Sore itu (17-02) menjelang malam, Jogja National Museum (JNM) dibanjiri oleh pengunjung. Di halaman depan pintu masuk pameran yang terletak di selatan JNM, para pengunjung tampak berswafoto di sebuah bilik yang bergambar orangutan. Memasuki pintu masuk pameran, kita dapat menjumpai kliping berita-berita tentang eksploitasi orangutan yang terjadi di Indonesia. Di dinding ruang tengah, terdapat ratusan ragam lukisan berjejer yang menggambarkan kondisi orangutan saat ini. Selain ragam lukisan, dapat dijumpai setidaknya satu atau dua buah patung orangutan di beberapa ruangannya. Karya-karya tersebut merupakan kontribusi para seniman untuk pameran seni rupa bertajuk âArt for Orangutan 3: A Good Life for Orangutanâ.
Pameran yang digelar dari tanggal 14-17 Februari ini merupakan hasil kolaborasi antara Centre for Orangutan Protection (COP) dan komunitas seni Giginyala. COP merupakan sebuah organisasi non-profit penyelamatan orangutan yang bergerak di Kalimantan. COP saat ini mengelola satu pusat rehabilitasi orangutan di Berau, Kalimantan Timur. Sementara itu, Giginyala adalah komunitas seni rupa di Yogyakarta yang terbentuk sejak 2012.
Ramadhani L. Banjari atau yang akrab disapa Dhani, Direktur COP, mengungkapkan pameran tersebut digelar untuk menyuarakan isu eksploitasi orangutan di Kalimantan. Menurutnya, banyak eksploitasi yang dialami orangutan mulai dari perdagangan ilegal, perusakan habitat orangutan, hingga deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut Aya Diandara, pembicara dalam diskusi âArt, Animal, and Activismâ yang masih merupakan rangkaian acara pameran, seni rupa memiliki kapasitas untuk merepresentasikan orangutan sebagai subjek yang tidak dapat bersuara. âPameran ini diselenggarakan karena para seniman ingin menyuarakan orangutan yang notabene tidak bisa menyuarakan apa yang mereka alami,â tutur Aya.
Pada 2015 Giginyala mengajak COP berkolaborasi menyelenggarakan pameran seni rupa sebagai upaya melemparkan isu orangutan ke publik yang lebih luas. Hal tersebut kemudian mendapat sambutan baik dari COP, mengingat sebelumnya COP hanya menggunakan medium teks untuk memberikan informasi seputar orangutan. Menurut Dhani, medium teks dianggap kurang efektif karena minat masyarakat untuk membaca sangat rendah. Oleh karenanya, pada 2019 ini Giginyala dan COP kembali mengadakan pameran, setelah sebelumnya mengangkat tema âLife for Umbrella Speciesâ pada 2015 dan âMenolak Punahâ pada 2016. âMasyarakat kita kan terbiasa dengan medium visual daripada literasi, jadi memang lebih efektif menggunakan medium seni rupa atau film untuk mengedukasi masyarakat,â tuturnya.
Menanggapi karya seni yang ditampilkan, Dhani mengungkapkan sebagian besar ekspresi orangutan dalam pameran ini digambarkan penuh kesedihan. Ia menambahkan ekspresi sedih yang digambarkan terinspirasi dari hasil riset mandiri para seniman terkait kondisi orangutan saat ini. Ekspresi tersebut digambarkan dengan baik oleh Tri Hita Karana melalui karyanya yang berjudul âMegarisâ. Pada lukisan tersebut, terdapat seorang manusia yang sedang memeluk orangutan. Manusia dan orangutan tersebut dililit pohon dan dedaunan. Sedangkan di belakangnya, terdapat api yang membakar dedaunan kering. Orangutan dalam lukisan tersebut digambarkan tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan manusia dari ancaman kebakaran hutan.
Berbeda dengan karya Hedwig Dhana dan Nabila Humaira yang bertajuk âBukan Cuma Kamu yang Tinggal di Bumiâ. Karya tersebut terdiri dari enam poster dan secara kronologis menceritakan deforestasi yang merusak habitat orangutan di Kalimantan. Pada poster tersebut, orangutan tampak digambarkan kehilangan tempat tinggalnya akibat adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Selain itu pada salah satu poster, orangutan terlihat seperti ditangkap paksa oleh manusia dan kemudian ditahan dalam jeruji besi. Orangutan dalam poster tersebut tampak diasingkan dari habitatnya sendiri.
âBukan Cuma Kamu yang Tinggal di Bumiâ memperlihatkan deforestasi secara besar-besaran karena lahan perkebunan kelapa sawit menjadi faktor utama penurunan populasi orangutan di Kalimantan. Masalah-masalah seperti; konflik dengan manusia, menyusutnya habitat, serta kegiatan perburuan, dan fragmentasi habitat telah menyebabkan penurunan hampir 150.000 orangutan di Kalimantan selama 16 tahun terakhir. Selain itu, berdasarkan Jurnal Current Biology, dunia diperkirakan akan kembali kehilangan 45.000 orangutan lainnya pada 2050. Padahal, orangutan sebagai primata yang berkerabat dekat dengan manusia memiliki peran penting dalam melakukan regenerasi hutan. âMenyelamatkan orangutan berarti kita menyelamatkan kehidupan manusia,â ungkap Dhani.
Sementara itu, Tata Wijaya ingin menggambarkan akibat dari adanya pembukaan lahan oleh perkebunan kelapa sawit melalui karyanya bertajuk âHantu Hutanâ. Karya tersebut terbuat dari potongan jeriken minyak bekas yang kemudian disusun dan dikonstruksi menyerupai badan orangutan. Pemilihan bahan baku jeriken minyak bekas sendiri secara implisit menunjukkan kaitan erat antara akibat dari pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan tergusurnya habitat orangutan. Seperti yang dilansir dari laman tirto.id, menyusutnya orangutan berbanding lurus dengan menyusutnya luas hutan.
Dhani juga mengungkapkan jumlah seniman yang terlibat dalam pameran tersebut sebanyak 205 orang dengan jumlah karya 232 buah. Seniman tersebut sebagian besar berasal dari dalam negeri dan beberapa dari luar negeri. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Art for Orangutan kali ini berupaya untuk menjangkau publik lebih luas melalui ragam rangkaian acara. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lomba menggambar dan mewarnai orangutan untuk anak-anak. âAcara ini tidak hanya ditujukan untuk orang dewasa tetapi kami juga menyasar anak-anak dan remaja,â ungkapnya.
Sementara itu, Anis Nur Rohmawati, salah satu pengunjung yang hadir, turut memberikan apresiasinya atas pameran ini. Ia mengungkapkan adanya pameran tersebut membuatnya menjadi tahu tentang eksploitasi orangutan di Kalimantan. âSemoga ke depannya lebih banyak satwa-satwa lain yang juga terancam punah disuarakan melalui medium seni,â pungkasnya.
Penulis: Anisa Nur Aini
Penyunting: Ahmad Fauzi