UGM sebagai bukti agar kelak ketika jatuh tenggat waktu, Aliansi Mahasiswa UGM dapat kembali menagih janji dari pihak Rektorat.
Penulis : Naufal Ridhwan Aly dan Bangkit Adhi Wiguna (Magang)
Penyunting : Deatry Kharisma Karim