Pemanfaatan big data dan algoritma dalam tata kelola pemerintahan dan kebijakan secara bertahap mulai dipersiapkan oleh pemerintah. Akhir Juni lalu Presiden Joko Widodo meneken Perpres No. 39/2019 tentang Satu Data Indonesia. Sebelumnya pada 2018, pemerintah mengesahkan “Making Indonesia 4.0: Strategi RI Masuki Revolusi Industri Ke-4” yang memandu pengembangan industri agar berdaya saing di era disrupsi. Sejak 2016, pemerintah telah mempunyai Roadmap e-Government 2016-2019. Di tataran pelaksanaan, Bank Indonesia merupakan salah satu lembaga negara yang sedang menjalankan pilot project big data dan algoritma untuk membuat “proksi indikator ketenagakerjaan, prioritisas resiko sistemik, pemetaan perilaku, serta proyeksi aliran dana asing di pasar surat berharga negara”.
Bias Politik
Hanya saja, di tengah riuh rendah antusiasme pemerintah dan masyarakat menyambut era disrupsi, penerapan big data dan algoritma dalam tata kelola pemerintahan dan kebijakan sejatinya mengandung sejumlah resiko politik.
Paling fundamental, algoritma secara intrinsik mengandung bias politik. “Algorithms are opinions embedded in codes,” tegas Cathy O’Neil, penulis buku Weapon of Maths Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (2016). Opini-opini tersebut—seperti moral politik, konstruksi sosial, nilai, aspirasi kepentingan, prasangka pada ideologi tertentu—menjadi ruh dari cikal-bakal suatu rancangan algoritma. Meminjam bahasa Pram, “algoritma sudah bias sejak dari pikiran.”
O’Neil menganalogikan algoritma dengan memasak. Keduanya sama-sama memiliki komponen ‘definisi sukses’ dan ‘data’. Manakala opini yang dominan adalah hidup sehat, maka ‘definisi sukses’ memasak adalah makan menu sehat, berikut ‘data’ berupa ikan segar, sayuran organik, serta sedikit gula dan garam. Bila opini hidup tak sehat yang berkuasa, definisi sukses adalah makan enak, dan datanya berisi bahan-bahan yang memicu penyakit. Atau dalam analogi Gary King, tanpa ‘opini’ algoritma seperti mobil super canggih yang tak bergerak meskipun didesain bisa beroperasi tanpa sopir. Tapi dengan ‘opini’ jahat dari manusia yang diinputkan, mobil yang sama melarikan perampok bank dari kejaran polisi ke lokasi yang aman.
Karenanya, berpunggungan dengan keyakinan banyak orang, algoritma tak bisa menetralisir tendensi ketidakadilan seperti pemihakan suatu kebijakan pada kelas sosial tertentu, koalisi kepentingan dominan, atau suatu segmen populasi mayoritas. Algoritma yang online merefleksikan kenyataan hidup offline kita. Ketika menjadi bagian dari piranti pemerintahan, ia tak terhindar dari peran melayani kepentingan politik dari pihak-pihak yang memproduksi bias-bias diskriminatif dan memarjinalkan kelompok warga negara yang lemah secara politik.
Jika kemiskinan dianggap bersumber dari kemalasan individu maka algoritma kebijakan yang dilahirkan akan sibuk mencurigai dan menguji kelayakan seseorang mengakses program jaminan sosial. Si ‘pemalas’ ini akan dianggap bermaksud mengelabui negara sedemikian rupa demi dikategorikan layak. Sebaliknya, jika kemiskinan diyakini berhulu pada struktur politik dan ekonomi yang timpang, maka para pengambil kebijakan akan mendesain algoritma yang membantunya mencakup warga tanpa prasangka dalam skema jaminan sosial negara. Pendek kata, meski dibalut angka dan rumusan coding yang tampak netral, algoritma sesungguhnya tidaklah apolitis.
Parahnya, sebagai inovasi dalam mengolah dan menganalisis data yang sangat masif, algoritma beresiko memperluas cakupan dan kecepatan agenda-agenda politik yang bias tersebut. Dengan penyederhanaan di sana-sini, “kalkulus” pengambil kebijakan akan mengarahkan alokasi beban (kenaikan pajak, eksklusi dari layanan sosial, atau pemotongan bantuan) pada segmen populasi yang dikonstruksikan negatif oleh segmen masyarakat lain yang dominan, yang bukan merupakan basis elektoral penting bagi politisi, serta yang miskin sumberdaya dan kapasitas politiknya. Kebalikannya, berbagai manfaat kebijakan dialokasikan pada kelompok populasi yang dikonstruksikan serba positif, merupakan basis elektoral politisi, atau yang rentan menjadi pendukung oposisi politik.
Virginia Eubanks, dalam bukunya Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (2018), mengkonfirmasi kaitan konstruksi sosial atas kelompok masyarakat miskin dan marjinal di kalangan pengambil kebijakan dengan dampak buruk algoritma. Investigasinya dalam kasus hunian sosial di kota Los Angeles, jaminan kesehatan di Negara Bagian Indiana, dan perlindungan anak di Kota Pittsburgh menunjukkan betapa data mining dan analisis prediksi resiko telah menghambat warga negara mengakses pelayanan publik yang menjadi haknya. Konstruksi sosial yang dominan, bahwa orang miskin malas dan rentan melakukan tindak kriminal, termanifestasi dalam algoritma yang menghukum masyarakat miskin, kelas pekerja, warga minoritas, tuna wisma, serta kelompok marjinal lainnya dengan profiling (semisal, pemberian label sebagai sosok yang beresiko melakukan kejahatan dan kekerasan pada anak) sehingga harus diawasi secara ketat.
Selain dua resiko di atas, algoritma rentan dijadikan alat ‘politik berkelit’ oleh para pengambil kebijakan. Merujuk argumen O’Neill, dari sisi kultural, masyarakat kita gentar pada matermatika dan cenderung percaya dengan angka yang dihasilkannya. Tak banyak orang yang sedari kecil menyukai pelajaran berhitung atau yang melibatkan angka. Tak pelak, publik awam minder guna mempertanyakan suatu dampak kebijakan yang menimpanya. Sementara, dari sisi pengetahuan, algoritma berisi formulasi matematika level lanjut yang sukar dipahami orang kebanyakan. Jurang pengetahuan yang berada dalam konteks relasi politik yang timpang membuat ikhtiar transparansi gagal memberdayakan warga secara politik untuk menagih akuntabilitas. Ujung-ujungnya, ini semua memudahkan para pengambil kebijakan berkelit, dengan dalih bahwa suatu keputusan murni ditentukan oleh kerja algoritma dan tanpa campur tangan politik.
Di tambah lagi, keterbatasan pemerintah dalam penguasaan keahlian dan teknologi pada umumnya mengharuskan kontrak pengadaan barang dan jasa dengan pihak ketiga. Skema ini menambah kompleks rantai akuntabilitas. Pengambil kebijakan dapat pula mengelak dari tanggungjawab dengan menyalahkan kontraktor. Namun, atas nama melindungi hak cipta, kontraktor dapat dengan mudah menolak tuntutan publik untuk membuka akses data dan algoritmanya, semisal jika ada warga yang protes karena kehilangan akses dari suatu layanan program sosial.
Pemberdayaan Politik
Penggunaan big data dan algoritma dalam perumusan kebijakan publik dan tatakelola pemerintahan pada umumnya merupakan keniscayaan zaman. Dan penulis tidak dalam posisi menolak teknologi. Meskipun demikian, wacana manfaat algoritma perlu diimbangi dengan diskursus kritis atas bias-bias politik di baliknya. Sebab, mengikuti nalar P. Strach, dalam bukunya Hiding Politics in Plain Sight: Cause marketing, corporate influence, and breast cancer policymaking (2016), cara orang membicarakan dan menyikapi suatu isu kebijakan dibentuk oleh wacana yang dominan.
Studi klasik Nelson bisa kita pakai sebagai ilustrasi. Ia menunjukkan, tindakan kekerasan orang tua pada anak yang diwacanakan lebih sebagai ‘penyakit’ ketimbang kejahatan, telah sangat menentukan bagaimana publik dan pemerintah merespon masalah tersebut. Di ranah opini publik, masyarakat justru bersimpati pada orang tua yang menjadi pelaku. Lanskap expertise juga terkena dampaknya, di mana para kriminolog dipinggirkan, dan yang disebut sebagai ‘ahli’ oleh pengambil kebijakan, media dan masyarakat dalam isu ini adalah para para psikolog dan ahli pekerjaan sosial (social work). Di tataran politik, program dan anggaran juga ditujukan untuk menangani ‘penyakit’ yang diderita para orang tua.
Beberapa permasalahan ini mengingatkan bahwa perayaan manfaat dan optimisme yang lekat dengan big data dan algoritma kebijakan perlu diimbangi dengan sikap kehati-hatian. Sikap ini, pada gilirannya, diharapkan akan menyemai wacana lanjut yakni mitigasi atas dampak atau ekses negatif algoritma dan turunan aplikasinya. Munculnya berbagai dokumen roadmap pada periode pertama pemerintahan Jokowi patut kita apresiasi. Dan tentu saja logis jika kesinambungan berbagai dokumen roadmap serta pilot tersebut akan coba dijaga oleh Jokowi. Akan tetapi, yang tak kalah fundamental, pemerintahan Jokowi secara simultan wajib mengembangkan diskursus dan praktik pemanfaatan algoritma yang dilandasi visi pemberdayaan politik warga.
Menanam agenda pemberdayaan yang mewujud dalam turunan berbagai kebijakan dan program lima tahun mendatang sangatlah penting. Sebagaimana seruan E. E. Schattschneider bahwa “new policies create politics”, maka agenda pemberdayaan kita harapkan membangun-ulang (remake) politik dalam tatakelola pemanfaatan big data dan algoritma. Menurut Patashnik dan Zelizer, elemen-elemen dari bangun-ulang politik ini mencakup upaya (1) mobilisasi dukungan publik yang potensial menjadi ‘konstituen’ dari visi pemberdayaan ini, (2) membangun kongruensi kognitif antara elit politik dengan konstituen atas visi pemberdayaan, serta (3) ekspansi alternatif-alternatif kebijakan yang memitigasi dampak-dampak penerapan algoritma dalam kebijakan publik.
Pemerintah sebagai ‘panitia’ kehidupan bernegara tidak hanya butuh membangun dan menggunakan platform teknologi yang efektif dan efisien dalam memenuhi hak-hak warga negara. Melainkan juga, platform teknologi tersebut secara sedemikian rupa bisa memfasilitasi dan memberdayakan warga negara untuk memberikan umpan-balik, mengontrol jalannya pemerintahan, dan membuat politik senantiasa akuntabel.
Ashari Cahyo Edi
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan
FISIPOL UGM