Rabu (18-09), puluhan massa menyuarakan aksi di kawasan Tugu Yogyakarta. Aksi ditujukan untuk merespon upaya kriminalisasi oleh pemerintah Indonesia terhadap aktivis yang memperjuangkan isu Papua. Berdiri atas dasar mendukung demokrasi dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), sejumlah mahasiswa yang berasal dari universitas di Yogyakarta mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Solidaritas Demokrasi untuk Rakyat (Solider). Mereka menuntut adanya pembebasan aktivis-aktivis yang ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai persatuan bangsa Indonesia.
Selain penangkapan tersebut, Solider juga menganggap pemerintah melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap aktivis-aktivis Papua. Termasuk penangkapan secara paksa yang sebenarnya tidak cukup bukti. “Bahkan untuk dilakukan penangkapan dan proses penahanan buktinya tidak kuat,” jelas Reyhan Ibrahim, Koordinator Aksi sore itu.
Rangkaian penangkapan kedelapan aktivis oleh aparat kepolisian terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Bermula dari Jumat (30-08), polisi menangkap empat mahasiswa Papua, Charles Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius M dan Issay Wenda. Sehari setelahnya, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua Surya Anta ditangkap polisi di Plaza Indonesia. Lalu di malam yang sama, tiga mahasiswi Papua asal Kabupaten Nduga, Naliana Wasiangge, Ariana Lokbere, dan Norince Kogoya ditangkap oleh polisi dan tentara di Jakarta. Keesokan harinya, mereka ditahan dan diperiksa oleh kepolisian. Kemudian, dua mahasiswa Papua dibebaskan karena dianggap salah tangkap. Namun, enam orang lainnya, termasuk Surya Anta, ditetapkan sebagai tersangka tindakan makar dengan dijerat pasal 106 dan 110 KUHP.
Selang tiga hari kemudian, Polda Jawa Timur menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka. Pengacara HAM yang selama ini membela hak-hak gerakan sosial Papua tersebut dinyatakan bersalah atas aktivitasnya menyebarkan informasi melalui Twitter. Informasi tersebut berkaitan dengan isu Papua yang kemudian dianggap sebagai tindakan provokasi dan makar. Kini, kepolisian sedang bekerja sama dengan pihak Badan Intelejen Negara dan Interpol untuk memburu Veronica yang dikabarkan tengah berada di luar negeri.
Reyhan menganggap hal-hal tersebut mencederai nilai-nilai demokrasi. Padahal, nilai-nilai demokrasi termasuk dalam amanah besar dari instrumen HAM, dan UUD. Lebih lanjut, Dia mengungkapkan bahwa, mereka yang memperjuangkan isu Papua dan membela HAM justru mendapatkan tindakan diskriminasi dari aparat kepolisian sampai hari ini. Reyhan juga menuturkan bahwa Polisi melakukan tindakan secara intimidatif dengan pendekatan-pendekatan militer. Menurut Reyhan, hal tersebut bukanlah tindakan yang diinginkan oleh masyarakat. “Perlu jalur-jalur dialog dan lain sebagainya yang harus ditempuh terlebih dahulu,” imbuh Reyhan.
Diungkapkan oleh Rico Tude, Negosiator Aksi bahwa kriminalisasi ini menjadi pola dari rezim untuk mengekang atau bahkan memukul mundur gerakan rakyat. Dia menambahkan, gerakan rakyat tersebut bukan hanya perjuangan mendukung Papua, tetapi juga memperjuangkan kebebasan demokrasi, kebebasan berpendapat, dan pengungkapan ekspresi politik. Meskipun begitu, Solider meyakini bahwa konstitusi dan peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya sudah menghormati dan melindungi hak-hak dan kebebasan asasi tersebut.
Oleh karena itu, Solider menyuarakan aksi mereka dalam tiga poin tuntutan. Pertama, menyuarakan kepada kawan-kawan di seluruh pelosok negeri untuk berjuang bersama merapatkan barisan. Hal tersebut sebagai upaya merebut kembali hak-hak dan kemerdekaan untuk berkumpul dan berunjuk rasa serta memperoleh informasi yang kini diserang dan dirampas secara tidak sah. Kedua, menuntut aparat kepolisian dan pemerintah untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalitas dan persekusi terhadap kawan-kawan mahasiswa Papua. Juga segera membebaskan Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Bucthar Tabuni, Ambrosius Mulait, Christopher, dan lainnya. Ketiga, Solider meminta pemerintah untuk mencabut segala sangkaan dan tuduhan tanpa dasar terhadap pengacara HAM, Veronica Koman.
Penulis: Anis Nurul dan Afifah Fauziah
Penyunting: Ayu Nurfaizah