Pada Selasa (29-01), sejumlah dua bus dengan beberapa mobil membawa para pedagang pasar berkaos oranye untuk menyampaikan aspirasinya di Kompleks Kepatihan DIY. Penyampaian aspirasi yang diinisiasi oleh Forum Peduli Pasar Rakyat (FPPR) ini dilakukan bersama Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PusteK) UGM, Aliansi Mahasiswa Peduli Pasar Rakyat, dan BEM KM UGM. FPPR menolak disahkannya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan dalam sidang paripurna DPRD Sleman pada akhir tahun 2018 lalu.
Dalam rilis pers dijelaskan bahwa penolakan tersebut didasari oleh kelemahan Raperda yang meliputi, pertama Raperda cenderung mendorong pada nilai-nilai kebebasan bersaing yang saling mematikan (free fight liberalism) yang berakibat pada makin timpangnya kondisi perekonomian di Sleman. Kedua, kurang diperhatikannya dampak ekonomi dari menjamurnya pusat perbelanjaan modern terhadap perkembangan pasar tradisional dan toko ritel lokal. Ketiga, tidak adanya evaluasi atas pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2012, sehingga banyak berdiri toko-toko modern tanpa izin dari Sleman. Keempat, hampir semua pasal berisi upaya mempermudah dan melonggarkan perizinan pembukaan toko modern atau yang sering juga disebut sebagai pasal karet. Kelima, tidak diacunya ketentuan UU Perdagangan, khususnya yang menyangkut sanksi hukum terhadap pelanggar peraturan.
Agus Subagyo, selaku Koordinator FPPR menyampaikan bahwa ia bersama para pedagang pasar lainnya mengeluhkan nasib mereka kepada gubernur. Para pedagang pasar merasa tidak diuntungkan dengan Raperda yang dirancang, sehingga akan meningkatkan jumlah orang miskin di pasar. “Toko-toko swalayan itu jarak antara satu sama lain sangatlah dekat dan bisa menjual apapun yang ada di dalam pasar, sehingga pedagang kecil dan toko kelontong di desa bisa mati,” ungkap Agus. Menurutnya, dengan kemunculan berbagai toko modern membuat pasar tradisional jauh lebih sepi.
Bahkan, dalam rentang pukul sembilan hingga sepuluh pagi, pasar telah sepi dari pembeli. Hal ini pun diperkuat dengan hasil studi PusteK yang disampaikan Agus pada awak media bahwa seharusnya perekonomian pasar dapat berkembang hingga jam sepuluh pagi. Akan tetapi, pasar telah sepi pengunjung dalam waktu tersebut.
“Suasana pasar sudah sepi mulai pukul sepuluh pagi karena pembeli lebih tertarik ke toko modern yang lebih bersih, dekat, dan terkadang lebih murah,” ungkap Harpini selaku pedagang toko kelontong di Pasar Godean. Menurutnya, omset pasar turun drastis dan banyak pedagang pasar yang rela ‘menjemput’ pembeli dengan tidak lagi berjualan di dalam pasar, melainkan pinggir jalan.
Melalui sepuluh perwakilan dari FPPR dan mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya pada Sekretaris Daerah (Sekda) DIY bersama jajarannya, dihasilkan tiga kesepakatan. Pemerintah daerah bersedia meninjau ulang pasal yang terkait dengan rasio cakupan pelayanan dan jumlah penduduk, aspek jarak toko modern dengan pasar rakyat, serta perizinan mendirikan minimarket waralaba yang menambahkan kampus dan stadion sebagai lokasi pendirian. Selain itu, Sekda DIY juga memberikan catatan dan rekomendasi untuk meninjau kembali Perda Sleman tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang keputusannya dikembalikan pada Pemerintah Kabupaten Sleman.