Jumat (01-03) di Ruang Sidang 1 Gedung Pusat Universitas diadakan rapat penyusunan Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual di UGM. Kebijakan tersebut disusun oleh tim utama yang beranggotakan Sri Wiyanti Eddyono dari Fakultas Hukum (FH) UGM dan Muhadjir Darwin dari FISIPOL UGM, serta tim teknis yang terdiri dari Faiz Rahman, Susanti Laras, dan Fatahillah Akbar dari FH. Rapat tersebut dihadiri pula oleh perwakilan dari BEM KM UGM, Dewan Mahasiswa Justicia, dan BPPM Balairung.
Latar belakang penyusunan kebijakan tersebut bermula ketika kasus Agni mendapat sorotan publik. Laras mengatakan sejak tahun 2016 terdapat Keputusan Rektor UGM No.1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016 tentang Pedoman Pelecehan di Lingkungan UGM. Namun, regulasi tersebut dianggap kurang efektif karena tidak menyantumkan mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Senada dengan Laras, Faiz menambahkan bahwa regulasi tersebut bersifat umum sehingga tidak ada parameter yang baku mengenai penanganan kekerasan seksual. “Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan baru yang lebih spesifik,” ujarnya.
Selanjutnya, Faiz menerangkan kepada peserta rapat salah satu asas hukum bahwa peraturan yang baru akan mengesampingkan peraturan yang lama. Artinya, masih ada hal-hal yang berlaku pada regulasi sebelumnya walaupun kebijakan baru sedang disusun. “Sepanjang regulasi yang lama tidak bertentangan dengan kebijakan yang baru, tidak ada masalah dalam implementasinya di kemudian hari,” tambahnya.
Proses penyusunan kebijakan ini dilakukan melalui Focus Group Discussion dengan melibatkan pihak eksternal seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan, dan beberapa perwakilan universitas lain. Sedangkan, pihak internal yang terlibat merupakan peserta rapat pada hari itu. “Pelibatan berbagai pihak bertujuan untuk menampung aspirasi demi terciptanya peraturan yang jelas dan terarah,” ucap Laras.
Kevin, perwakilan BEM KM UGM, mengungkapkan telah menerima rancangan kebijakan tersebut sejak Senin (25-02) dan telah mempelajari pasal-pasalnya. Ia mempertanyakan urgensi penambahan materi gender dalam mata kuliah sebagai salah satu upaya preventif kekerasan seksual. Selain itu, ia juga menanyakan mekanisme penyampaian materi tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Muhadjir berpendapat bahwa salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual ialah rendahnya pemahaman mengenai gender. Sehingga, ia merasa perlu adanya pembekalan kepada seluruh civitas academica. Ia juga berharap materi tersebut nantinya akan menjadi mata kuliah wajib di seluruh fakultas. “Saya ingin seluruh civitas UGM memiliki pengetahuan dan sikap yang konsisten atas keadilan dan kesetaraan gender,” tuturnya.
Berbeda dengan Muhadjir, Sri khawatir penetapan materi gender sebagai mata kuliah wajib akan menambah beban mahasiswa. Namun, beberapa peserta rapat menyarankan agar pembekalan materi gender dilakukan pada saat Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru. “Hal terpenting yakni mahasiswa mau berpartisipasi dalam mendukung dan mengawal kebijakan baru ketika telah disahkan,” kata Muhadjir menanggapi saran tersebut.
Ketika diwawancarai setelah rapat berakhir, Faiz mengatakan tim masih akan melakukan revisi dengan meninjau berbagai saran yang telah diterima. Ia menuturkan belum menetapkan tenggat waktu sehingga ia tidak dapat memastikan kapan kebijakan tersebut akan diundangkan. “Saya hanya bisa memperkirakan kebijakan ini selesai dalam kurun waktu satu sampai dua bulan ke depan,” jelasnya.
Penulis: Hanifatun Nida
Penyunting: Nabila Rieska M