“Revolusi! Revolusi! Revolusi!” Kata itu berulang-ulang digaungkan selama massa aksi melakukan longmars pada Senin (30-09) dalam rangka aksi #GejayanMemanggil2. Massa aksi tersebut berangkat dari dua titik kumpul, yakni Bundaran UGM dan UIN Sunan Kalijaga, kemudian melakukan longmars menuju Jalan Affandi, Yogyakarta. Para peserta aksi berasal dari kelompok mahasiswa dan pelajar.
Berdasarkan Rilis Sikap dan Kajian Aliansi Rakyat Bergerak, aksi itu dilakukan sebagai pernyataan sikap atas permasalahan mengenai KPK, Undang-Undang Pertanahan, dan militerisme di Papua. Tidak hanya itu, mereka juga menuntut pertanggungjawaban atas tindakan pelanggaran HAM yang ada dan kasus pembakaran hutan di Indonesia. Hal mendesak lainnya yang adalah penangkapan aktivis prodemokrasi, perlakukan represif aparat negara terhadap massa aksi dan petani penolak korporasi, revisi UU Minerba, dan permasalahan dalam RKUHP.
Massa Pelajar dan Mahasiswa di Bundaran UGM
Massa gabungan terdiri atas mahasiswa UGM, Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (Unisa), UMY, Amikom, dan beberapa kelompok LSM seperti Social Movement Institute, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan lain-lain. Selain itu, adanya keterlibatan pelajar Jogja membuat aksi kali ini berbeda dengan aksi yang pertama pada 23 September lalu. Massa aksi dari kelompok pelajar telah memadati titik kumpul Bundaran UGM sejak pukul 11.40 siang.
Berangkat lebih dahulu daripada kelompok mahasiswa, kelompok pelajar memulai longmars pada pukul 12.30 dengan massa aksi mahasiswa menyusul di belakangnya. Berulang-ulang, para peserta aksi melanjutkan jalan sembari meneriakkan, “RUU PKS, sahkan, RUU PKS, sahkan, RUU PKS, sahkan!”
“Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar,” petikan lagu “Darah Juang” juga dinyanyikan oleh massa aksi mahasiswa ketika longmars menuju Jalan Affandi, Gejayan. Sementara itu, tampak beberapa anggota polisi berjaga di beberapa titik untuk mengatur lalu lintas. Selama longmars berlangsung, seluruh massa aksi tetap kooperatif dengan memberi jalan kepada pengguna jalan, khususnya ambulans.
Baiq Maulina, mahasiswa Unisa, menyampaikan orasi selama longmars. Ia menyampaikan keresahan atas ketidakbebasan yang sedang terjadi. “Jangan mau terkungkung dalam peraturan, tapi cari jati diri kita!” seru Baiq. Selama massa aksi melakukan longmars, tampak beberapa polisi berjaga dan mengatur lintas laju kendaraan.
Momentum aksi ini juga melibatkan masyarakat sekitar. Salah satunya Warni, seorang pemungut sampah, yang mengatakan bahwa selama ini ia tidak merasa dilindungi oleh negara. Padahal, lanjutnya, terdapat undang-undang yang menyatakan bahwa fakir miskin dan gelandangan dilindungi oleh negara. “Untuk itu saya menolak adanya RUU KUHP, sebab RUU tersebut menampilkan bahwa negara lepas tangan dari kewajibannya sebagai pelindung fakir miskin dan gelandangan,” ujarnya.
Ratusan Peserta Aksi di UIN Sunan Kalijaga
Terhitung sejak pukul 10.30, ratusan mahasiswa dan pelajar telah memadati titik kumpul di UIN Sunan Kalijaga. Hingga pukul 12.30, terkumpullah massa aksi dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Universitas Widya Mataram, Universitas Atma Jaya, Universitas PGRI Yogyakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan. Selain itu, tergabung pula massa aksi pelajar dari SMK Muhammadiyah Prambanan, SMK Negeri 3 Bantul, dan kumpulan siswa-siswa STM Yogyakarta. Mereka melakukan longmars menuju Gejayan pada pukul 12.40.
Melihat banyaknya mahasiswa dan pelajar yang mengikuti longmars, Amir, polisi dari Polisi Sektor (Polsek) Depok Barat, mengatakan perlu adanya antisipasi. Amir memberi keterangan bahwa 119 polisi telah dikerahkan dari Polsek Depok Barat untuk mengawal mahasiswa dan pelajar di titik kumpul UIN Sunan Kalijaga. “Hal ini dilakukan untuk menghindari penyusup,” tambah Amir.
Poster-poster bertuliskan, “Kami Diam, Kami Diserang; Kami Melawan, Kami yang Disalahkan”; “Hentikan Diskriminasi terhadap Aktivis”; “DPR, Dewan Pancen Remuk, Dewan Perwakilan ‘Ra nggenah”, meramaikan berlangsungnya aksi. Sembari meneriakkan, “Revolusi! Revolusi! Revolusi!” mereka melanjutkan longmars menuju Gejayan. Massa aksi pun sampai di depan gerbang Stasiun Televisi Radio Republik Indonesia pada pukul 13.40. Lagu “Darah Juang” juga dinyanyikan setiap massa berhenti untuk merapikan barisan.
Korlap dari Universitas PGRI Yogyakarta, Angga, mengatakan bahwa aksi ini sama efektifnya dengan aksi yang pertama. Namun, Angga menambahkan, massa yang dikerahkan untuk aksi yang kedua lebih sedikit. “Beberapa teman-teman dari BEM juga dikerahkan di Gedung DPRD DIY,” tambahnya. Angga juga mengatakan bahwa aksi #GejayanMemanggil2 kali ini dilakukan untuk menegaskan tuntutan dan menuntut keadilan bagi teman-teman mahasiswa yang menjadi korban.
Korlap dari Amikom Yogyakarta, Syarif, mengatakan bahwa pemerintah kurang tegas dalam membuat regulasi pertanahan. Ia juga menambahkan, pemerintah menjadi faktor terbesar dalam eksploitasi dan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. “Kebakaran hutan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya, ‘kan?” tegasnya.
Cia, mahasiswa dari Universitas Sanata Dharma, dalam orasinya, mengatakan bahwa rakyat harus bersatu untuk melawan rezim. Ia juga mengkritisi pasal 419 ayat (1) yang terdapat dalam RKUHP, yakni, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Ia juga menambahkan bahwa perempuan harus dibebaskan dari represi yang menekan haknya. “Pada hari ini, saya berharap urusan privat tidak lagi diatur oleh negara!” teriak Cia.
Reporter: Anis Nurul Ngadzimah, Ayu Nurfaizah, Elvinda Farhaniyatus Saffana, Muhammad Fadhilah Pradana
Penulis: Rasya Swarnasta
Penyunting: Cintya Faliana Dewi