Pada Jumat (26-04) lalu, Convention Hall Lantai 4 Fisipol UGM terlihat ramai pengunjung. Mereka hadir dalam acara Simposium Ilmiah bertajuk Hewan, Manusia, dan Relasinya sekaligus peluncuran Jurnal BALAIRUNG Vol. 1 No. 2 (2018) Hewan dan Manusia. Acara tersebut dibuka oleh Anaq Duanaiko, mahasiswa Sosiologi UGM sebagai pembawa acara sekaligus merangkap moderator. Dr. Suharko sebagai Ketua Prodi S1 Departemen Sosiologi UGM dan drg. Ika Dewi Ana, M. Kes., Ph.D sebagai Pembina BPPM Balairung hadir dalam acara ini. Selain itu, Oktaria Asmarani sebagai Pemimpin Dewan Redaksi Jurnal BALAIRUNG hadir sekaligus memberikan sambutan. Beranjak ke rangkaian acara selanjutnya, Duanaiko membuka sesi simposium dengan memperkenalkan dua pembicara yang hadir. Dua pembicara tersebut adalah Prof. John Sorenson sebagai pegiat Critical Animal Studies dari Brock University, Kanada dan Dosen Biologi UGM, Susilohadi, Ph.D.
Sorenson membuka simposium dengan memperkenalkan konsep Critical Animal Studies (CAS) sebagai konsep dasar memahami relasi hewan dan manusia. Menurutnya, konsep CAS mencoba memantik perhatian manusia untuk memahami peran manusia dan hewan non-manusia dalam hubungan sosial. “Apabila dikaitkan dengan konsep antroposentris, manusia menganggap segala sesuatu yang bukan golongannya hanyalah sebagai objek atau other being (makhluk lain),” jelas Sorenson. Ia melanjutkan, dengan pandangan seperti ini, manusia cenderung memperlakukan hewan sebagai sumber makanan, objek tenaga kerja dan hiburan, hingga objek penelitian.
Sorenson menambahkan, terdapat tiga konsep kunci dalam memahami CAS yaitu speciesism, eksploitasi dan kekerasan, serta keadilan trans-spesies. Dari ketiga kunci konsep tersebut, speciesism menjadi konsep kunci fundamental yang mendasari konsep lainnya. Speciesism yang dimaksud adalah praktik penetapan nilai pada makhluk apapun berdasarkan keanggotaan spesies saja. “Speciesism sama halnya dengan prasangka dalam rasisme yang dalam tindakannya, tidaklah relevan secara moral,” tegas Sorenson.
Sementara itu, konsep kunci lainnya yaitu keadilan trans-spesies mencoba mengkaji ulang konsep keadilan yang selama ini hanya berlaku pada manusia. Sorenson menjelaskan, konsep ini mengajak manusia untuk membandingkan perlakuan tidak adil yang dialami hewan dengan perlakuan tidak adil yang dialami manusia. “Dengan pandangan seperti ini, manusia menganggap hewan sebagai makhluk bodoh yang tidak memiliki kesadaran,” jelas Sorenson. Anggapan ini kemudian mengantarkan manusia untuk membenarkan perlakuan mereka terhadap hewan seperti eksploitasi dan kekerasan.
Padahal, menurut Sorenson, interaksi sosial dengan alam, termasuk hewan, memberikan pengaruh signifikan terhadap kebahagiaan manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil laporan BBC tentang hubungan interaksi manusia dengan alam terhadap tingkat kebahagiaan manusia pada tahun 2016. Dalam laporan tersebut, BBC menyatakan bahwa interaksi manusia dengan alam seperti menanam tanaman membuat manusia lebih bahagia dan meningkatkan kesehatan hingga 30 persen. “Jadi, pada hakikatnya, manusia sebenarnya bergantung pada alam,” jelasnya. Ia berharap, hasil laporan ini setidaknya dapat mendorong manusia memperlakukan hewan dengan semestinya.
Sementara Sorenson mengupas CAS dari sudut pandang sosiologi, Susilohadi mengaitkan konsep CAS dari sudut pandang biologi. Menurutnya, apabila dilihat dari kajian biologi, semua makhluk hidup dianggap sebagai organisme. Kemudian, setiap organisme akan memunculkan keanekaragaman hayati yang akan menghasilkan perilaku sosial. Perilaku ini kemudian dikaji dalam bingkai sociobiology berdasarkan proses evolusi dan sejarah alamiah. “Dalam bingkai ini (sociobiology), akan didapatkan hasil bahwa memang sejak awal, manusia sudah mengadopsi dan menerapkan sistem kompetisi dalam peradabannya,” jelasnya.
Apabila dikaitkan dengan anggapan manusia sebagai makhluk superior, Susilohadi menyatakan bahwa perilaku tersebut merupakan hasil dari proses evolusi makhluk hidup. Ia mengatakan klasifikasi makhluk hidup didasarkan pada eukariota, archaea, dan bacteria. Dalam konsep tersebut, tidak ada istilah yang membagi organisme menjadi manusia ataupun hewan. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa semua makhluk hidup memiliki hubungan gen yang sama akibat proses evolusi bertahun-tahun. “Saat manusia mengangkat tangannya dari tanah (yang dulunya merangkak), maka manusia menjadi satu-satunya organisme yang dapat menghasilkan teknologi canggih,” ujarnya. Menurutnya, hal ini kemudian yang mendasari manusia memperlakukan makhluk hidup lain sebagai objek.
Menanggapi hal ini, Raihan, salah satu peserta simposium yang berasal dari Fakultas Biologi UGM menyampaikan pendapatnya mengenai realita relasi hewan dan manusia. Menurutnya, masih banyak manusia yang belum memahami konsep keseimbangan ekologi sehingga mereka bersikeras menganggap hewan sebatas bahan eksploitasi. “Lalu, bagaimana cara terbaik untuk mengedukasi mereka terkait persepsi sepihak tersebut?” tanya Raihan.
Menjawab hal ini, Sorenson mengatakan bahwa cara terbaik adalah dengan menggaungkan kembali tentang compassion atau kasih sayang terhadap hewan. Selain itu, Sorenson juga menggarisbawahi bahwa CAS mengajak manusia untuk merefleksikan kembali eksploitasi dan kekerasan yang manusia lakukan kepada hewan. CAS juga memantik manusia untuk mempertanyakan kembali paradigma yang selama ini diyakini dalam memperlakukan hewan.
Akan tetapi, ketika berbicara eksploitasi, Sorenson menganggap hal tersebut memang sulit diredam karena proses kompleks yang terjadi di dalamnya. Namun, Sorenson menambahkan, manusia tetap dapat mencegah eksploitasi ini dengan mendukung gerakan-gerakan penyelamatan hewan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung gerakan pelarangan perdagangan hewan hingga mendukung komunitas yang bergerak pada penyelamatan hewan terlantar.
Selaras dengan Sorenson, Susilohadi menawarkan solusi cooperative adaptation. Ia menjelaskan, cooperative adaptation mengajak manusia kembali sadar terhadap keberadaan hewan yang secara tidak langsung adalah saudaranya. Hal ini dapat dilakukan dengan saling menghargai keberadaan makhluk lain seperti tidak melakukan exploitasi. “Dengan solusi ini, tentu speciesism akan perlahan hilang, manusia dan hewan juga akan dapat hidup berdampingan,” pungkasnya.
Penulis: Andara Rose
Penyunting: Cintya Faliana