Di tengah perjalanan, saya bertemu seorang yang mengaku malaikat.
âApakah kau sungguh-sungguh ingin bertobat?â tanyanya.
Saya tak menjawab. Saya mengambil sebilah parang yang selalu terselip di balik pinggang. Gegas, saya sabetkan parang itu ke arahnya. Tapi sial, parang itu seperti menembus kehampaan. Seperti menyambit bayang-bayang.
âAku âkan sudah bilang kepadamu. Aku adalah malaikat. Rupaku terbuat dari cahaya. Tidak bisa terluka dengan benda-benda kasat mata seperti senjatamu itu.â
Mimik wajahnya begitu terang. Parasnya sangat cerah. Tidak pernah saya lihat semacam itu sebelumnya. Saya belum pernah melihat secara langsung malaikatâmalaikat-malaikat di dalam buku cerita dan film picisan biasanya terbagi dua: makhluk dengan pencahayaan berlebih dan orang berjubah hitam pembawa gada. Makhluk di depan saya, tak terlihat seperti manusia, tapi saya tak begitu yakin juga ia seorang malaikat.
Saya baru saja akan menyabetkan parang sekali lagi ketika ia merenggut tangan saya. Kencang sekali. Seumpama jambretan pencopet paling mahir.
***
Ruangan ini gelap dan pengap. Dengkang katak dan dengkung anjing samar di kejauhan. Sebuah kasur lapuk dan lemari reyot melingkungiku. Di atas lemari sebuah jam dinding kuno menggantung bagai mayat kura-kura.
âKau masih ingat ini, âkan?â
Malaikat ituâanggap saja ia malaikat, setidaknya untuk sementaraâberdiri di sampingku.
Saya berusaha mencerna apa yang saya sedang dengar dan sedang lihat. Suara malaikat itu terdengar jernihâsepertinya ia tidak pernah menyantap makanan berminyak. Pemandangan di sekitarku pun tampak tidak asing. Saya rasa saya pernah melihat ini sebelumnya, meskipun ingatan saya masih rabun.
Sebuah tangan penuh sinarâtangan malaikat ituâmenyodorkan padaku bingkai foto. Foto seorang bayi merangkak dengan gelang plastik warna hijau di tangan kanan. Mata bayi itu sering saya temui di dalam cermin.
âSekarang kau sudah betul-betul ingat?â
Tidak saya tanggapi pertanyaan itu. Dari atas kasur, saya mendengar rintihan. Dua orang manusia sedang bergumul. Tanpa pakaian. Satu di antaranya, yang lelaki, bertubuh jauh lebih kurus. Ia berada di atas si perempuan. Saya membayangkan seekor kucing kampung kekurangan makan mengawini kucing Persia subur.
Dehaman saya terlampau keras, sehingga lelaki itu menengok. Matanya mirip mata bayi di dalam foto. Saya mengeluarkan parang dari balik pinggang. Tahu-tahu saja, kasur lapuk itu sudah basah dan lengket. Erangan panjang memecahkan kesunyian malam.
âItu kali pertama kau melakukannya,â kata si malaikat.
Ia kemudian menyeret saya ke luar, ke tempat lain. Hari rasanya berjalan sangat cepat. Sinar matahari jam dua belas menyengat jangat. Saya berada di area gundukan-gundukan tanah dengan pohon-pohon besar tumbuh di tiap sudut. Pemakaman.
âLihat nama pada nisan itu!â seru si malaikat, menunjuk sebuah makam tak berkeramik, yang tanahnya telah mengering.
âGondo bin Gondota. Lahir 13 Januari 1973. Wafat 24 Juni 2017.â
Saya baca tulisan pada nisan berdebu itu dengan perlahan. Dengan penuh ketabahan. Seolah-olah saya tak punya kaitan apa-apa dengan nama yang tertulis pada nisan.
Teringat nama, teringat peristiwa-peristiwa.
Dalam hidup saya, Gondo berpadanan dengan setan dan semacamnya. Nama itu yang mengajarkan saya mencuri uang di warung Bu Patmi, memalak anak-anak di pinggir jalan, membunuh anjing-anjing warga agar dagingnya dijual ke sebuah sekte pemakan anjing, membunuh kucing-kucing tetangga untuk kemudian dagingnya kami makan bila di rumah tiada lagi secuil makanan pun, dan membunuh manusia.
âParang ini kuberikan padamu, Gon. Kau bisa membunuh siapa saja dengan benda ini. Jaga ini dengan baik, Nak,â Gondo menyerahkannya kepada Gonâsayaâseperti seorang ayah menyerahkan mainan kepada anaknya.
Semenjak ditinggal mati istrinya tepat pada hari kelahiranku, Gondo memulai karir barunya. Sebelumnya ia buruh bangunan biasa yang lebih kerap menganggur di rumah atau main kartu di warung kopi daripada pergi bekerja. Pekerjaan barunya ituâsebagaimana pernah ia ceritakan padakuâbukan pekerjaan yang sulit. Ia hanya memerlukan sedikit nyali, sebuah benda tajam, dan sebatang leher. Seperti ini pekerjaanku untuk menghidupimu, Nak, kata Gondo suatu hari sambil memperagakan gerak memotong sebatang gedebog pisang kecil dengan parang mengilat-ngilat. Gedebok itu terbelah dua. Ia memperlihatkannya padaku. Jika gedebok ini leher manusia, hidupmu bisa terjamin, Nak, setidaknya kau tak perlu takut miskin, lanjut Gondo.
Entah berapa banyak sudah batang leher yang dicumbui parang Gondo. Tapi saya tak pernah betul-betul memercayainya soal tak perlu takut miskin. Kenyataannya dari dulu hingga usia saya belasan, Gondo masih saja melarat. Saya rasa ia beberapa kali mengantongi uang banyak, namun hanya dalam hitungan jam uang itu ludes di meja perjudian atau di arena sabung ayam. Ia seharusnya kaya raya semenjak lama, andaikata pola hidupnya tak sesetan itu.
âLihat pula makam-makam itu,â malaikat itu berucap lagi seraya mengedarkan jarinya yang bercahaya ke sejumlah makam.
Saya datangi satu-satu makam-makam yang ditunjuknya. Haji Ridwan, Juragan Sobin, Gatot Bandrex, Bos Besar, Rukinem Si Nyai. Tentu itu bukan nama mereka sebenarnya. Itu hanya julukan-julukan para penghuni makam tersebut sewaktu mereka hidup. Mereka mati di lokasi berbeda-beda, pada waktu berlainan. Namun, mereka semua sama-sama dimakamkan dengan tubuh dan kepala terpisah.
âTapi kau belum boleh menggunakan parang ini. Setidaknya sampai aku telah tiada di muka bumi.â
Saat pertama kali memegang parang itu dengan tangan ringkihku, saya sudah tak sabaran ingin secepatnya menggunakan benda itu sebagaimana Gondo menggunakannya. Namun Gondo melarangku. Ia juga bilang saya masih terlalu muda untuk menggunakannya. Saya kira usia tak ada hubungannya dengan parang. Beberapa hari sesudahnya Gondo mendekam di rumah. Ia baru menyelesaikan satu pekerjaannya. Uang di sakunya menumpuk. Kali itu ia tak pergi berjudi. Ia pergi ke rumah bordil lalu membawa seorang perempuan sintal gemuk ke rumah.
Pada tengah malam ketika Gondo dan perempuan gemuk itu ada di rumah, saya menggunakan parang pemberiannya untuk pertama kalinya.
Selewat malam itu, jeritan dan darah menjadi karib bagi telinga dan mata saya.
***
Semenjak Gondo tiada, sayalah yang menggantikan menuntaskan pekerjaannya. Mulanya bos-bos Gondo tak memercayai saya. Namun, begitu saya sebut siapa percobaan pertama saya, mereka mendelik takjub dan langsung memercayai saya.
Pekerjaan ini memperkenalkan saya pada beragam jenis orang dengan satu kesamaan: para pendendam. Dunia ini sangat luas dan padat. Di antara banyak orang yang memadatinya adalah orang-orang dengan bara api mendekam di dadanya.
Dunia baru ini membuat saya kenal dengan para petinggi perusahaan yang merasa tersaingi dengan petinggi perusahaan baru yang malah lebih maju dari perusahaan mereka; pemilik deretan kontrakan yang mendendam seorang juragan yang ketahuan berbuat seleweng dengan istrinya; seorang pejabat yang tak terima anaknya dilecehkan preman jalanan; mucikari yang kecewa pada seorang pelacurnya yang memutuskan berhenti bekerja padahal sedang laris-larisnya; hingga seorang ibu rumah tangga kaya raya yang membenci seorang haji karena telah membuat suaminya terbunuh dalam suatu kecelakaan.
Orang-orang menyebut dunia yang saya jalani sebagai dunia kelam. Tapi, bukankah dunia ini memang kelam? Mereka menyebut saya pendosa besar yang tak akan Tuhan ampuni. Tapi, bukankah Tuhan Maha Pengampun? Mereka menyebut saya manusia bejat dan tak punya nurani. Tapi, bukankah semua manusia akan bejat dan tak punya nurani pada waktunya?
Saya bukannya selalu aman dan bekerja dengan bersih. Dua kali saya tertangkap dan dipenjara. Namun, penahanan itu tak pernah berlangsung lama. Selain umur belia yang meringankan hukuman bagi saya, saya juga pandai berkelit dan memperdayaâdalam kehidupan yang semakin picik, kepandaian-kepandaian semacam itu sewaktu-waktu sangatlah penting adanya. Begitu saya meloloskan diri dari tahanan, polisi pun tak terlalu memedulikan dan mencari-cari saya. Saya bukan tergolong penjahat kelas kakap yang menjadi buronan nomor wahid. Tiap pekerjaan yang saya lakukan pun sebisa mungkin tak terlalu banyak menyisakan jejak dan bukti. Biasanya, para targetku baru ditemukan jasadnya beberapa hari setelah dinyatakan hilang.
Hanya setahun dan lima orang target berhasil saya tumpas, saya sudah merasa jenuh. Sebagaimana profesi-profesi lainnya, pekerjaanku ini juga dapat menimbulkan kejenuhan. Tidak seperti Gondo, saya pintar menyimpan uang. Saya membeli kendaraan, beberapa barang, dan bahkan menyewa tempat tinggal yang cukup mewah. Namun semuanya tak membebaskan saya dari kejemuan. Hingga suatu waktuâhal ini teramat jarang saya lakukanâsaya mendengarkan khotbah jumat. Pada pertengahan khotbahnya, sang khatib menceritakan tentang seorang lelaki pembunuh seratus nyawa yang bertobat dan tobatnya diterima oleh Tuhan. Sebagai bentuk tobatnya, lelaki itu pergi dari negerinya. Di tengah jalan, lelaki itu meninggal dunia. Lalu dua orang malaikat berselisih perihal jarak. Datanglah seorang malaikat penengah dan memutuskan bahwa lelaki itu lebih dekat kepada negeri tujuannya, negeri kebaikan.
***
Satu hari setelah mendengar khotbah tersebut saya pergi dari daerah saya tinggal menuju daerah yang saya harap lebih baik. Di tengah perjalanan, saya bertemu seorang yang mengaku malaikat. Ia membawa saya ke masa lalu, kemudian kembali ke masa kini, kemudian ia menghilang. Kilatannya yang silau memejamkan mata saya. Ketika saya membuka mata kembali, saya melihat api yang menyala-nyala dan kebun-kebun berbuah ranum. Ada Gondo di sebelah kiriâdalam kobaran apiâmembelalak ketakutan. Dan ada seorang perempuan berkudung putih di sebelah kananâduduk di bawah pohon berbuah segar dan berdaun lebat. Perempuan itu tersenyum menatapku. Saya seolah melihat wajah saya sendiri di wajah perempuan itu. (*)
Bekasi, Juli 2018
Erwin Setia
Lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bisa dihubungi melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.