Seberapa tulus nasihat mereka agar aku tabah di depan pusara Palamea? Aku mulai melihat manusia sebagai wujud kepalsuan. Apa mereka benar-benar paham dengan yang tengah kurasakan. Kuyakin mimik kedukaan mereka akan berakhir segera usai langkahnya melewati gerbang pemakaman, mereka akan kembali pada kehidupan seperti sedia kala dan melupakan perihal kenangan bersama gadis yang tertanam di pusara ini. Di antara langkah kepergian mereka yang beriring isak tangis semu, kubisikkan pada Palamea. Ini bunga yang terakhir kali akan kau terima, jangan pernah berharap mereka akan kembali.
Pernah seseorang bertanya padaku sembari mengabarkan sebuah berita, perihal seorang lelaki yang gantung diri karena tak kuasa ditinggal mati oleh kekasihnya, dan orang itu menganggap aku gila karena jawabanku tak memuaskannya. Mati karena cinta adalah hal wajar, bahkan sangat manusiawi, bukankah alasan kita terlahir adalah cinta? Akan indah jika itu pula yang menjadi alasan kematian kita. Bahkan itu jalan yang ingin kutempuh saat ini, pergi ke suatu tempat yang jauh dan mati di sana, agar di pusaraku kelak tak harus kujumpai orang-orang dengan kedukaan sekelebat dan memaksaku bangun dari kematian untuk memukul wajah mereka satu persatu.
Di antara sepoi angin dan janur hijau yang menari seolah tengah bersorai melepas kepergianku, kuputuskan untuk menumpang kapal saudagar dari Taruma, negeri di tanah seberang yang memang dua bulan sekali kapalnya bersandar di Labuhan Lipang untuk memuat rempah. Pakaian mereka berbahan sutra dengan corak seperti parang berjajar, benar-benar tampak apik ketika bersanding dengan warna kulit mereka yang coklat matang. Di tempat mereka berasal, aku mendengar jika ada perayaan tradisi yang tak biasa. Pada akhir tahun di purnama ke tiga belas, para suami dan istri yang ditinggal mati oleh pasangannya akan melakukan Larung Manah atau yang berarti melarung hati. Orang-orang akan naik ke atas perahu dan menuju ke tengah Laut Banoa, tubuh mereka diikat pada sebuah batu seukuran dua kali kepala manusia, lalu melompat ke birunya laut. Dewa mereka akan menyatukan roh pasangan suami istri di surga hingga tak akan lagi merasakan pedihnya sebuah perpisahan. Benar-benar suatu yang sangat kudambakan.
Layar putih mengembang, kapal melaju, membelah laut biru dengan gerombolan lumba-lumba yang mengiringi di sisi kanan dan kirinya. Kuharap lumba-lumba itu tak mengikutiku sampai ke Labuhan Lipang, sebab mereka acapkali menolong orang yang tenggelam di laut, aku tak mau mereka menggagalkan jalanku untuk bersatu dengan Palamea, kekasih yang menjadi alasanku meninggalkan dunia hitam. Aku bersyukur, sepuluh tahun setelah kejadian itu tak ada lagi yang mengenaliku sebagai Berandal Mamuru. Mencintai Palamea benar-benar merubah hidupku, aku kembali terlahir. Kutinggalkan dunia hitam dan memilih menjadi seorang petani, pergi ke tempat yang baru dan mengganti nama Matusea sebagai nama samaran. Rambut hitam panjang dengan cepolan yang ditusuk dengan supit gading, mata bening yang selalu menggambarkan keriangan, dan senyum yang tak pernah tidak ketika menatapku, oh Palamea, sungguh aku ingin segera kembali menikmati semua itu.
“Aku sudah mendengar tentang niatmu dari pekerjaku. Apa kamu sudah memikirkan matang-matang dengan niatmu itu?” tanya seseorang tiba-tiba. Lelaki tua yang menatap ke langit seolah sedang menerawang cuaca, tangannya menggenggam tepi buritan. Dari pakaian yang ia kenakan aku yakin ia seorang majikan, atau setidaknya orang yang memimpin pengiriman rempah-rempah di kapal ini. Aku coba tak mengindahkan pertanyaannya, niatku sudah bulat, lagipula hidupku tak ada urusan dengannya, aku hanya butuh menumpang untuk sampai ke Taruma.
“Apa kamu pernah berpikir jika mungkin saja yang kamu dengar selama ini tentang Larung Manah tidak sepenuhnya benar?” tanya lelaki itu kembali dan membuatku merasa harus menjawabnya. Bagaimanapun juga Larung Manah adalah tradisi dari tempatnya berasal. Aku hanya sedikit mendongakkan kepala sebagai isyarat mengiyakan untuk ia melanjutkan ucapannya.
“Larung Manah dahulu berawal dari kisah seorang bernama Patra, ia gila karena ditinggal mati istrinya. Bahkan kakekku sendiri yang bercerita jika prosesi itu berasal dari bisikan para roh jahat penghuni neraka, mereka menggunakan manusia-manusia pendosa sebagai batu pijakan agar dapat keluar dari neraka. Apa kamu mau jadi bagian dari manusia-manusia bodoh itu?” ucap lelaki tua itu yang sekaligus membuat merah telingaku
Kukepal tanganku dan mengambil ancang-ancang untuk memukulnya, aku harus memberi pelajaran orang yang mengatakan jalan suci agar bisa kembali bersatu dengan Palamea sebagai kebodohan. Namun otot-otot tanganku sekejap melemah karena melihat lelaki tua itu hanya bergeming ketika bogemku hendak mendarat di wajahnya, bahkan ia tersenyum kecil seolah tak peduli jika bisa saja pukulanku merontokkan gigi di sela mulutnya yang mulai perot. Hingga akhirnya benar-benar kubatalkan niatku itu, kupikir tak ada gunanya membuat dosa menjelang kematianku, aku hanya harus tak mendengar apapun kata-katanya, terserah. Ia sama dengan orang-orang yang datang di pemakaman Palamea, tak mengerti yang tengah kurasakan dan aku juga sudah tak peduli dengan hal itu.
“Aku hanya tidak ingin kamu menyesal. Kepedihan hidup sudah tercatat bahkan jauh sebelum kita dilahirkan, tugas manusia hanya memutuskan untuk menyerah atau tetap bertahan, sebelum semua terlambat dan menyesali pilihannya.”
“Siapa namamu?” tanyaku sembari melangkah pergi.
“Hahaha, untuk apa bertanya namaku?”
“Agar aku bisa bercerita pada kekasihku, ada lelaki tua yang berusaha membuat kami batal bersatu lagi.”
“Orang-orang memanggilku Datu Langitan.”
***
Setelah menginap tiga hari di rumah salah satu nelayan, akhirnya perayaan Larung Manah tiba. Aku sangat terkesan dengan penduduk Taruma, mereka memperlakukanku dengan baik layaknya saudara jauh yang datang bertamu, bahkan kepadaku yang bisa dibilang pendatang asing tak jelas asal usulnya. Aku menginap tanpa dipungut bayaran sedikitpun, hidangan lezat disuguhkan silih berganti. Hal itu membuatku semakin tak menghiraukan kata-kata lelaki tua kala itu, tidak mungkin penduduk sebaik itu melakukan tradisi yang buruk, pastilah Larung Manah benar-benar dilakukan oleh mereka yang berasal dari masyarakat berhati bersih, hendak bersatu dengan orang yang dicintai. Ketulusan yang sudah menyeberangi sekat kehidupan dan keabadian.
Perahu diisi empat orang. Satu si tukang kayuh perahu yang mengantar kami ke tengah laut Banoa. Tiga orang yang tangan, kaki dan pinggangnya telah diikat dengan batu, aku salah satu di antara tiga orang itu. Rona bahagia terpancar dari mereka, aku bisa merasakan apa yang ada di kepala mereka, tak lama lagi bersatu kembali dengan orang terkasih. Entah kisah apa saja yang telah mereka lewati bersama pasangan masing-masing. Ketika sampai di tengah laut Banoa, sekitar empat puluh perahu tampak menginduk pada perahu berbendera kuning. Di atas perahu itu berdiri kakek-kakek berjubah putih dengan jenggot panjang hingga menutupi seluruh dadanya. Matanya terpejam, tangannya menengadah ke langit, bibirnya merapal sesuatu. Tak lama berselang hujan turun dengan lebat, namun anehnya tak ada sedikitpun angin menerpa, air begitu tenang, sungguh hal yang tak lazim dan sekaligus mengisyaratkan kesaktian si kakek tua itu.
Satu persatu orang di atas perahu mulai melompat ke dalam air, aku bisa melihat senyum mereka sebelum benar-benar lenyap di birunya laut. Kusebut nama Palamea, dan kuikuti jejak orang-orang untuk menjemput sang kekasih. Batu yang terikat di tubuhku memainkan perannya, aku benar-benar seperti ditarik ke kedalaman. Mataku terpejam, wajah Palamea yang tersenyum muncul. Namun wajah itu perlahan berubah, semakin lonjong, bahkan telinga Palamea tampak memanjang dan meruncing pada ujung atasnya. Aku sangat kaget dan mulai meronta di dalam air, namun ikatan tali memang tak mampu membuatku berbuat banyak. Air mulai masuk ke hidung dan mulutku, sedang mataku hanya melihat gelembung yang keluar dari kedua inderaku. Di saat panikku mencapai puncak, tiba-tiba aku merasa mendapat gigitan di kaki kanan, gigitan itu juga seperti sedang menarikku ke atas. Namun gelombang arus bawah laut seolah melawan tarikan itu, menghantam hingga tubuhku terpelanting, bahkan saking kerasnya membuat ikatan tali pada batu terlepas. Aku benar-benar telah kehabisan napas, dadaku terasa seperti terbakar, aku tak lagi memiliki tenaga sedikitpun, bisa aku melihat tanganku terkulai di birunya laut yang mulai menggelap. Terakhir sebelum benar-benar tak sadarkan diri, aku merasa kembali seperti mendapat gigitan, namun kali ini di kaki kiriku. Aku hanya pasrah dengan tarikan yang seperti menarikku itu.
***
Sepertinya aku telah benar-benar mati. Tubuhku masih tergeletak lemah, namun mataku yang baru saja terbuka bisa melihat ke sekililing. Aku terbaring di bibir pantai, di sebuah pulau kecil yang bisa kulihat ujung ke ujungnya. Indah, terlalu indah jika kukatan ini di bumi. Di arah matahari tampak deretan pohon kelapa dengan daun yang hijau segar, buahnya berjibun menandakan tak ada satupun orang yang memanennya. Yang ada di kepalaku hanya harus segara meminumnya untuk memuaskan dahagaku, setelah itu baru aku akan mencari Palamea di surga ini. Kuseret langkah sembari mengusap wajah yang dipenuhi pasir, pohon kelapa yang tadi tampak di kejauhan, kini hanya sekitar tiga puluh depa dariku. Ternyata aku tidak sendiri, di bawah pohon kelapa yang batangnya tertinggi tampak seorang gadis bersandar. Aku percepat langkahku untuk menghampirinya, mungkin saja ia tahu keberadaan Palamea. Aku berjongkok tepat di hadapannya, menjelaskan jika aku penghuni baru surga, dan menanyakan apa ia mengenal Palamea. Namun gadis itu tak segera menjawab, ia malah memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Surga?” Gadis itu menjawab dengan dingin.
“Iya, surga. Tempat ini surga bukan?”
“Aku tidak mengerti maksudmu.” Ia membuang muka ke langit.
Tubuhku ambruk mendengar itu. Sekarang aku tahu apa yang menggigit kakiku dan menarikku ketika di bawah air, pasti lumba-lumba sedang berusaha menyelamatkanku. Musnah sudah mimpiku untuk bersatu dengan Palamea. Buih mulai membekas di kedua sudut mataku, bibirku terus merapal nama Palamea, aku merasa sangat bersalah, pasti Palamea saat ini kecewa padaku.
“Sebenarnya kamu orang yang beruntung karena terdampar di pulau ini, surga yang selama ini dicari orang namun tak pernah ditemukan,” ucap gadis itu sembari menyeka air mataku. Tangannya halus persis seperti tangan Palamea, senyumnya mengembang di antara sinar matahari yang menembus rimbunnya janur. “Kupikir kamu perlu tahu, pulau ini bernama Matah Pangeling. Ada yang bilang arti Matah Pangeling adalah tempat yang tak memiliki kenangan, meski sebenarnya aku tak terlalu yakin dengan itu. Tapi menurutku tempat ini cukup cocok untukmu, kamu bisa memulai kehidupan baru di sini,” lanjutnya. Tangannya bersedekap yakin.
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Entahlah, keindahan tempat ini membuatku lupa sudah berapa lama aku di sini. Waktu sudah tidak lagi penting bagi mereka yang tak memiliki dendam.”
Kududukkan tubuhku, kembali kulihat ke sekelilingnya. Yah benar, memang tempat yang sangat indah, bahkan dari kejauhan aku bisa melihat air terjun di antara celah gunung yang menjulang tinggi hingga menembus awan. Ada pula sebuah bangunan besar berbentuk seperti candi, tiang satu ke tiang yang lain dihubungkan dengan sebuah ukiran. Seperti bekas sebuah peradaban yang telah lama ditinggalkan. Dan semakin jelas ketika nampak sebuah menara tinggi dengan ujung runcing, tentu bukan bentukan alam, melainkan buatan manusia.
“Apa di sini kamu tinggal sendiri?”
Gadis itu menarik napas panjang, tangannya mengambil kerang putih di atas pasir, entah apa yang sedang ia pikirkan hingga membuat pertanyaanku tak mendapat jawaban. Kuutarakan padanya jika niatku telah bulat untuk bersatu dengan Palamea, aku akan meninggalkan pulau ini dan kembali ke Laut Banoa. Aku bisa membuat rakit dari batang pohon kering, atau mengikat beberapa buah kelapa dengan kulit kayu sebagai pelampung, apapun itu asal dapat mengantarku ke Laut Banoa.
“Sebenarnya aku menunggu seseorang, ia berjanji akan datang dan hidup bersamaku selamanya di tempat ini.”
“Boleh kutahu namanya? Ketika nanti bertemu dengan Palamea, aku ingin menceritakan kisah ini padanya, agar ia tahu jika kami sangat beruntung karena dapat bersatu kembali,” ujarku sembari beranjak dari duduk.
“Orang-orang memanggilnya Langitan, Datu Langitan.”
Panji Sukma Her Asih
Lahir di di Sukoharjo, 1 Maret 1991. Saat ini mengasuh Sanggar Semesta Bersua dan anggota Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia bidang Kepemudaan. Bergiat di Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar dan Literasi Kemuning. Karya yang telah terbit, novel Astungkara (Penerbit Nomina, 2018), Semesta Bersua Zine (2016), Antologi Puisi Perjamuan Kopi di Kamar Kata (Penerbit Nomina, 2017). Beberapa cerpennya telah dimuat baik di media lokal ataupun nasional.