“Pincanglah hukum pidana jika tidak bicara tentang kepentingan korban,” kalimat tersebut dilontarkan Sri Wiyanti Eddyono dalam artikel balairungpress.com tentang Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS ini dinilai mampu memberi hawa baru bagi kepastian hukum korban kekerasan seksual. Sebab, RUU PKS digarap dengan melihat kacamata korban kekerasan seksual yang selama ini luput dari hukum pidana dan kerap diabaikan masyarakat. Salah satu yang direncanakan yaitu Pasal 22-31 yang mengatur tentang penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban. Dalam pasal-pasal ini pula ditekankan mengenai pemulihan dan penguatan korban secara psikologis.
Berangkat dari hal tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Psikolog Klinis Dewasa, Danika Nurkalista dari Yayasan Pulih. Berdiri pada tahun 2002, Pulih dibentuk untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan psikologi di masyarakat yang berfokus pada psikososial. Menjadi staf di Yayasan Pulih sejak enam tahun lalu, Danika kini menjabat sebagai Koordinator Kasus dan Layanan Psikologi Langsung. Fokus perhatiannya pada kesehatan mental, konseling, dan penanganan pasca trauma khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kekerasan Berbasis Gender (KBG), HAM serta isu sosial lain. Dalam wawancara bersama Danika, ia banyak memberikan perspektif baru mengenai pemulihan korban kekerasan seksual.
Bagaimana bentuk-bentuk KBG yang terjadi di masyarakat?
KBG ada beberapa bentuk misalnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam pacaran, kekerasan seksual, persekusi dan lain-lain. Kasus-kasus seperti ini seringkali kita jumpai di masyarakat. KBG juga rentan terjadi di situasi bencana atau pengungsian. Mengingat Indonesia rawan akan bencana alam, isu-isu seperti ini justru kurang diperhatikan. Padahal pada situasi kritis seperti bencana kasus kekerasan lain terhadap perempuan dan anak juga terjadi. Keberadaan Pulih sendiri untuk memenuhi gap kebutuhan akan pelayanan psikologi di masyarakat terutama isu-isu yang berkaitan dengan Kekerasan Berbasis Gender dan penanganan trauma pada penyintas.
Kenapa Yayasan Pulih menggunakan istilah penyintas dan apa pula perbedaan penyintas dengan korban?
Seseorang dikatakan korban ketika ia masih berada dalam situasi mengalami kekerasan yang berulang. Penyintas adalah orang yang berjuang dari kekerasan (survivor of violence). Seorang korban kekerasan seksual yang datang, berani berbicara, dan ingin menjalani proses pemulihan adalah orang-orang yang telah berjuang. Penyintas adalah orang yang punya suara, berdaya, memiliki kekuatan dan bukan korban yang pasif. Orang yang disebut penyintas rata-rata sudah berjuang dari dampak kekerasan yang dialami. Dengan memulai pemulihan, melaporkan, dan mau keluar dari situasi luar biasa yang mengguncang dirinya sendiri.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa masih banyak penyintas kekerasan seksual yang tidak mau berbicara, apa yang membuat mereka seperti itu?
Takut menghadapi respons masyarakat. Selama ini kebanyakan yang terjadi malah victim blamming yaitu masyarakat tidak melihat konteks pelanggaran tapi melihat situasi itu terjadi karena kondisi penyintasnya. Inilah yang menyebabkan penyintas mengalami reaksi klinis ganda yaitu ketika korban kekerasan seksual menjadi korban lagi dan pelakunya adalah sistem atau masyarakat sosial. Secara psikologis hal tersebut menimbulkan perasaan takut, malu dan dampak-dampak traumatik lainnya yang menyebabkan seseorang tidak bisa melaporkan secara langsung. Dampak itu menjadi berlapis-lapis bagi korban, sehingga proses pemulihannya bisa panjang.
Apa dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual?
Pasti menimbulkan ketakutan, membuat seseorang merasa tidak berdaya, terancam keutuhan fisik, mental dan psikologisnya. Ketika terjadi ancaman seperti kekerasan, seseorang bisa terguncang secara psikologis sampai menyebabkan perubahan perilaku. Dampaknya pada setiap orang berbeda dan tergantung pada banyak faktor, salah satunya intensitas kejadian trauma dan juga kepribadian seseorang.
Bagaimana dampak peristiwa traumatik mempengaruhi korban?
Peristiwa yang mengancam jiwa pasti berdampak pada seseorang, meskipun orang menilai tidak ada dampaknya dari luar. Kapan atau bagaimana dampak itu muncul berbeda bagi setiap orang karena pengalaman bisa dipersepsikan berbeda dan proses seseorang menghadapi trauma juga berbeda. Ciri-ciri seseorang yang mengalami trauma tidak hanya murung, justru ada juga yang hiperaktif. Misalnya tidak bisa diam, selalu antusias, energinya melimpah, bicara tidak selesai-selesai. Tapi yang pasti peristiwa traumatik itu menyebabkan perubahan perilaku dan bentuknya berbeda bagi setiap orangnya.
Berapa lama waktu yang diperlukan penyintas ketika mengalami kejadian traumatik hingga mau untuk datang melakukan konseling?
Umumnya penyintas yang datang telah mengalami kejadian traumatik selama beberapa waktu, jadi mereka tidak langsung datang. Ketika pertama kali mengalami kekerasan seksual biasanya korban akan mencari tempat yang aman dan layanan terdekat dulu. Selang beberapa waktu baru korban akan datang untuk pemulihan dalam sesi konseling psikologi, misal beberapa hari, seminggu, dua minggu. Ada yang baru sadar sekarang bahwa dimasa lalu ia dulu mengalami kekerasan seksual. Bahkan ada juga yang kejadiannya delapan hingga sepuluh tahun yang lalu tetapi dampaknya masih ada sampai saat ini sehingga membutuhkan konseling.
Apakah mungkin penyintas merasakan dampaknya terlambat?
Bisa saja terjadi, namanya delay effect, beberapa orang yang mengalami kejadian traumatik di masa kecil atau remaja baru menyadari ketika sudah mulai puber atau setelah menikah. Kejadian pada masa kecil itu terasa dampaknya sampai dia dewasa. Seseorang baru menyadari dampaknya pada titik tertentu, atau sebelumnya dia tidak paham bahwa kejadian traumatik itu salah satu bentuk kekerasan seksual.
Bagaimana sudut pandang yang digunakan Yayasan Pulih dalam membantu pemulihan korban kekerasan seksual?
Kami menggunakan sudut pandang psikososial dan salah satu penanganannya adalah konseling individu. Konseling individu kepada penyintas kekerasan seksual bentuknya bisa berupa pemberian konseling, penguatan, dan psikoterapi. Konseling ini dibutuhkan untuk mengelola dampak-dampak akibat kekerasan yang dialami.
Apakah ada metode tersendiri yang digunakan dalam pemulihan kekerasan seksual?
Dampak kekerasan bermacam-macam sehingga metode yang digunakan juga disesuaikan dengan karakteristik seseorang dan lingkungan sosialnya. Disesuaikan juga dengan dinamika setiap orang karena proses konseling berbeda-beda tergantung dengan keluhan dan kebutuhan psikisnya seperti apa. Semakin mendukung lingkungan sosial biasanya proses akan semakin baik. Karena menggunakan sudut pandang psikososial, Yayasan Pulih sendiri prosesnya tidak menggunakan obat melainkan memakai teknik konseling sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Apakah tujuan dari pemulihan itu sendiri?
Tujuannya untuk membantu penyintas mengetahui respons apa yang tepat dilakukan dalam kondisi traumatik. Sehingga penyintas dapat mengambil keputusan dan memahami dampak lanjutan atas keputusannya sendiri. Kekuatan penyintas untuk mengambil keputusan sendiri merupakan salah satu hal yang membantu proses pemulihannya.
Berapa lama waktu yang diperlukan pemulihan untuk penyintas?
Setiap orang berbeda-beda karena tergantung pada dampak yang dialami dan karakteristik masing-masing, bisa jadi waktunya juga cukup panjang. Proses pemulihan bukanlah perlombaan. Pemulihan adalah proses yang harus dijalani sesuai dengan tempo masing-masing, ada yang berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Perlu diingat juga bahwa setiap orang mengalami dinamika yang berbeda selama pemulihan.
Keluarga sebagai lingkungan terdekat, peran apa yang dapat dilakukan selama pemulihan bagi penyintas?
Harapannya keluarga mampu mendukung dan memberikan kebutuhan pada korban secara tepat serta membantu mengarahkan pada keputusan yang bijak. Dalam situasi cukup tertekan bisa jadi orang belum mampu mengambil keputusan yang cermat. Sehingga membutuhkan orang lain disekelilingnya untuk membantu mencari keputusan yang lebih baik. Perlu diingat juga keputusan korban ada di tangannya sendiri, bukan di tangan orang tua atau keluarganya terutama kalau ia sudah dewasa.
Bagaimana dengan penanganan konseling untuk pelaku?
Konseling untuk pelaku biasanya disebut konseling perubahan perilaku. Konseling perubahan perilaku banyak mendiskusikan dan mencari solusi atas hal-hal yang mampu memicu pelaku untuk melakukan kekerasan. Konseling seperti ini juga bisa diberikan pada klien yang merasa memiliki potensi melakukan kekerasan namun memiliki keinginan untuk berubah.
Bagaimana perbedaan antara konseling bagi penyintas dan pelaku?
Bagi penyintas tujuan konseling adalah untuk menguatkan diri, membantu seseorang mengurangi gejala-gejala stres yang dialami pasca kejadian. Sedangkan untuk pelaku tujuannya yaitu mengelola perilaku yang berisiko dan mengurangi kemungkinan pelaku mengulangi perbuatannya di masa depan. Konseling untuk pelaku memiliki poin-poin tujuan yang spesifik. Selain itu juga ada kesepakatan antara pelaku dan konselor bahwa ia tidak akan melakukan suatu tindak kekerasan selama menjalani proses konseling rehabilitasi.
Adakah hal-hal khusus yang harus dipenuhi untuk pelaku kekerasan seksual selama konseling?
Hal yang paling penting dia harus mengetahui perilaku itu salah, dan itu harus dipahami secara mendalam. Tidak hanya sekedar tahu namun juga menyadari bahwa perbuatan yang dia lakukan merugikan banyak orang. Penting bagi pelaku untuk memahami konsekuensi, kalau konsekuensinya adalah dengan diberikan hukuman maka itu tergantung pada kebijakan lembaga masing-masing.
Bagaimana pengaruh hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap penyintas?
Sejauh ini payung hukum di Indonesia banyak membicarakan mengenai hukuman bagi pelaku, namun belum mengenai pencegahan untuk tidak mengulanginya. Padahal ini juga merupakan poin penting. Hukuman bagi pelaku diharapkan dapat membantu penyintas untuk merasa mendapat keadilan. Keadilan seperti apa yang diinginkan penyintas, itu harus ditanyakan pada mereka. Karena dengan membuat penyintas mendapat keadilan, maka turut membantu mereka untuk merasa lebih aman dan membantu pemulihan.
Saran terbaik apa yang bisa diberikan orang awam ketika mendengar cerita teman yang mengalami kekerasan?
Pertama buat dia merasa aman terlebih dahulu. Jika orang tersebut baru mengalami kekerasan, perhatikan apakah saat ini dia merasa aman atau tidak. Kalau situasinya masih berbahaya maka sarankan untuk mencari tempat yang lebih aman. Semisal ada korban pelecehan seksual yang digoda dan diikuti dari belakang oleh pelaku kemudian ia menelepon dan bingung harus kemana. Sarankan untuk mencari lokasi yang cepat dan mudah dijangkau seperti warung, supermarket, atau apotek yang buka. Kemudian selama korban bercerita jangan dihakimi atau memotong cerita, tanyakan pula kebutuhannya saat itu apa.
Bagi orang yang pernah atau sering mendengarkan cerita menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual, apakah ada dampaknya?
Ada, ada kerentanan sendiri bagi orang-orang yang mengalami dan menangani kasus seperti ini. Hal ini bisa jadi karena terus menerus mendengar, mendampingi, melihat kasus-kasus tersebut. Dampaknya yaitu kejenuhan, kelelahan kepedulian, dan trauma sekunder. Salah satu yang paling berbahaya yaitu trauma sekunder. Dimana orang yang sering mendengarkan cerita, pemberi layanan atau pendamping merasakan dampak trauma padahal tidak mengalami apa dialami oleh dampingan atau orang yang bercerita.
Bagaimana hal itu bisa dicegah?
Ada beberapa pencegahan salah satunya adalah menjaga keseimbangan hidup antara waktu kerja, waktu untuk diri sendiri, dan bersosialisasi dengan orang lain. Kalaupun muncul dampak-dampak trauma sekunder atau stres bisa mengambil waktu jeda sebulan atau dua bulan untuk tidak menangani kasus dulu. Alternatif lain bisa juga dengan melakukan konseling secara profesional bukan hanya sesama. Dalam hal ini psikolog utamanya juga membutuhkan psikolog lain. Pencegahan seperti ini tidak hanya berlaku pada psikolog yang sering menangani kasus, namun juga bisa dilakukan oleh orang yang sering mendengar dan mendampingi kasus kekerasan seksual. Jika sudah mengalami tanda-tanda kelelahan secara psikis, hal yang paling penting dilakukan adalah berbagi untuk memahami kasus, bisa kepada teman untuk memahami kasus agar beban yang terasa lebih ringan.
Penulis: Ayu
Nurfaizah
Penyunting: Cintya Faliana