Tercatat perokok aktif di Indonesia merupakan golongan yang tinggi. Data dari kajian Stratejik dan Global pusat jaminan nasional Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa perokok aktif sebanyak 33,03 persen ditempati oleh pemuda usia 18-24 tahun, 41,75 persen oleh usia 39 tahun dan perokok yang paling aktif adalah usia 25-38 tahun yang jumlahnya mencapai 44, 75 persen. Bukan tanpa alasan, mengingat harga rokok di Indonesia tergolong rendah serta terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah.
Perlu juga diketahui akibat dari paparan asap rokok mempunyai bahaya yang besar seperti stroke, jantung, hipertensi, diabetes, kanker dan penyakit yang lain. Bahaya inilah yang dapat meningkatkan beban kesehatan negara. Jaminan Kesehatan Nasional mengklaim bahwa di bulan Januari 2017, penyakit jantung menjadi penyakit yang paling banyak menghabiskan anggaran pengobatan dengan 6,9 triliun, kemudian disusul kanker 1,8 triliun, dan stroke 1,5 triliun. Bahaya inilah yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil kebijakan. Sebagai negara yang pernah terlilit masalah rokok ini, Filipina menerapkan sin tax sebagai alternatif pemecah kebuntuan.
Sin tax (pajak dosa) adalah bentuk cukai yang dikenakan pada barang atau jasa yang dianggap berbahaya bagi masyarakat. Dalam terminologi ekonomi modern pajak dosa adalah pajak per unit yang dibebankan pada penyedia produk, barang, dan jasa yang dianggap berbahaya bagi masyarakat (Williams & Christ, 2009). Penggunaan kata Sin Tax secara etimologi yaitu “sin” yang berarti dosa atau kesalahan dan “tax” yang berarti pajak. Barang berbahaya tersebut contohnya adalah rokok, minuman keras, minuman tambahan gula dan perjudian. Pajak ini mempunyai pengaruh besar dalam perekonomian negara karena pemerintah akan mendapatkan pajak tambahan. Hasil dari pajak tersebut bisa digunakan untuk menutupi konsumsi barang berbahaya. Bukan hanya itu, pengaruh positif dari pajak dosa juga memungkinkan pemerintah untuk dapat mengimplementasikan berbagai program, misalnya program-program sosialisasi mengenai bahaya rokok, program kesehatan dan lainnya.
Pajak dosa ini penting dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mencegah perilaku tidak sehat. Bukan hanya dalam konteks kesehatan, pajak ini juga mempunyai pengaruh dalam menutupi biaya kekurangan pendapatan. Sebagai negara yang sukses dalam menerapkan pajak ini, Filipina menjadi negara yang mempunyai pendapatan tambahan. Sejak diberlakukannya pajak dosa, keuangan negara sedikit meningkat dari tahun sebelumnya dan dari uang tersebut bisa digunakan untuk program kesehatan rakyat miskin dan hasilnya memuaskan, anggaran departemen kesehatan meningkat serta anggaran untuk orang miskin juga meningkat pesat.
Konsep dan keberhasilan dari aplikasi pajak dosa membuatnya dilihat sebagai kebijakan yang meyakinkan. Namun nyatanya, pajak dosa bukanlah obat tanpa efek samping. Masih banyak polemik yang muncul dalam aplikasi pajak dosa. Polemik yang ada tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari luar kendali pembuat kebijakan. Ditambah lagi, polemik yang sudah ada dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi secara keseluruhan. Akibatnya, pajak dosa relatif jarang digunakan secara global.
Pajak dosa yang secara resmi berlaku di Uni Emirat Arab (UEA) pada tanggal 01 Oktober 2017 tidak membuat warga UEA berhenti merokok. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh surat kabar The National menunjukkan bahwa harga rokok yang naik dua kali lipat tidak bisa menyebabkan mereka berhenti merokok, malah penggunaan medwakh rokok pipa khas Arab mengalami peningkatan yang berarti akan menyebabkan pemerintahan Arab akan kewalahan mengatasi permasalahan kesehatan sebab bahaya rokok pipa lebih berbahaya dari rokok biasa. Seorang pakar kesehatan mengatakan bahwa sekali hisap rokok medwakh setara dengan menghisap empat sampai lima batang rokok, mereka juga melihat bahwa para perokok harus dioperasi gara-gara menghisap rokok ini.
Di samping terdapat resiko tersebut, banyak ekonom dan pembuat kebijakan yang tidak menyetujui kebijakan ini karena sifatnya yang regresif. Dalam konteks kebijakan pajak, sifat regresif menandakan bahwa suatu kebijakan akan lebih membebani orang dengan pendapatan rendah. Lengkapnya, pajak rokok akan terasa lebih besar relatif dengan pendapatan total untuk orang dengan pendapatan berkisar 14 juta ke bawah menurut Bank Dunia per 1 Juli 2018. Sementara itu, hal yang sebaliknya berlaku untuk yang berpendapatan 54 sampai 169 juta rupiah. Mereka akan mendapatkan efek pajak yang relatif lebih kecil dibanding pendapatan mereka, dengan tingkat konsumsi yang sama. Sifat regresif pajak dosa ini muncul karena perilaku orang berpendapatan rendah dalam mengkonsumsi barang dosa itu sendiri.
Regresivitas muncul akibat pola konsumsi barang dosa yang lebih banyak. Mengambil rokok sebagai contoh, pernyataan ini konsisten dengan penelitian yang mengatakan di mana konsumsi rokok memiliki hubungan positif dengan tingkat stres dan tekanan batin (Metcalfe et al, 2003). Tekanan batin yang tinggi di kalangan orang berpendapatan rendah biasanya disebabkan dua faktor. Kedua faktor tersebut adalah lingkungan sekitar dan keterbatasan akibat kemiskinan. Keadaan ini menyebabkan orang berpendapatan rendah semakin menderita akibat beban pikirannya yang banyak. Untuk mengurangi beban tersebut, mereka pun mengalihkan konsumsinya ke barang “dosa” yang bersifat adiktif dan menenangkan. Walhasil, konsumsi barang dosa yang dilakukan mereka akan menjadi lebih banyak. Konsumsi yang banyak tersebut akan menyebabkan tingkat pajak yang dikenakan terhadap mereka menjadi relatif tinggi dibanding pendapatan mereka.
Dalam artikelnya, Hoffer mengatakan bahwa pajak terhadap barang “dosa” tertentu lebih membebani orang berpendapatan rendah karena mereka cenderung mengonsumsi barang tersebut lebih sering dan lebih banyak. Pernyataan ini didukung dengan penemuan bahwa rokok dapat berperan sebagai penghilang stres akibat keadaan sosial (Vogli dan Santinello, 2005). Selain itu, orang miskin juga cenderung mengutamakan kebiasaan tanpa memperhatikan akibatnya dibandingkan mengutamakan kesejahteraan dan tujuan jangka panjang (Haushofer dan Fehr, 2014). Semua ini mengarah ke fakta bahwa pajak dosa masih bersifat regresif pada orang berpendapatan rendah karena perilaku mereka sendiri.
Selain itu, pajak dosa juga cenderung dianggap sebagai salah satu bentuk restriksi berlebihan dari pemerintah yang bisa disebut paternalisme. Dilansir dari Situs Parlemen Australia, sifat paternalistik muncul karena pajak ini bersifat membatasi kebebasan berperilaku masyarakat. Pembatasan ini diberlakukan pemerintah untuk menjaga masyarakatnya dari bahaya tersembunyi dari hal yang dilarang. Namun, apakah sifat paternalistik selalu menjadi masalah dalam mengatur masyarakat? Paternalisme tetap menjadi sebuah kontroversi karena terkadang ada saat dimana kebijakan paternalistik menjadi sebuah keharusan, namun ada juga kondisi yang melarang kebijakan paternalistik (Sankowski, 1985).
Mayoritas literatur yang ada cenderung menyetujui sifat paternalistik pajak dosa. Pajak dosa bertujuan untuk membatasi diri pengguna dalam mengatur tingkat konsumsi melalui harga. Pajak itu harus diberlakukan karena itu baik untuk kesehatan pengguna dan orang disekitarnya (Nielsen dan Jensen, 2016). Konsumsi barang dosa harus diatur karena aktivitas tersebut dapat memberikan pengaruh negatif untuk si pengguna dan orang di sekitarnya. Misalnya, si pengguna dapat terkena penyakit akibat konsumsi rokok yang berlebihan. Sementara itu, orang di sekitar pengguna akan terpapar oleh efek yang disebut eksternalitas.
Eksternalitas adalah efek yang mempengaruhi masyarakat akibat perilaku individu yang terpisah. Eksternalitas bisa datang dalam bentuk berupa efek positif (eksternalitas positif) atau efek negatif (eksternalitas negatif). Dalam kasus rokok di atas, orang di sekitar perokok akan terkena eksternalitas negatif. Artinya, pihak yang tidak merokok akan menanggung biaya yang berupa penyakit akibat perilaku sang perokok. Hal ini diperkuat dengan bukti yang mengatakan bahwa merokok pasif memiliki asosiasi yang signifikan terhadap prevalensi penyakit seperti kanker (Cao et al, 2015).
Kebijakan paternalistik bertujuan untuk mencegah perilaku dan akibat negatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan yang bersifat paternalisme tidak selalu baik. Paternalisme dianggap sebagai pelanggaran dasar komunitas liberal – yang berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional dan mengetahui pilihan terbaik mereka (New, 1999). Walaupun paternalistik terlihat seperti argumen pendukung kebijakan ini, ada kemungkinan jika kebijakan ini akan dianggap sebagai pembatas pilihan masyarakat dalam mengonsumsi suatu barang.
Indonesia Sebagai Surga Pajak Dosa: Menyelisik Keabsahan Rokok
Indonesia masih memiliki masalah besar terkait dengan jumlah perokok, baik pasif maupun aktif. Pada 2016, survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perokok cenderung berasal dari orang dengan kelas pendapatan menengah ke bawah. Jika ditelusuri berdasarkan kuintil (golongan pendapatan dari rendah ke tinggi) kedua dan ketiga, jumlah perokok di kategori tersebut mencapai 29.63 dan 31.39 persen. Implikasinya adalah ada satu dari tiga orang berpendapatan rendah di Indonesia yang merokok. Survei BPS juga membuktikan bahwa rokok menjadi salah satu kontributor kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di kota, konsumsi rokok menempati posisi kedua dalam kontribusi terhadap garis kemiskinan, dengan angka sebesar 8.24 persen.
Kerugian dari merokok juga bisa ditelisik dari kondisi perekonomian Indonesia. Total kerugian negara Indonesia yang disebabkan aktivitas merokok pada tahun 2015 mencapai 597 triliun rupiah. Total kerugian ini jauh mengimbangi pendapatan cukai negara dari sektor yang sama, yang berkisar 139.5 triliun rupiah. Kerugian ini disebabkan oleh banyaknya belanja negara untuk pengobatan penyakit akibat rokok dan kerugian yang muncul dari berkurangnya produktivitas. Di sisi lain, pada tahun 2015, anggaran negara yang dikeluarkan untuk belanja rokok terhitung sekitar 209 triliun rupiah. Sementara itu, jumlah produktivitas yang hilang di tahun yang sama diperkirakan sebesar 374 triliun rupiah. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin performa pertumbuhan perekonomian Indonesia akan menurun akibat konsumsi rokok yang berlebihan. Apakah fakta ini cukup untuk mengimplementasikan pajak dosa di Indonesia?
Sepintas, fakta regresivitas terlihat sebagai argumen pendukung pajak dosa, terutama dalam rokok di Indonesia. Kondisi regresivitas bisa menjadi dorongan konsumen untuk mengurangi konsumsi rokok. Implikasi yang timbul dari implementasi ini adalah pengurangan konsumsi rokok dan naiknya pendapatan pajak di Indonesia. Imbasnya, kemiskinan yang disebabkan oleh rokok juga akan menurun, dilihat dari persentase konsumsi di garis kemiskinan. Namun, apakah benar kesejahteraan sosial akan menjadi lebih baik dari implementasi pajak dosa di Indonesia?
Realita berkata lain. Nyatanya, tanpa rokok pun kemiskinan masih menjamur di Indonesia. Dilansir Katadata pada tahun 2017, Indonesia masih memiliki total garis kemiskinan per kapita untuk bahan makanan tercatat sebesar 294 ribu per bulan. Sementara itu, total garis kemiskinan per kapita untuk bahan non makanan tercatat sebesar 107 ribu per bulan. Jika pajak dosa rokok – yang digolongkan ke garis kemiskinan segi makanan – diberlakukan di Indonesia, pajak tersebut akan membebani daya beli (purchasing power) masyarakat miskin secara signifikan. Penurunan ini ada akibat kenaikan harga rokok, yang akan menaikkan standar garis kemiskinan di Indonesia. Jika garis kemiskinan naik, kemungkinan besar daya beli masyarakat akan terbebani akibat kenaikan harga barang, tanpa kenaikan pendapatan mereka. Walhasil, masyarakat akan kembali mendapat beban dalam konsumsi rumah tangga mereka.
Beban tersebut justru akan memperburuk ketimpangan dan kesejahteraan sosial Indonesia. Rokok memiliki sifat adiktif dan permintaannya cenderung tidak dipengaruhi harga. Akibatnya, kenaikan pajak dosa rokok yang terkesan setengah hati hanya akan menambah beban rakyat miskin untuk membeli barang pokok lainnya. Walaupun rokok berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan, sifat regresif pajak dosa terhadap rokok akan berakibat dalam penurunan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Pajak dosa memang terlihat seperti obat mujarab untuk kesejahteraan negara. Obat itu bisa memulihkan perekonomian negara dan kesehatan masyarakat. Namun, obat itu masih belum sempurna. Masih banyak masalah dan efek samping yang dapat muncul dari aplikasi pajak dosa. Sifatnya yang regresif dan membatasi bisa menjadi hambatan untuk memberikan obat itu. Akan lebih baik jika obat itu didampingi atau digantikan dengan kebijakan lain yang bersifat memulihkan candu masyarakat terhadap barang dosa. Selain itu, kita juga harus melihat negara sebagai pasien uji coba dari pajak dosa. Pengecekan ini menjadi keharusan agar tidak ada efek samping berbahaya yang dapat muncul dari implementasi pajak tersebut.
Daftar Pustaka
Cao, S., Yang, C., Gan, Y., & Lu, Z. (2015). The Health Effects of Passive Smoking: An Overview of Systematic Reviews Based on Observational Epidemiological Evidence. PLOS ONE, 10(10), e0139907.doi:10.1371/journal.pone.0139907
De Vogli, R. (2005). Unemployment and smoking: does psychosocial stress matter? Tobacco Control, 14(6), 389–395. doi:10.1136/tc.2004.010611
Haushofer, J., & Fehr, E. (2014). On the psychology of poverty. Science, 344(6186), 862–867.doi:10.1126/science.1232491
Juul Nielsen, M. E., & Jensen, J. D. (2016). Sin Taxes, Paternalism, and Justifiability to All: Can Paternalistic Taxes Be Justified on a Public Reason-Sensitive Account? Journal of Social Philosophy, 47(1), 55–69.doi:10.1111/josp.12139
Metcalfe C, Smith G, Wadsworth E, et al. A contemporary validation of the Reeder stress inventory. Br J Health Psychol 2003;8:83–94
New, B. (1999). Paternalism and Public Policy. Economics and Philosophy, 15(01), 63.doi:10.1017/s026626710000359x
Sankowski, E. (n.d.). Paternalism and Social Policy. Retrieved March 21, 2019, from https://www.jstor.org/stable/20014073.
Penulis: Aditya S. R dan M. Hasbul Wafi
Editor: Wida Dhelweis