Film “Darah & Doa” ditayangkan sebagai film pembuka acara diskusi film berjudul “Potret Revolusi dalam Film-Film Awal Indonesia.” Diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Sejarah UGM pada Rabu (22-06) itu bertempat di Ruang Multimedia A201, Gedung A Fakultas Ilmu Budaya UGM. Uji Nugroho Winardi, selaku moderator memperkenalkan Budi Irawanto, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM sebagai narasumber pada diskusi sore itu.
Film “Darah & Doa” dipilih karena memang film tersebut dibuat sangat dekat dengan suasana revolusi pada tahun 1950 semasa awal Indonesia merdeka. Tidak hanya itu, bahkan hari pertama pengambilan adegan film tersebut juga ditetapkan sebagai hari film nasional. Dalam diskusi tersebut, Budi menuturkan bahwa penetapan hari film nasional dilihat dari aspek kewarganegaraan unsur film, seperti kru, produser, aktor, maupun perusahaan yang asli dari Indonesia. “Sebab ada juga film yang lahir pada tahun yang sama, namun karena salah satu kru kameranya orang Belanda, film tersebut dianggap batal sebagai film nasional,” ujar Budi.
Film tersebut bercerita tentang pasukan Divisi Siliwangi yang melakukan ekspedisi dari Yogyakarta menuju Jawa Barat. Dalam ekspedisi tersebut, terjalin hubungan antara tokoh utama, Kapten Sudarto, dengan beberapa gadis. Mulai dari gadis yang berdarah Indo-Jerman hingga seorang perawat militer di medan perang yang turut mengisi alur cerita film “Darah & Doa”. Romantisme tersebut kemudian dibalut dengan pandangan patriarki. “Kalau kita bicara perang, saya kira kalangan feminis menganggap perang itu tidak lebih dari tindakan agresif maskulin, laki-laki,” pungkas Budi.
Budi menganggap film “Darah & Doa” memposisikan perempuan sebagai objek yang dimarginalkan. Perempuan seperti hanya dijadikan sebagai objek hasrat romantik bagi laki-laki. “Kalau kita lihat dalam film tadi, misalnya satu istri, satu perawat militer, dan seorang Indo-Jerman menjadi hasrat romantik dari Sudarto,” tambahnya. Tak hanya itu, Budi mengungkapkan bahwa perempuan juga dianggap sebagai penggerogot disiplin tentara dan pencampak mantan pejuang yang hendak membuka lembaran baru.
Budi juga menuturkan bahwa selain perempuan, rakyat juga menjadi objek yang dimarginalkan dalam film “Darah & Doa”. Ia mengungkapkan bahwa narator dalam film tersebut sempat mengatakan mengenai lemahnya rakyat dan hanya menjadi beban bagi tentara. Selain itu, ujarnya, posisi rakyat dalam film tersebut pun seolah-olah sedemikian hina. “Hina sebab selalu dicurigai oleh militer yang menyangka bahwa diantara rakyat selalu ada pengkhianat,” tukas Budi.
Budi selanjutnya menjelaskan bahwa Usmar Ismail selaku sutradara sempat bekerja di Harian Tentara sebagai masyarakat sipil. “Selain itu, Usmar juga memiliki hubungan kedekatan bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara gagasan terhadap pemerintahan kala itu,” jelas Budi. Penjelasan ini sekaligus mengafirmasi bahwa militer Indonesia turut memberikan dukungan secara eksplisit.
Budi pun mengungkapkan bahwa meskipun film “Darah & Doa” mempunyai relasi dengan tentara, namun fenomena tentara yang hidup mewah karena korupsi tetap ditampilkan. Selain karakteristik tersebut, Budi menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik lain mengenai film yang lahir di era revolusi. Karakteristik tersebut diantaranya adalah, pertama, film selalu menguak konflik internal dalam tubuh republik. Kedua, terdapat ketidakpercayaan akan nasib keberlangsungan negara. Ketiga, menampilkan kesulitan mantan pejuang tentara dalam menyesuaikan diri di dalam masyarakat. “Tema semacam itulah yang tidak muncul pada film-film di masa Orde Baru, bahkan setelah reformasi pun tak ada,” tambahnya.
Wildhan Naufal selaku mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah UGM pun turut menanggapi bahwa film “Darah & Doa” menampakkan tendensi militeristis. Hal tersebut terlihat dari termarjinalkannya perempuan maupun rakyat dalam film. Film yang berdurasi dua jam tersebut juga dinilai terlalu berlebihan dalam menampilkan aksi-aksi militeristis. “Meski begitu, sisi humanis tentara seperti rasa terasing dari masyarakat tetap ditampilkan,” ujar Wildhan
Abdul Wahid, ketua Departemen Ilmu Sejarah UGM mengungkapkan bahwa tujuan acara tersebut adalah memberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam menggabungkan kemampuan teknologi (perfilman) dengan konten kesejarahan. Ia juga mengungkapkan bahwa film sebagai sumber sejarah merupakan media yang mampu menggambarkan potret budaya dalam era tertentu. “Sebab bila fenomena budaya yang terjadi dalam sebuah era tidak difilmkan, seakan-akan hal tersebut bukan suatu bagian masa lalu,” pungkas Wahid.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana dan Zarah Lyntang Astity
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih
1 komentar
Keren.