
©Deardra/Bal
“Demi uang, segalanya halal.”
Kau tak akan pernah menduga bahwa zaman bisa jadi sangat busuk. Bahkan hatimu yang busuk masih kalah busuk. Kau sangat mual pada satu zaman. Zaman busuk.
Semua bekerja, bekerja dan bekerja. Demi kerja “sikel dinggo endas, endas dinggo sikel” (kaki buat kepala, kepala buat kaki). Lihat! Orang berjalan melompat-lompat dengan kepala. Seperti kelinci dan kakinya yang di atas itu seperti telinga kelinci. Kopat-kapit kanan-kiri. Lihat yang itu! Pria paruh baya dengan tas ransel digendong di depan perut. Melompat-lompat dengan kepalanya. Ih, seperti kanguru begitu! Bekerja di mana ia? Kantorankah? Aih, buruh pabrik mungkin? Bukan, bukan! Sepertinya pegawai bank, mungkin?
Kau dan anakmu baru tiba di zaman ini tadi pagi. Dan betapa kagetnya mendapati kenyataan bahwa kau dan anakmu baru bangun dari tidur 700 tahun. Anakmu, masih anakmu yang sama. Bocah laki 10 tahun. Dan dirimu masih 35 tahun.
***
Yang kau ingat dari masa lalumu adalah kau hendak menidurkan anakmu. Kau mendongengkan cerita pengantar tidur. Malam itu kau sangat capek. Terlalu lelah usai bekerja seharian. Tapi anakmu menuntut melulu maunya. “Cerita, Papa! Cerita! Dongeng, Papa! Dongeng!” seru anakmu menggelendot pada lenganmu di atas ranjang. Sebentar-sebentar kau menguap. Kantuk merusak mata. Namun, kasihmu pada bocah 10 tahun itu tak bisa padam oleh apa pun. Tidak oleh lelah. Tidak oleh kantuk. Tidak oleh apa pun. Tidak!
Moyangmu yang Jawa dan Melayu itu punya ribuan dongeng dan hikayat. Namun kau tidak banyak tahu. Sempat terbit pikiran hendak pergi ke toko buku atau perpustakaan untuk mendapatkan secuil dari yang ribuan itu. Namun kerja tak memungkinkan.
“Sudah, Papa! Sudah!” anakmu memprotes karena kau mengulang-ngulang cerita yang sama. Lalu kau mengambil cerita dari tanah kelahiran mendiang istrimu, Eropa. “Jangan itu, Papa! Jangan lagi!”
Kau pandangi wajah bocah 10 tahun itu. “Anak cerdas!” katamu sambil mengusap kepalanya untuk menenangkan protesnya. “Terima kasih, Papa!”
Kau pergi ke kamar kerjamu. Menuju rak penyimpanan buku. Bolak-balik, pilah-pilih dan kau baru sadar bahwa malam telah menghabiskan koleksi cerita untuk anakmu. Sejak anakmu lima setengah tahun kau memulai bercerita. Dan pantas memang jika habis bahan cerita. Namun kau juga kagum pada ingatan anakmu.
“Jangan lama, Papa! Jangan!” dan kau asal menyambar sebuah buku. Judulnya pun tak sempat kau baca. Dalam hati kau sudah berniat membikin cerita serampangan saja. Sedapatnya kau ambil dari angan-anganmu saja.
“Buku apa, Papa?” pertanyaan anakmu mengagetkan. Kau mengambil buku itu dalam keadaan terbalik. “Eeeehm… bukuuu… zaman edan,” katamu menerangkan sembari membaliknya. Matamu terbelalak kaget. Bocahmu tak kurang kaget. “Tak cuma manusia saja yang bisa edan ya, Papa? Zaman juga bisa edan?” Kau cuma mendeham tanpa menjawab tanya.
Malam hening dan kau membuka-buka halaman demi halaman untuk membaca sekilas isi buku itu. “Ayo mulai, Papa! Bercerita! Jangan lama, Papa! Jangan!” anakmu kembali memprotes. Anakmu memang suka memprotes dan kau juga suka jika anakmu memprotes. Itu membuatmu sadar akan hal-hal yang musti kau lakukan. Tidak mudah memang membesarkan anak seorang diri.
Protes anakmu selalu kau anggap sebagai masukan yang dibisikkan oleh mendiang istrimu ke dalam dada anakmu. Hingga setiap protes anakmu selalu kau hadapi dengan senyum. Meskipun terkadang protes itu berupa rengekan dan tangisan. Suatu waktu anakmu memprotes caramu menjemur baju. “Kenapa tidak dibalik, Papa! Matahari jahat, Papa! Yuk pindah, ayuk!” Seketika kau ingat bagaimana istrimu mengajari menjemur. Pakaian jenis ini memang tidak boleh dijemur langsung di bawah sinar matahari. Diangin-anginkan saja. Baju juga musti dibalik supaya warnanya tidak pudar. Dan segala protes anakmu selalu kau lihat bahwa mendiang istrimu selalu turut menyertai membesarkannya.
Atau suatu waktu ketika kau membikin sarapan nasi goreng, tiba-tiba anakmu memprotes. “Ayuk, Papa! Nasinya, Papa! Jangan lama, Papa! Masukkan!” Dan kau teringat bahwa jika aroma bumbu mulai tercium wangi maka itu saatnya nasi harus segera dimasukkan ke dalam penggorengan. Dalam hati kau semakin mengimani bahwa cinta punya banyak cara untuk berkomunikasi. Saat itu kau tidak merasa sendiri lagi. Suatu waktu mendiang istrimu akan kembali bersamamu.
Malam hening dan kau masih membaca halaman demi halaman. Tiba-tiba cubitan di lengan kananmu menyadarkan keasyikanmu. Anakmu memasang wajah memberengut. Dan kau kembali pada tugasmu.
“Papa mulai, ya? Sudah siap, sayang?” Anakmu tersenyum manis dan kau menaikkan selimutnya. Dalam sepersekian detik otakmu harus berpikir keras tentang cerita yang akan kau bikin. Buku dalam genggamanmu sama sekali tidak membantu, karena isinya tidak sesuai untuk usia anakmu. Berpikir, berpikir dan berpikir. Tapi otakmu tetap buntu. Iiihhhh … dalam hati kau menggeram meminta otak sendiri segera bekerja. “Zaman edan, Papa! Ayuk cerita seperti apa zaman edan itu, Papa!”
“Zaman edan itu tidak ada topi.”
“Kenapa tidak ada, Papa?”
“Karena semua orang berdiri terbalik. Kakinya di atas dan kepalanya di bawah. Kepala mereka sangat lentur namun kuat. Sedang lehernya sangat keras dan kuat. Mereka berjalan dan berlari dengan melompat-lompat menggunakan kepala dan otot lehernya. Kemudian di suatu tempat di pinggir jalan taman kota, angin berhembus kencang dan menerbangkan sebuah benda. Orang-orang mulai mendekati benda itu. Awalnya dua orang saja. Kemudian bertambah dan bertambah hingga membentuk kerumunan. Benda itu adalah topi. Seorang pemuda mengambil dan mencoba mengenakan di kepalanya yang terbalik. Namun begitu berjalan topi terjatuh ke tanah pada lompatan pertama. Orang yang lain lagi merebut dan mengenakannya di kakinya yang di atas. Topi bergoyang-goyang dan langsung lepas saat dikenakan di kaki. Orang lain lagi turut mencoba. Mengenakan di siku tangan. Lalu melepas dan menggantinya di pantat. Dilepas lagi dan dikenakan di bagian tubuh yang lain. Tak ada bagian tubuh yang nyaman dan pas,” kau sejenak menghentikan cerita. Kau sedikit heran dengan anakmu yang begitu cepat terlelap. Nafasnya begitu teratur. Dan kantuk tiba seperti tsunami menenggelamkan matamu. Kau menguap beberapa kali. Membetulkan selimut anakmu, lalu berbaring di samping anakmu. Kau menyebut nama Tuhan beberapa kali sebelum akhirnya kantuk mengalahkanmu.
***
Semua yang kau saksikan kini serupa dengan cerita rekaan yang kau ambil serampangan dari alam khayal pikiranmu sendiri. Rasanya baru tadi malam kau selesai membikin cerita pengantar tidur untuk bocahmu. Namun teriknya siang ini adalah nyata. Anakmu yang mendadak minta gendong adalah nyata. Dan ketika kau mencubit keras-keras pipi kirimu semakin membikin yakin bahwa semua ini nyata.
“Pak! Pak! Anda ini manusiakah? Kenapa anda berdiri dengan kaki? Apa tidak sakit?” tanya seseorang. Orang-orang mulai berkerumun memperhatikanmu. Anakmu mulai ketakutan dan minta gendong. Semua mata menusuk pandang aneh padamu. Kau merasa begitu asing. Seseorang mencoba mengikutimu berdiri dengan kaki. Sambil terkekeh-kekeh dengan gaya mengolok-olok lalu terjatuh dan kembali berdiri dengan kepalanya. Semua orang dalam kerumunan melakukan hal serupa. Kau mulai merasa jengah dengan olok-olokan itu. Kau mengambil topi dan mengenakannya di kepala lalu beranjak meninggalkan kerumunan. Orang-orang dari kerumunan itu meneriakkan tanya: “Hei, orang aneh? Di manakah topi selayaknya dikenakan?”
Kau berjalan dan terus berjalan. Membenahi pikiran sendiri.
Klaten, Bulan Sembilan, 2017.
Achmad Taufik Budi Kusumah
atau dengan nama pena Kunglhe Fhreya lahir di Klaten, 28 Agustus 1987. Ia bekerja sebagai guru SDN Kadirejo yang suka menulis puisi, cerpen, esai, cerita anak, dongeng dan novel. Dua buku kumpulan puisinya berjudul ‘Hati’ dan ‘Cinta & Konyol’ diterbitkan cetak maupun digital di www.bitread.co.id. Beberapa cerpennya tersiar di surat kabar Joglosemar, Solopos, Banjarmasin Post, Radar Banyuwangi, Koran Haluan, penfighters.com. Dongengnya tergabung bersama penulis lainnya dalam antologi ‘Dongeng Fabel 2019’ terbitan sippublishing.
1 komentar
Suka bacanya. Idenya menarik.