“Apa jadinya jika negara mulai mengatur ranah privat? Tirani!” teriak Prasakti Ramadhana, Dosen Fisipol UGM, ketika berorasi dalam aksi Gejayan Memanggil, Senin (23-09). Bertempat di Pertigaan Gejayan, perempuan yang akrab disapa Dhana tersebut selaku perwakilan feminis menyatakan dukungan penuh terhadap aksi ini. Menurutnya, pasal bermasalah dalam RKUHP dapat menjadi celah bagi negara untuk mengawasi dan membelenggu urusan pribadi warga negara.
Selain Dhana, hadir pula Ulya Niami Efrina Jamson, Dosen Fisipol UGM, yang berorasi di depan ribuan mahasiswa. Pipin, sapaan akrabnya, berorasi memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menyatakan tuntutannya agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dapat segera disahkan.
Sebagai aktivis perempuan, Pipin menjelaskan telah adanya proses kekerasan yang berlapis, yaitu pertama, tindak kekerasan itu sendiri. Kedua, adanya rape culture dan victim blaming yang justru menyalahkan pihak perempuan, bukan pemerkosanya. Namun, Pipin menekankan bahwa yang bisa menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, tetapi juga pada laki-laki. “Urgensi RUU PKS ini sebenarnya untuk merestorasi kemanusiaan secara umum,” imbuhnya. Pipin merasa, RUU PKS penting untuk mengembalikan harkat manusia yang menjadi korban kekerasan.
Proses kekerasan yang ketiga adalah buntunya jalan yang ditempuh para korban kekerasan ketika mengupayakan keadilan. “Ketika korban melaporkan pada aparat yang berwenang, mereka malah mendapat pertanyaan-pertanyaan yang semakin melukai,” tuturnya. Selain itu, Pipin mengungkapkan bahwa dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual sering buntu karena regulasi yang mentok. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya regulasi yang memberikan kepastian.
Meski demikian, Pipin mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada regulasi, seperti RUU PKS. Dia berpendapat bahwa RUU PKS hanya pintu masuk untuk mendapatkan keadilan. “Ketika pintunya saja tidak dibuka, bagaimana bisa kita memastikan ada keadilan sosial untuk korban kekerasan seksual?” serunya.
Oleh karena itu, Pipin menyatakan bahwa RUU PKS ini sangat penting sifatnya untuk memberikan penanganan terhadap kekerasan seksual. “Bullying, catcalling, maupun kekerasan verbal, dianggap kecil tapi terjadi setiap hari,” ungkapnya. Hal-hal kecil itulah yang kemudian diatur dalam RUU PKS. Keempat, Pipin juga mengungkapkan, bahwa perlu upaya lebih untuk menghapus kekerasan seksual cyber yang terjadi melalui RUU PKS ini.
Terkait aksi Gejayan Memanggil, meskipun beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta melarang aksi tersebut, Pipin dan Dhana membuktikan bahwa turun aksi adalah pilihannya pribadi. Terlepas dari himbauan kampus, Pipin mengutarakan bahwa warga negara yang hadir hari itu membuktikan bahwa supremasi sipil masih berjalan. “Karena sekali lagi, turun aksi ini adalah pilihan, apapun yang terjadi, kami di sini berusaha melindungi ruang demokrasi,” ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan, tidak membutuhkan undangan berstempel dari pihak otoritas manapun untuk ikut aksi. Mereka sendiri yang ingin menyuarakan kegelisahan atas segala permasalahan saat ini. “Yang bisa memanggil kita untuk ikut aksi adalah nalar kritis, nurani, dan kesadaran kita sebagai warga negara dan masyarakat yang ingin membuat perubahan,” pungkasnya.
“Selama keringat masih mengucur, maka biarkan demokrasi yang kering menjadi basah kembali,” seru Dhana menutup orasinya. Pipin pun menambahkan bahwa mahasiswa telah mengajarkan arti demokrasi melalui aksi tersebut. “Sejarah telah berulang, dan teman-teman yang mengukir sejarah hari ini,” teriaknya membuat massa aksi riuh ramai.
Reporter: Nadia Intan dan Anis Nurul
Penulis: Anis Nurul
Penyunting: Cintya Faliana