Kerajaan Mimpi
Istana kaca air mengalir di bawah alam sadar
Memahkotai kepalaku dan kepalamu
Memerintah sebuah negeri kebahagiaan
Pada lanskap itu
Di sana kita membangun menara pandang
Setinggi langit
Meneroka pagi dan burung-burung
Memetik tangkai senja dari pohonnya
Menyalakan rembulan
Meneguk bintang-bintang
Dan gelas-gelas kristal
Berdenting ramai seperti riuh rindu
Masuk ke dalam daging anggur
Dan apel merah
Matahari yang tergenang di kolam kaca
Biarkanlah, ia santapan terlezat
Ikan-ikan yang berenang
Aku hanya meminta satu saja
Jangan kau mangsa mimpiku
Indramayu, 2018
Panen Puisi Â
Kita akan berjalan membaca rumpun padi
Merunduk di hamparan kata-kata
Biji-biji puisi bunting
Padat seperti betis gadis
Dari sudut sunyi kita memetik
Momen-momen puitik
Butir-butir imaji melimpah
Jerami diksi dimakan sapi
Puisi-puisi menguning. Ini musim
Panen puisi
Petani adalah penyair. Memanen puisi
Berhimpun dalam sebuah antologi
Indramayu, 2018
Ada Salju
Tiba-tiba di sini ada salju
Turun membeku di antara percakapan
Si sulung matahari mengunci diri di kamar
Memotong kuku yang mencakar panas
Adiknya si rembulan sibuk berhias
Di depan cermin tersenyum-senyum
Kita berdua bermain bola salju
Aku tahu di bawah pokok batang
—liang hibenasi—ada keluarga tupai
Kelinci ataupun rakun mapache
Tentu mereka sedang memeluk musim dingin
Pohon, bangku taman, jalanan beraspal
Atap-atap rumah adalah padang rumput putih
Bahkan juga rambut-rambut di kepala
Indramayu, 2018
Manik-manik Hujan
Aku telah lama menanti hujan turun
Pagi ini kau membangunkanku
Bunyi guntur mengepung telinga
Hujan turun di matamu
Tapi kau menjadi bayang-bayang
Hanya bayang-bayang
Sebuah kenangan mengalir
Menggenang di kebun melon kamarku
Kususun dalam sebuah kesatuan
Menjadi manik-manik hujan
Hari pun kuyup terajut mata basah
Begitu banyak hujan
Aku jadi membencinya
Bagaimana menghentikan curahnya?
Aku kemudian belajar mencintai hujan
Menyayangi gerimis
Dan mulai merindukan bunyinya
Dingin, segelas embun, selimut tebal. Memberi kenyamanan
Betapa aku bahagia tanpa duka dan jeritan
Indramayu, 2018
Bus Kota
Aku duduk di jok belakang
Seperti memutar kenangan di bus kota ini
Warna kelabu joknya pernah kita rusak
Demi menuliskan nama: aku dan kau
Dalam lingkar berbentuk hati
Kita berdua tertawa tak kenal dosa
Jalanan memberi ingatan
Pada cita-cita lama
Plang-plang keinginan
Sebelum berhenti di lampu merah
Tak pernah berganti warna
“Ke mana Pak?” tanya kondektur.
“Ke jalan muda,” ucapku penuh harap
“Maaf, sudah terlewat jauh, bus tak bisa
Balik arah” jawabnya menyedihkan.
Aih, waktu telah merampas masa muda itu
Aku tercenung melihat di depan sana
Tertulis nama bandara
Haruskah aku tebang? Ke mana?
Barangkali kenangan itu yang harus diberangkatkan
Pergi menjauhiku
Indramayu, 2018
Faris Al Faisal
Lahir dan tinggal Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Forum Masyarakat Sastra Indramayu (FORMASI). Menulis fiksi dan non fiksi. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), Novelet Bingkai Perjalanan LovRinz Publishing (2018), dan Antologi Puisi Dari Lubuk Cimanuk Ke Muara Kerinduan Ke Laut Impian Rumah Pustaka (2018). Sedangkan karya non fiksinya yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).