“Ketika melihat kami, mereka pasti selalu memperlihatkan mimik yang tidak suka,” kalimat tersebut diungkapkan Jessica Ayu Lesmana untuk membuka pembicaraannya. Jessica atau Jessi adalah seorang transpuan yang tergabung dalam Feminis Yogya. Dalam kesempatan tersebut, ia duduk bersama dua pembicara lain, yaitu Nuning Suryatiningsih sebagai Presiden Direktur “Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities” dan drg. Dea Safira Basori dari aktivis feminis. Mereka diundang pada Selasa (12-04) oleh Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM dalam diskusi bertajuk “Geliat Perempuan Muda Marjinal Menggugat Keterbatasan Ruang Ekspresi”. Acara tersebut dimoderatori oleh Dana Fahadi dari YouSure Fisipol UGM. Para pembicara mengutarakan berbagai pengalaman diskriminasi yang dialaminya akibat stigma negatif dari masyarakat. Selain itu, mereka juga ingin memberikan pemahaman atas hak-hak kaum marjinal khususnya perempuan kepada audiens agar muncul kesetaraan dan keadilan bagi mereka.
Salah satu pengalaman yang dibagikan adalah perjuangan Jessi dalam mengadvokasikan hak sesama transpuan yang mengalami diskriminasi berlapis. Menurutnya, diskriminasi berlapis terjadi akibat adanya beberapa identitas yang melekat pada diri seorang transpuan. Transpuan kerap dilabeli sebagian masyarakat sebagai penyakit sosial karena aneh dan berdandan tidak pada umumnya. Padahal, Jessi menganggap dia dan teman-temannya adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang sama sehingga berhak mendapatkan kesetaraan hidup. “Kami juga punya pikiran dan perasaan yang membuat kami sedih ketika mengetahui anggapan itu, dan itu semua menyakitkan,” aku Jessi.
Jessi menambahkan, banyak dari mereka memutuskan kabur dari rumah karena orang tua yang tidak mendukung. Dengan keadaan yang seperti itu, transpuan akan cenderung meninggalkan pendidikannya. Setelah itu, ketika mereka hidup di jalan, mereka dituntut untuk mencari pekerjaan sendiri yang biasanya identik dengan pekerja seks dan seniman jalanan atau ngamen. Hal ini yang akhirnya membuat transpuan sering dikatakan sebagai simbol seks dan bahan bercandaan di jalan. Akibatnya, transpuan cenderung memiliki jarak dengan lingkungannya. Jessi pernah mendapat laporan bahwa teman-temannya diangkut oleh Satpol PP tanpa alasan. Padahal, waktu itu, mereka sedang tidak mengamen. “Sudah dianggap seperti itu, ketika diangkut tidak dimanusiakan, dilecehkan pula,” ungkapnya.
Selaras dengan hal tersebut, Riska Carolina menyatakan ada tiga kasus yang terjadi terhadap transpuan pada November 2018 dalam tulisannya “Negara Menutup Mata pada Kekerasan Waria” yang dilansir dari magdalene.co. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di Lampung, 2 November 2018 lalu. Waktu itu, tiga orang transpuan ditangkap paksa lalu disiram dengan air dari mobil pemadam kebakaran. Kekerasan ini kemudian didokumentasikan dalam bentuk foto dan disebarluaskan dengan tujuan untuk mempermalukan.
Kasus kekerasan pada kelompok LGBT di Indonesia masih terhitung banyak. Naila Rizqy Zakiah dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat yang dilansir dari bbc.com mengatakan bahwa pada tahun 2017, terdapat 973 kasus kekerasan pada kelompok LGBT di Indonesia dan 73% dari itu menyasar transpuan. Bahkan, di beberapa kasus, ketika transpuan melapor sebagai korban pelecehan atau perkosaan, mereka justru disalahkan dan aduannya ditolak. “Lah, kamu bencong kok,” ucap Jessi menirukan gaya bicara aparat.
Salah seorang peserta bernama Hartaning Wijaya bertanya tentang sejauh mana penerimaan keluarga sebagai lingkungan terdekat dalam mendukung transpuan. Menjawab hal tersebut, Jessi mengatakan bahwa para transpuan di Yogyakarta banyak yang tidak diterima oleh keluarganya karena hal tersebut membutuhkan proses. Mereka hanya bisa diterima keluarga jika mereka memiliki sebuah prestasi atau melakukan hal-hal yang bernilai positif.
Berangkat dari hal tersebut, Jessi mengenalkan konsep Sexual Orientation, Gender Identity, and Expression (SOGIE) untuk memahami transpuan. SOGIE merupakan sebuah konsep yang dikenal sebagai SOGIE Equality Bill atau yang biasa disebut Anti-Discrimination Bill. Konsep tersebut diusulkan pada Kongres Filipina dengan tujuan untuk mencegah berbagai tindakan diskriminasi kepada kelompok LGBT. Menurut Jessi, orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara romantis kepada orang lain. Sedangkan, identitas gender adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya dan berperan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini perempuan dan laki-laki. Sementara, ekspresi adalah bagaimana seseorang mengekspresikan tampilan dirinya, apakah ingin berpenampilan feminin atau maskulin atau bahkan androgini. “Kita harus memahami satu per satu konsep SOGIE sehingga tidak lagi sembarangan menilai dan berprasangka buruk kepada kami (transpuan),” ujar Jessi.
Penulis: Andara Rose
Penyunting: Citra Maudy