Massa aksi ramai-ramai mengikuti mobil bak. Tiap orator yang berada di atas mobil bak selesai berorasi, terlihat massa aksi mengangkat poster-poster yang mereka pegang. āReformasi Dikorupsiā, āBangun Persatuan Rakyat Hancurkan Kapitalismeā merupakan poster-poster yang mewarnai aksi longmars dari Bundaran UGM sampai Tugu Yogyakarta pada Senin (28-10). Bertajuk āKarnaval Demokrasi dan Panggung Rakyat Aliansi Rakyat Bergerakā, longmars diselenggarakan oleh perwakilan-perwakilan dari Universitas Islam Indonesia, Alma Ata, Aliansi Mahasiswa Papua, Massa Perwakilan UGM, Lingkar Studi Sosialis dan aliansi-aliansi lainnya yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak.
Salah seorang panitia yang tidak mau disebut namanya menyatakan bahwa diselenggarakannya aksi bertepatan dengan hari sumpah pemuda bukan hanya perkara simbolis. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga latar belakang hari sumpah pemuda dijadikan aksi. Pertama, untuk memperingati hari sumpah pemuda. Kedua, untuk merespon aksi yang dilakukan oleh Suara Nasional. Ketiga, untuk merespon situasi yang ada di Yogya. āKeadaan Yogya seperti baik-baik saja, namun kami menyadari bahwa masih banyak penindasan oleh elite politik kepada rakyat, seperti represi kepada aktivis dan UU Pertanahan yang merugikan rakyat,ā ujarnya.
Aksi tersebut diwarnai oleh berbagai tuntutan. Berdasarkan siaran pers, terdapat sepuluh tuntutan dalam longmars tersebut. Pertama, mendesak penghentian segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat. Kedua, mendesak pemerintah untuk menarik seluruh komponen militer, mengusut tuntas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta membuka ruang demokrasi seluas-luasnya di Papua. Ketiga, mendesak pemerintah pusat untuk segera menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban, menangkap dan mengadili korporasi pembakar hutan, serta mencabut Hak Guna Usaha dan menghentikan pemberian izin baru bagi perusahaan besar perkebunan. Keempat, mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU KPK dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Kelima, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Keenam, merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP dan meninjau ulang pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil. Ketujuh, menolak RUU Pertanahan, Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan versi pengusaha, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan RUU Minerba. Kedelapan, mendesak penuntasan kasus pelanggaran HAM serta adili penjahat HAM. Kesembilan, mendesak penyelenggaraan pendidikan gratis, demokratis, kritis, dan humanis.
Lebih lanjut, siaran pers menjelaskan bahwa tuntutan tersebut bersumber dari sikap pemerintah yang membuat kebijakan untuk memudahkan akses kepada investasi asing. Alhasil, perlawanan-perlawanan rakyat dalam menolak investor tersebut seringkali dihadapkan pada banyaknya upaya kriminalisasi, tindakan represif hingga pembunuhan oleh polisi juga tentara.
Berangkat dari hal tersebut, Aldi yang merupakan salah seorang panitia aksi pun menjelaskan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk mosi tidak percaya kepada elit politik. Ia menambahkan bahwa selama Presiden Joko Widodo berkuasa, kebijakannya yang menindas rakyat tidak pernah dikritik oleh pihak oposisi. āMaka dari itu, pernyataan mosi tidak percaya pun menjadi penting sebab saat ini mereka telah bersatu membentuk sebuah oligarki,ā jelas Aldi.
Terkait dengan hadirnya oligarki tersebut turut ditanggapi oleh Naliendra, Humas Aliansi Rakyat Bergerak. Ia menjelaskan bahwa kelas buruh dan rakyat tertindas perlu melakukan perlawanan terhadap oligarki tersebut. āMeski begitu, kami harus dapat mengedukasi dan membagi keresahan terhadap masyarakat luas, dan hal tersebut kami lakukan dengan mengadakan aksi longmars,ā tukasnya.
Nailendra kemudian menyatakan bahwa aksi longmars ini juga merupakan reaksi dari tidak adanya tanggapan berarti dari pemerintah terkait dengan tuntutan yang dibawa pada aksi sebelumnya, seperti Gejayan Memanggil. āApabila hal ini terus berlanjut, kami akan terus melakukan perlawanan sampai mendapat respon berarti dari pemerintah,ā pungkasnya.
Penulis: M Affan Asyraf dan Dina Oktaferia (Magang)
Penyunting: M. Fadhilah Pradana