Mengiringi pemilihan umum 2019, Watchdoc Image mengunggah film dokumenter di salah satu media daring, YouTube, pada 13 April 2019 lalu. Sejak dipublikasi, Sexy Killers telah menjadi pembicaraan hangat, bahkan beberapa nonton bareng dihentikan paksa. Senin (22-04) lalu, di gedung Masri Singarimbun UGM tepatnya di auditorium Prof. Agus Dwiyanto, dilaksanakan diskusi dialektis film Sexy Killers. Diskusi ini diadakan oleh PSKK UGM dan enam lembaga lainnya. Salah satu pembicara, A.B Widyanta, dosen Fisipol UGM menyebutkan bahwa Sexy Killers memang tepat untuk ditonton sebelum pemilu. “Film ini berani keluar dari zona nyaman, berani dalam mengungkap kondisi politik beserta wajah para pemimpin-pemimpin yang mewakili rakyat,” ujarnya.
Sexy Killers berbicara tentang pengaliran listrik di Indonesia yang 54,4 persennya bersumber dari batu bara. Pemilihan batu bara didasarkan pada kemurahan produksinya. Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia, banyak dibuka pertambangan batu bara dan PLTU yang seringkali berada dekat dengan wilayah pemukiman warga. “Jika mempertimbangkan biaya perlindungan dan kesehatan masyarakat juga, mungkin batu bara tidaklah yang paling murah,” ujar Widiyanta.
Yogi Zul Fadhli, pembicara dari LBH Yogyakarta berpendapat bahwa hukum yang melegitimasi pembangunan diciptakan berdasarkan kepentingan ekonomi kaum elit. Sexy Killers menjadi pembenaran dugaan Zul. Atas nama pembangunan, terdapat perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh negara dan pengusaha. Zul berpendapat bahwa seharusnya politik atau ruang publik tidak didasarkan pada kepentingan kelompok tertentu.
Zul menyebutkan rakyat Indonesia memiliki keterbatasan dalam memilih pemimpin negara sejak pemilihan 2014. Hal ini dikarenakan adanya monopoli dari partai politik tertentu. “Negara seharusnya diperuntukan bagi masyarakatnya, negara hadir untuk membuat kesejahterahan rakyatnya,” ujar Zul. Namun pada nyatanya, politik di Indonesia masih mementingkan kepentingan pribadi dan menggunakan preferensi pasar.
Widiyanta menyampaikan kekecewaannya terhadap pemerintah. “Seharusnya pemerintah menjadi fasilitator kesejahteraan rakyat,” ujarnya. Pemerintah sudah melanggar etos publik seperti yang diperlihatkan di Sexy Killers. Bahkan, hukum tidak lagi bersifat netral, produk hukum didasarkan pada kepentingan. Menurut Zul, hukum bisa bersifat represif ketika hukum diciptakan sesuai keinginan penguasa. Hukum yang dibentuk nantinya bisa sesuai dengan kepentingan politik dan ekonomi. Salah satu peserta diskusi, Hasan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, berpendapat bahwa Sexy Killers menjadi teguran untuk Indonesia agar memperbaiki hukumnya sehingga tidak lagi dimanfaatkan elit-elit politik.
Melalui Sexy Killers masyarakat Indonesia bisa mengetahui kisah-kisah di balik pertambangan batu bara dan PLTU. Menurut Zul, film tersebut berhasil membangkitkan rasa penasaran dan sikap kritis terhadap negara. Zul menyetujui pendapat Widiyanta bahwa kepentingan dalam politik dan bernegara akan selalu ada. “Adalah tugas akademisi untuk menyikapi secara kritis hal tersebut, salah satunya dengan berdiskusi bersama-sama seperti diskusi hari ini,” ujar Widiyanta.
Penulis : Henny Ayu
Editor : Ahmad Fauzi