Bencana alam akhir-akhir ini sedang menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Salah satunya adalah bencana yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 silam. Rusak dan hilangnya alat pendeteksi tsunami atau yang disebut dengan buoy menjadi salah satu faktor kurang berhasilnya pemerintah dalam upaya pencegahan bencana. Setelah bencana yang terjadi di Palu, timbul kesadaran tentang pentingnya kesiapan dalam menghadapi bencana.
Dalam pelaksanaannya, penanganan bencana harus spesifik disesuaikan dengan karakter bencana yang terjadi dalam suatu daerah. Karena setiap daerah memiliki potensi bencana alam yang beragam, kondisi geografis, serta kemampuan penanganan bencana yang berbeda-beda. Itulah yang dikatakan oleh Mahujud S., S.Sos., M.Si., selaku Kepala Seksi (Kasi) Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Wilayah DIY adalah salah satu daerah yang berpotensi tinggi terjadi bencana. Banyak bencana besar yang pernah terjadi salah satunya gempa bumi dan erupsi Gunung Merapi. Oleh karena itu, diperlukan upaya antisipasi serta kesiapan yang matang dalam menghadapi tantangan bencana mendatang.
Mengingat rekam jejak dan kerentanan terhadap bencana, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kesiapan DI Yogyakarta menghadapi bencana. Jumat (01-11) BPPM BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Kasi Kesiapsiagaan BPBD DIY yang sudah menjabat sejak 2014 ini. Ditemui di Kantor BPBD DIY, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, beliau menjelaskan tentang bagaimana kesiapan dan upaya yang dilakukan dalam penanggulangan bencana di Yogyakarta.
Bagaimana sejarah didirikannya BPBD Provinsi Yogyakarta?
BPBD DI Yogyakarta dibentuk pada tanggal 11 Februari 2011. Keberadaan BPBD ini merupakan amanah dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut lahir dari pengalaman sejarah selama ini dimana penanggulangan bencana di DIY masih bersifat responsif dan parsial.
Lalu, siapakah yang mengatasi dan menanggulangi pada saat gempa besar tahun 2006 di DIY?
Pada saat itu yang menangani Dinas Sosial setingkat Kepala Bidang (Kabid). Tingkat Kabid tergolong masih rendah, artinya masih terbatas dalam melakukan koordinasi. Hal ini menyebabkan penanggulangan masih bersifat responsif dan parsial. Padahal dalam menghadapi bencana yang bertubi-tubi dibutuhkan penanggulangan yang bersifat menyeluruh. Maka lahirnya BPBD ini justru untuk menjawab permasalahan yang ada, terutama menggeser paradigma dalam penanggulangan bencana dari responsif menjadi preventif.
Apakah DIY ini termasuk daerah yang rawan bencana?
Justru, DIY ini mendapat predikat sebagai etalase bencana. Dari hasil kajian, ada 59 kecamatan dari total 78 kecamatan di DIY memiliki kerentanan terhadap bencana alam. Jadi cukup banyak potensi bencana alam di Yogyakarta.
Bencana alam di DIY terjadi di beberapa wilayah. Pada bagian utara, terdapat Gunung Merapi yang termasuk gunung teraktif di dunia dan erupsinya berkala. Kemudian di selatan, garis pantai Yogyakarta berhadapan langsung dengan laut luas yang mana di lautan Samudera Hindia terdapat sesar Australia. Ketika ada benturan lempeng sesar, maka akan terjadi gempa bumi tektonik. Kalau kekuatan gempa (magnitudo) mencapai 6 SR keatas akan berpotensi tsunami. Kemudian di wilayah Kota Yogyakarta sendiri sering terjadi gempa. Selain itu, juga terdapat bencana musiman. Ketika musim kemarau, DIY hampir setiap tahun mengeluarkan status kekeringan. Sedangkan ketika musim hujan, bencana yang terjadi adalah banjir dan longsor.
Kemudian, dengan bencana sebanyak itu bagaimana BPBD menanggulangi atau mengatasinya?
Perlu dipahami bahwa konstruksi struktur organisasi BPBD ada tiga bagian: ada yang pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. BPBD menitikberatkan pada upaya-upaya preventif dan kesiapsiagaan karena risiko yang timbul akibat bencana itu tergantung pada kapasitas yang dimiliki dengan kerentanan dalam keadaan bahaya. Oleh karena itu, BPBD fokus pada peningkatan kapasitas pencegahan atau preventif.
Apa bentuk-bentuk peningkatan kapasitasnya?
Jadi kapasitas itu ada dua: struktural dan non struktural. Ini penting dijelaskan karena banyak orang bertanya, kalau tidak ada bencana, kerjaan BPBD apa?
Peningkatan kapasitas struktural berkaitan dengan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana ini mulai dari dibuatnya kajian risiko. Risiko yang ada tidak bersifat stagnan, tetapi sangat dinamis sehingga minimal setiap tahun ada pemutakhiran kajian risiko. Dari sini dapat disusun rencana kontingensi (renkon), yang berisi perencanaan yang dilakukan untuk menghadapi potensi bencana yang ada.
Dalam renkon tersebut, seluruh potensi yang ada diatur dan ditata secara detail sehingga ada pembagian tugas yang jelas dan distribusi sumber daya manusia yang tidak saling tumpang tindih. Jadi prinsip kami “sedia rencana sebelum bencana.” Lebih baik mencegah daripada mengobati. Renkon kemudian disimulasi, digladikan, dan dipraktekkan. Karena nanti kalau benar-benar terjadi bencana, renkon itu akan mudah berubah menjadi rencana operasi.
Selain itu, dari kajian risiko juga dihasilkan Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini. Sistem ini berfungsi untuk memberitahu masyarakat bahwa akan terjadi bencana. BPBD juga memiliki aplikasi bernama InaRISK dan laman website yang dapat diakses melalui http://inarisk.bnpb.go.id/. Keduanya berfungsi untuk mengetahui potensi kerawanan bencana suatu daerah.
Peningkatan kapasitas nonstruktural yang kami lakukan adalah terkait sumber daya manusianya. Upaya pertama yang dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bencana. Program yang kami buat untuk meningkatkan pengetahuan tersebut adalah desa siaga bencana dan sekolah siaga bencana. Selanjutnya upaya kedua adalah memperkuat mental masyarakat dalam menghadapi bencana. Program yang kami lakukan yaitu simulasi bencana alam. Masyarakat dibiasakan berada dalam kondisi bencana, sehingga mereka tahu bagaimana menghadapi situasi saat terjadi bencana.
Adakah program unggulan yang dilakukan BPBD DIY dalam peningkatan kapasitas tersebut?
Ada. Upaya yang kami lakukan yaitu program desa siaga bencana dan juga sekolah siaga bencana. Keduanya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas struktural dan nonstruktural. Kami mengedukasi masyarakat supaya tahu tentang resiko bencana, penanggulangan bencana, dan juga apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana.
Dari sekian banyak program BPBD, bagaimana kesiapan DIY dalam menghadapi bencana?
Dalam sistem penanggulangan bencana perlu koordinasi yang intensif. Dalam segi sarana prasarana kita sudah berupaya maksimal dengan potensi yang ada. Dari segi pengetahuan, masyarakat sudah banyak yang paham perihal kebencanaan seperti macam bencana dan cara menyikapinya. Dari segi aparat, secara berkala sudah dilakukan koordinasi. BPBD juga menyiapkan program gladi, tujuannya untuk menguji kesiapan dalam menghadapi bencana. Dalam istilah kami ada slogan, “Tanggap Tangkas Tangguh”. Jumlah korban tidak hanya disebabkan oleh bencana, melainkan juga karena sikap yang salah dalam menghadapi bencana. Meskipun sudah siap siaga, tetapi kita tetap melakukan upaya-upaya konstruktif yang masif dan partisipatif karena memang dalam upaya penanggulangan bencana harus melibatkan semua pihak.
Pihak mana saja yang bertanggungjawab dalam penanggulangan bencana?
Dalam lambang BPBD terdapat segitiga biru. Segitiga itu maksudnya sesuai UU No. 24 Tahun 2007 bahwa tanggung jawab penanggulangan bencana melekat pada tiga komponen: pertama pemerintah sebagai koordinator, kedua masyarakat, ketiga dunia usaha. Maka jangan salah persepsi, karena BPBD bukan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. BPBD itu hanya sebagai koordinator dalam sistem penanggulangan bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 157 Tahun 2015 menyatakan bahwa dalam sistem penanggulangan bencana dibentuk delapan klaster penanggulangan bencana. Semua instansi pemerintah dibagi tugas berdasarkan bidangnya. Salah satunya ada klaster logistik, BNPB dan BPBD yang menjadi koordinatornya, sedangkan wakilnya dari kantor lain. Ada klaster pencarian dan penyelamatan, yang dikoordinatori Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) sedangkan wakilnya dari TNI, dan beberapa klaster yang lain. Jadi delapan klaster ini saling membantu tidak hanya saat bencana, tapi juga pra bencana sesuai tugasnya masing-masing.
Dalam proses penanggulangan bencana, kendala apa saja yang dihadapi BPBD?
Kendala yang paling utama adalah koordinasi antar instansi. Karena sebelum BPBD dibentuk sudah banyak instansi yang menangani tentang penanggulangan bencana, kadang beberapa instansi belum paham pentingnya koordinasi sehingga sering terjadi tumpang tindih atau overlap.
Kalau terjadi bencana sudah siap?
Mudah mudahan siap, minimal sudah meminimalisasi terjadinya bencana, apalagi sudah ada pengalaman. Karena kita tidak boleh bilang siap, malah nanti diuji. Istilahnya siap siaga saja terhadap bencana yang mungkin akan datang.