Pada Kamis (10-01) lalu, tim kuasa hukum Agni mengadakan konferensi pers atas perkembangan kasus Agni di aula Rifka Annisa. Konferensi pers tersebut menghadirkan Catur Udi Handayani, S.H., Sukiratnasari, S.H., M.H., dan Afif Amrullah sebagai tim kuasa hukum Agni, serta Suharti sebagai Direktur Rifka Annisa. Dalam konferensi pers tersebut dikemukakan kronologi upaya pemenuhan keadilan, proses hukum yang sedang berjalan, dan tuntutan penyintas terhadap UGM dan kepolisian.
Setelah berita Nalar Pincang UGM dalam Kasus Perkosaan dimuat dalam laman daring balairungpress.com pada awal November 2018, penyintas mendapatkan surat berisi Instruksi Tindak Lanjut Hasil Tim Evaluasi No. 7604/UN1.P/SET-R/HK/2018. Surat yang diterima pada 12 November 2018 tersebut tertanggal 30 Oktober 2018. “Kami memandang surat yang tidak tertanggal dengan semestinya ini sebagai bentuk ketidakseriusan UGM,” kata Suharti.
Kemudian, pada 26 November 2018, penyintas diberi tahu oleh Rektorat UGM bahwa Komite Etik Mahasiswa yang menangani peristiwa kekerasan seksual telah terbentuk. Pada tanggal 31 Desember 2018, masa kerja Komite Etik tersebut telah berakhir. Namun, penyintas maupun tim pendamping belum mendapatkan salinan keputusan dari rekomendasinya hingga saat ini. “Kami sudah beberapa kali menanyakan hasilnya ke UGM, tetapi sampai saat ini belum mendapatkan hasilnya,” tambah Suharti.
Berdasarkan pemaparan Suharti, sebelumnya Rektorat UGM telah membentuk Tim Investigasi yang bekerja selama tiga bulan sejak April 2018 untuk menyelidiki dan memberikan rekomendasi. Tim Investigasi telah menyerahkan rekomendasinya kepada Rektorat UGM pada 20 Juli 2018. Namun hingga saat ini, hanya rekomendasi mengenai perbaikan nilai Kuliah Kerja Nyata (KKN) milik penyintas dan evaluasi pelaksanaan KKN yang telah dilakukan. Rektorat UGM belum merespons permohonan penggantian Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diajukan penyintas. “Padahal penyintas telah melunasi UKT semester IX saat rekomendasi tersebut dikeluarkan,” ujar Suharti.
“Rektorat UGM juga belum menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam pemenuhan rekomendasi pemulihan psikologis penyintas,” lanjutnya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa biaya pendampingan psikologis penyintas selama tahun 2017 dan layanan Unit Konsultasi Psikologi pada 14 November 2018 ditanggung oleh FISIPOL UGM. Namun, pada 27 Desember 2018, penyintas masih harus menebus obat di Rumah Sakit Akademik UGM secara mandiri.
Suharti menyebutkan pula bahwa ada rekomendasi lain yang dibatalkan secara sepihak oleh Rektorat UGM pada 17 Desember 2018. Rekomendasi tersebut ialah keharusan bagi pelaku untuk menandatangani surat permohonan maaf serta penyesalan di hadapan Rektor dan orang tua pelaku. “Sejak awal, keinginan penyintas adalah agar UGM, sebagai institusi pendidikan, memberi sanksi etik pada pelaku,” ujar Udi. Udi juga menambahkan, dalam pertemuan antara Rifka Annisa dan perwakilan Rektorat UGM pernah disepakati untuk tidak melaporkan kasus ini secara hukum.
“Setelah kejadian itu, kondisi psikologis penyintas depresi berat, terlintas pikiran untuk bunuh diri,” ujar Udi. Menurutnya, penyintas memilih untuk tidak lapor karena ia merasa tempatnya berada saat itu jauh dari lokasi kampus, mengingat KKN tersebut diadakan di Maluku. Pertimbangan lain dari penyintas yang disampaikan oleh Udi adalah proses hukum akan membuat pelaku tidak mendapatkan konseling untuk mengubah perilakunya.
Pada tanggal 29 November 2018, penyidik Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) meminta penyintas untuk melaporkan secara hukum, tetapi hal ini ditolak oleh penyintas. Akan tetapi, pada 9 Desember 2018, Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM, Arif Nurcahyo, melaporkan kejadian tersebut pada Polda DIY sebagai tindak pidana perkosaan dalam 285 KUHP dan dugaan tindak pidana pencabulan dalam 289 KUHP. Menurut Udi, hal ini dilakukan tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas. Padahal, tambah Udi, Arif Nurcahyo juga mengawal kasus ini dari awal bersama teman-teman Rifka Annisa. “Itu yang membuat kami tidak habis pikir, kenapa malah dia yang lapor?” ungkapnya.
Udi mengatakan bahwa terdapat beberapa hal penting yang perlu dicatat terkait proses hukum Agni. Pertama, sejak kasus ini diadukan oleh Rektorat UGM dan dilaporkan oleh Kepala SKKK UGM, penyintas tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum dari UGM. Kedua, penyintas telah memenuhi panggilan Polda DIY untuk memberikan keterangan sebagai saksi korban pada 18 Desember 2018 dengan didampingi tim kuasa hukum. Ketiga, penyintas menolak melakukan visum et repertum sebab bekas luka fisik telah hilang, tetapi penyintas mengajukan permohonan melakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak psikologis dari peristiwa tersebut masih ada. Keempat, penyintas, pendamping, dan tim hukum akan tetap menuntaskan proses hukum meskipun penyelesaian di jalur hukum bukanlah pilihan penyintas sejak awal. “Penyintas bertekad menghadapi proses hukum, karena, menurut penyintas, sudah tidak ada pilihan lain lagi,” ujar Udi.
Selanjutnya, Udi menyampaikan tuntutan Agni terhadap pihak yang berwenang dalam penanganan kasus ini. Pertama, mendorong kepolisian menuntaskan proses penyidikan. Kedua, menuntut UGM untuk memenuhi hak-hak penyintas. Ketiga, menuntut UGM untuk memberikan perlindungan terhadap penyintas karena penanganan kasus yang berlarut-larut berpotensi menimbulkan tekanan psikologis lanjutan terhadap penyintas. Keempat, menuntut UGM untuk memulihkan nama baik penyintas dengan mengharuskan pelaku menandatangani surat permintaan maaf dan penyesalan. Kelima, menuntut UGM untuk menghentikan tendensi kriminalisasi penyintas sebagai konsekuensi dari laporan polisi oleh Kepala SKKK UGM tanpa persetujuan penyintas.
Mengenai respons publik terhadap kasus kekerasan seksual, Udi menyayangkan beberapa orang masih menyudutkan penyintas dengan menganggapnya tidak melawan, tidak berteriak, kemudian justru mempertanyakan arti “kekerasan seksual”. “Kasus kekerasan seksual, menurut kami, adalah ketika tidak ada persetujuan dari korban. Itu sudah kekerasan,” tegas Udi. Baginya, perangkat hukum yang lemah juga seringkali menyebabkan kasus seperti ini tidak dapat selesai dengan baik. Maka dari itu Udi ingin masyarakat dapat mendorong agar kasus ini terus dipantau sehingga penyintas mendapatkan keadilan yang diperlukan.
Penulis: Rasya Swarnasta
Editor: Cintya Faliana
2 komentar
akhirnya, damai..
contoh yang ‘bagus’ dan..
akhirnya..
contoh yang ‘bagus’, dab..