“Ia merasa telah menjadi Kristus, dunia tampak begitu kecil di bawah kakinya,” ucap Nela Nur Murosokhah mendeklamasikan “Keledai Yang Mulia” dengan lantang di Hall PKKH UGM. Penggalan puisi tersebut merupakan salah satu puisi milik Mario F. Lawi. Kumpulan Puisi dalam buku Keledai Yang Mulia yang ditulis Mario merupakan tema utama Diskusi Sastra Nasional yang diadakan pada Selasa (05-03) lalu. Rendilla Restu Utami, dan Dewi Kharisma Michellia, hadir menyampaikan interpretasi mereka terhadap puisi-puisi Mario F. Lawi. Kedua pembicara menyebutkan bahwa puisi Mario mengandung banyak alusi biblis (alkitab -red).
Puisi Mario memang banyak menggunakan istilah yang ada dalam alkitab. Dia juga mengangkat budaya Jingitiu, kepercayaan tradisional orang Sawu yang berada di Nusa Tenggara Timur. Michellia, melihat puisi Mario tidak hanya dari bait-bait yang tercantum, namun juga dari latar belakang kehidupan Mario. Mario sendiri merupakan penganut Katolik, sementara ia mengenal Jingitiu dari kakeknya yang seorang Kenuhe, petinggi atau imam dalam Jingitiu.
Michellia melihat banyak citra kakek dalam puisi-puisi Mario. Hal itu disadarinya setelah membaca puisi Mario yang ditujukan untuk kakeknya. Di salah satu puisi Mario, “Gela”, yang sarat akan tradisi Jingitiu, terlihat kakeknya masih mempertahankan iman dan penerimaannya terhadap kepercayaan lain. Kutipan “Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru yang harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari mulutnya,” menunjukan sang kakek mengoleskan salib dengan mantra ritual Jingitiu. Mario juga menulis puisi berjudul “Jingitiu” berisi pergulatan batin sang kakek ketika putra-putrinya dibaptis dan melepaskan tradisi Jingitiu. Sang kakek tetap mempertahankan kepercayaannya hingga akhir hayat, memberikan restu pada anak dan cucunya yang berbeda keyakinan.
Michellia juga menafsirkan salah satu puisi Mario sebagai bentuk keresahan ibunya yang berpindah keyakinan namun tetap mencintai tradisinya. Puisi “Ina Tana” dibuka dengan “Mencintaimu sebagai keselamatan, aku pun pergi.” Bahkan di puisi Pulang, Mario menunjukan kisah ibunya yang tetap mendoakan kakeknya dengan doa kepada Tuhan sang Kakek. Bagi Mario, khazanah biblis dan Jingitiu sama-sama menyampaikan pesan keselamatan, hal tersebut ingin ia sampaikan dalam puisi-puisinya.
Berbeda dengan Michella, Rendilla, atau lebih akrab dipanggil Dilla, menafsirkan puisi-puisi Mario lebih kepada sisi kemanusiaan. Mario kerap membahas tentang kematian dan kehidupan sehingga Dilla mencari hal lain dari puisi Mario yang dirasa saling terkait satu sama lain. Dilla menunjukan bahwa keledai dalam “Keledai Yang Mulia” tidak hanya ada di puisi itu. “Adanya sifat kefanaan manusia akan kematian, dan terutama pengorbanan di dalam puisinya,” ujarnya. “Tidak ada yang peduli pada keledai meski keempat kakinya berdarah, meski di kepalanya disematkan mahkota duri,” keledai juga muncul dalam puisi “Seekor Keledai dan Seorang Pria”. Dilla menyimpulkan keledai menunjukkan sifat pengorbanan.
Dilla menjelaskan bahwa karena semua manusia itu fana, renta, dan hanya akan menjadi abadi sebagai ingatan. Manusia sendiri memulai perjalannya untuk menyatu dengan Yang Kuasa dalam puisi “Anamnesis”. Dilla menyimpulkan bahwa orang yang sudah wafat masih akan ingat perjalanan hidupnya dan mensyukuri kehidupan abadi setelah mati. “Manusia harus menerima kenyataan untuk pasrah pada wujud yang lebih besar,” kata Dilla.
Salah seorang peserta diskusi, Hanif, menanyakan mengapa Mario menuangkan alusi-alusi biblis dalam puisi-puisinya. Dilla menjawab bahwa Mario menuangkan pemahamannya terhadap alkitab berdasarkan interpretasinya dari apa yang ia pelajari. Mario sendiri pernah memasuki seminari untuk menjadi pastor. Michellia juga menjelaskan alusi-alusi pada puisi Mario sebagai bentuk pemahaman baru. “Karya-karya baru ada untuk menjelaskan karya-karya lama, dan membuat orang tertarik untuk mencari tahu lebih dalam,” ujar Michellia.
Penulis : Henny Ayu
Penyunting : Cintya Faliana