
© Upavasa/Bal
Sebagai buruh pembuat batu-bata, upah bapak tak seberapa. Pekerjaan itu sudah bapak geluti sejak usiaku menginjak tiga belas tahun, waktu di mana aku akan lulus sekolah dasar. Sekarang umurku sembilan belas tahun, dua bulan lagi aku selesai mengenyam pendidikan sekolah menengah atas.
Bapak kulihat begitu menikmati pekerjaannya. Sepengetahuanku bapak belum pernah mengeluh. Kata ibu, bapak termasuk orang yang paling setia di kampungku, setia terhadap pekerjaannya, sebagai buruh pembuat batu-bata. Kata ibu, buruh pembuat batu-bata dipandang sebelah mata—akan berbeda saat melihat si pemilik produksi batu-bata, mereka tak ada yang dipandang sebelah mata, hampir semuanya kaya. Jika boleh jujur, tak ada satu pun orang di kampungku yang mau menjadi buruh pembuat batu-bata, kalaupun ada, itu terpaksa, sebab tak ada pekerjaan lain dan rata-rata orang yang terjun ke sana ialah orang yang tak berpendidikan.
Para anak dituntut belajar oleh orang tua masing-masing demi masa depan yang cerah. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya sukses? Orang tua mana yang mau anaknya kelak hidupnya susah? Buruh pembuat batu-bata selalu dijadikan acuan oleh para orang tua tentang bagaimana buruknya masa depan.
Ibu pernah bercerita kepadaku pada suatu hari, di suatu siang di musim kemarau, sebelum bapak bekerja sebagai buruh pembuat batu-bata, ia lebih dulu bekerja sebagai sopir di sebuah katering—mengantarkan pesanan. Saat mendengar hal tersebut aku terkejut, begitu turun drastis pekerjaan bapak, dari sopir menjadi buruh pembuat batu-bata. Memang jika dipikir-pikir, sopir bukanlah pekerjaan yang istimewa, tetapi ketika pekerjaan tersebut disandingkan dengan buruh pembuat batu-bata, menurutku ada semacam jarak.
***
Juragan di tempat bapak bekerja—Pak Kio—tidak begitu baik—setidaknya menurutku. Ia kurang memanusiakan bapak sebagai manusia. Ia memanggil bapak hanya nama saja, tak ada embel-embel di depan nama, seperti, “Pak” atau “Lik”. Benar-benar nama saja. Padahal umur bapak lebih tua daripada Pak Kio. Maka, saat aku mendengar bapak hanya dipanggil dengan namanya saja, hatiku seperti dihujani ribuan jarum, mentang-mentang ia juragan, seenaknya ia memanggil bapakku.
Tidak sampai di situ saja, sikap kurang memanusiakan bapak sebagai manusia. Ketika bapak tak berangkat kerja karena sedang tak enak badan sehari saja, Pak Kio langsung memasang wajah yang tak enak dipandang. Pernah saat bapak tak berangkat kerja dua hari karena sakit, Pak Kio tak mengirimi makanan ke tempat bekerja bapak. Saat di rumah, bapak menceritakan hal ini kepada ibu, ibu menghibur bapak dengan berkata, “Mungkin saja Pak Kio sedang sibuk, sehingga tak sempat mengantarkan makanan kepadamu, Pak.”.
Tempat bapak bekerja dengan rumah Pak Kio tidak satu tempat. Pak Kio tinggal di kampung sebelah. Sedangkan jarak antara tempat bapak bekerja dengan rumah, sekitar dua ratus meter. Jarak yang terlampau dekat, bagi bapak. Tetapi bagi orang zaman sekarang, jarak dua ratus meter adalah jarak yang terlampau jauh, banyak orang yang menempuhnya dengan sepeda motor. Mereka beralasan, tidak mempunyai sepeda, atau sedang terburu-buru. Namun, alasan itu ada karena sepeda motor yang semakin hari semakin mudah untuk memilikinya. Kesimpulannya, kemajuan zaman memicu timbulnya rasa malas. Kemajuan zaman pula, mengakibatkan terbitnya sifat terlalu santai terhadap waktu.
***
Hari ini, adalah hari di mana bapak gajian. Bapak akan gajian jika sudah berhasil membuat 4000 buah batu-bata—batu bata yang dimaksud di sini adalah masih mentah atau belum dibakar agar menjadi kuat—yang mana jumlah itu bisa diselesaikan dalam waktu sekitar seminggu. Empat ribu batu-bata, bapak mendapat upah dua ratus ribu. Artinya, jika tak ada hambatan yang membuat bapak tidak bekerja, bapak akan gajian setiap seminggu sekali.
Ancaman paling besar pada pekerjaan bapak adalah hujan. Tetapi bapak seperti tak pernah menganggapnya sebagai ancaman. Aku tak pernah mendapatinya marah-marah atau kecewa karena batu-bata mentah hasil jerih payahnya mencetak di pagi hari hancur lebur terkena hujan ketika dijemur. Bapak selalu antisipasi bila musim hujan datang, menyediakan plastik, seluas pelataran tempat menjemur batu-bata yang masih mentah—jika mendung, bapak atau ibu langsung tanggap, pergi ke pelataran, berjaga-jaga memasang plastik di atas batu-bata yang dijemur saat hujan turun. Meskipun sudah diantisipasi, hasilnya akan berbeda. Batu-bata di musim hujan tidak akan rata permukaan atasnya, terkena jejarum hujan.
Sore hari, selesai dijemur, bapak akan merapikan sisi batu-bata satu per satu—kecuali bagian atas dan bawah yang menyentuh tanah—menggunakan pisau, lalu batu-bata itu ditumpuk menyerupai pagar sepanjang sekitar sepuluh meter—biasanya tingginya sekitar satu meter, kemudian ditutup dengan plastik untuk mengantisipasi jika hujan turun.
Sore ini aku akan ke tempat kerja bapak. Membawakan makanan pemberian ibu kantin di sekolah. Ibu kantin sangat baik orangnya, ia selalu tak pernah menolak saat ada murid-murid di sekolah minta utang padanya, ia tak peduli apakah akan dibayar atau tidak nantinya, ia tak pernah menagih. Ibu kantin sedikit tahu kehidupan keluargaku. Ia pernah mengantarkanku pulang saat sepedaku bocor, karena ketika itu waktu sudah hampir maghrib, tukang tambal ban di dekat sekolah sudah tutup. Hari berikutnya, ibu kantin menanyaiku, tentang pekerjaan bapak, dan masalah keluarga lainnya. Mungkin itu yang menjadikan ibu kantin baik padaku, sering memberiku makanan saat pulang sekolah—untuk menuju tempat parkir, harus melewati kantin, karena itu aku selalu bertemu dengan ibu kantin setiap pulang sekolah.
Tidak biasanya memang aku membawakan makanan untuk bapak, biasanya jika aku diberi makanan oleh ibu kantin, makanan itu kuhabiskan sendiri di sekolah. Namun hari ini, aku seperti orang yang mendapat pencerahan, seperti ada sesuatu yang mengetuk hatiku untuk berbuat kebaikan, dan baru hari ini rasa semacam bersalah timbul, selama ini tidak membawakan bapak makanan pemberian dari ibu kantin.
Saat tiba di tempat bapak bekerja, bapak langsung berdiri menyambutku. Di mataku langsung tampak wajah yang lelah, seperti mengisyaratkan ingin berhenti bekerja, dan menikmati hari-hari di rumah. Jika sudah begini, rasa bersalah selalu datang padaku. Ya, bersalah. Kenapa aku tak berontak dengan kebodohanku? Nilai-nilaiku di sekolah begitu jelek, begitu memprihatinkan. Namun sisi negatifku, selalu berkata, “Apa ada gunanya jika kau memperbaiki diri sekarang?”. Bapak dan ibu sangat menaruh harapan besar, apalagi aku anak tunggal dan laki-laki, meskipun nyaris tak pernah harapan itu diungkapkan secara langsung di depanku.
Aku mengulurkan plastik yang kubawa. Aku suruh bapak untuk istirahat sejenak, menikmati isi plastik itu. Hanya saja, bapak malah seperti tak menggubrisku, ia hanya istirahat, tanpa menikmati makanan.
“Lho, kok Bapak ambil tanah untuk cetak batu-bata di sini? Bukannya ini bagian pelataran? Karena Bapak mengambilnya dari sini, luas pelataran jadi berkurang. Bukannya Pak Kio suruh ambil tanah yang bukan pelataran sebelah timur hingga nanti ke selatan sampai hampir ke batas jalan dengan lebar satu setengah meter agar pelataran ini tak terpangkas?” kataku tidak habis pikir setelah melihat bekas hantaman cangkul di pelataran bagian utara.
Perlu diketahui bahwa tempat bekerja bapak sebenarnya berada di tanah orang yang disewa oleh Pak Kio dengan bayaran tiga kali lipat dari harga normal. Pak Kio mau menyewa begitu mahal, karena ia tidak hanya sekadar menyewa tanah seluar sekitar enam ratus meter persegi itu. Ia mengambil tanah liat yang ada, untuk produksi batu-bata, hingga kini yang tersisa tinggal sekitar dua ratus meter persegi, digunakan sebagai pelataran, tempat pembakaran batu-bata yang disebut tobong, serta sedikit tanah kosong tak berfungsi apa-apa. Kini tanah yang seluas sekitar empat ratus meter itu dengan kedalaman sekitar satu meter itu membentuk serupa kolam ikan bila hujan.
“Bapak terpaksa, Le. Lha wong tadi bapak ini dimarahi sama Pak Dakir. Coba lihat ke timur? Bapak sudah mengambil tanah terlalu banyak hingga mepet ke pondasi pagar halaman rumah Pak Dakir. Lalu bapak mengeruk ke arah selatan seperti yang kamu katakan tadi, selebar sekitar satu setengah meter, untuk cetak batu-bata beberapa hari ke depan, hingga mepet jalan nantinya. Pagi tadi bapak dimarahi sama dia, bapak dilarang ambil tanah di situ, takut pagarnya roboh,” ucap bapak menjelaskan.
“Lho, tapi kan bapak tidak lagi mengeruk mepet ke pondasi pagar, ke arah selatan kan, Pak? Aku lihat, kerukan bapak juga belum bisa dibilang membahayakan pagar Pak Dakir.”
“Iya. Tapi Pak Dakir tetap takut. Bapak juga sudah jelaskan, tidak mengeruk lagi ke timur. Eh, dia tetap bersikeras. Katanya kalau ada apa-apa, Pak Dakir yang akan menanggung. Ya, bapak pun ngalah. Terpaksa bapak memangkas tanah pelataran bagian utara. Mau di mana lagi?”
“Pelataran jadi berkurang. Kalau besok dan besoknya lagi bapak mengeruk lagi? Semakin sempit pelataran, semakin sedikit produksi, itu artinya bayaran yang akan bapak terima akan semakin lama. Sudahlah, Pak, jangan turuti omongan Pak Dakir, tetap keruk ke arah selatan selebar satu setengah meter, atau kalau tidak bapak sampaikan kepada Pak Kio untuk membeli tanah liat.”
“Nah, masalahnya Pak Kio itu ingin untung lebih. Dia sendiri yang blak-blakan kalau harga tanah dari membeli dengan tanah mengambil seperti ini, mahal membeli.”
“Ya, tidak bisa begini terus. Kalau terus dikeruk, pelataran habis. Terus mau cetak di mana? Jujur, aku baru lihat cara yang seperti ini, ya di Pak Kio ini. Kalau pada umumnya, seharusnya membeli tanah kan, Pak? Bukan menyewa tanah, lalu diambil tanahnya.”
“Sebenarnya juga tidak ada bedanya. Membeli tanah juga mengambil dulu,” ujar bapak. Ia mendekat pada batu-bata yang belum ia rapikan sisinya. Ia lanjutkan pekerjaannya.
“Kalau beli, bapak tidak membutuhkan tenaga lebih banyak.”
Bapak tak merespon perkataanku. Mungkin bagi bapak, hal itu tidaklah begitu penting. Mungkin di pikiran bapak, masalah pengambilan tanah untuk membuat batu-bata dipikir besok saja. Yang ada di pikirannya sekarang mungkin, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Hari semakin sore. Langit berubah menjadi jingga. Aku ingin membantu bapak, tetapi bapak bilang, pisau hanya ada satu.
***
Begitu hari-hari bapak. Pagi membawa cangkul ke pelataran, tangan bergumul dengan tanah liat. Sore ke pelataran merapikan sisi batu-bata mentah yang seharian dijemur dengan pisau, lalu menata menyerupai pagar. Kulihat bapak begitu nyaman menjalani, seakan ia tak ingin lepas dari pekerjaannya. Tanah liat telah menjadi lebih dari sekadar teman di kehidupan bapak. Ketika aku melihat tanah liat, aku selalu teringat dengan wajah lelah bapak.
Namun pada suatu hari, di wajah bapak yang lelah, kesedihan menyelimuti, kesedihan yang begitu berbeda dari kesedihan-kesedihan saat bapak sedih—aku belum pernah melihat bapak sesedih ini. Aku dan ibu dipanggil bapak untuk ke ruang tamu. Lalu kami duduk di hadapan bapak. Aku menunduk, kulirik ibu, ada kecemasan di wajahnya. Hening menguasai ruangan beberapa saat. Lalu bapak mulai berkata, terdengar begitu berat nada bicaranya. Selesai bicara, aku ingin menangis, dan menyesali masa lalu, tentang sekolahku, tentang kebodohan-kebodohanku. Miris, saat aku membayangkan kehidupan beberapa hari ke depan.
Ya, bapak diberhentikan kerja oleh Pak Dakir. Masa sewa tanah, tempat di mana bapak bekerja, habis. Bapak menyampaikan keberatan, ia menyuruh Pak Dakir untuk membeli tanah liat untuk produksi batu-bata. Namun Pak Dakir dengan halus menolak saran bapak.
Risen Dhawuh Abdullah
Lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.